Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Job Hugging Cermin Suram Dunia Kerja Kapitalis


Topswara.com -- Fenomena job hugging kini menjadi buah bibir di banyak kalangan, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Istilah ini merujuk pada kecenderungan pekerja, khususnya generasi muda, untuk tetap bertahan dalam satu pekerjaan yang sebenarnya tidak lagi memberi motivasi maupun kepuasan. 

Mereka memilih tetap berada di zona nyaman atau lebih tepatnya, zona aman, daripada harus berjibaku mencari pekerjaan baru dengan risiko menganggur.

Guru Besar UGM menilai, job hugging muncul karena ketidakpastian pasar kerja. Lulusan perguruan tinggi yang semestinya menjadi motor perubahan, justru terjebak dalam lingkaran pragmatisme: lebih baik bertahan dengan gaji pas-pasan daripada menganggur dengan status “sarjana pengangguran”. 

Gambaran ini seakan menampar wajah kapitalisme global yang gagal menjamin kepastian kerja bagi warganya.

Kapitalisme dan Akar Masalah Job Hugging

Kapitalisme global sejatinya telah lama menyingkirkan peran negara dalam menjamin hajat hidup rakyat. Lapangan kerja yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, justru dilimpahkan ke sektor swasta. 

Sumber daya alam yang mestinya dikelola untuk kepentingan rakyat, dilegalkan penguasa agar bisa dieksploitasi segelintir kapitalis. Akibatnya, peluang kerja semakin terbatas dan daya serap tenaga kerja tidak sebanding dengan jumlah lulusan baru tiap tahunnya.

Lebih parah lagi, perekonomian global yang digerakkan praktik ribawi dan spekulasi pasar non-riil membuat sektor riil kehilangan daya dorong. Perusahaan sulit tumbuh sehat, investasi lebih condong ke arah finansial spekulatif, dan lapangan kerja baru tidak banyak tercipta. 

Tidak heran bila fenomena job hugging tumbuh subur: anak muda lebih memilih bertahan daripada berjudi dengan nasib di pasar kerja yang suram.

Ironisnya, sistem pendidikan tinggi pun hanya diarahkan agar adaptif dengan dunia kerja kapitalistik. Kurikulum disusun sedemikian rupa agar lulusan siap “diserap pasar”, bukan untuk mencetak pemimpin perubahan. 

Namun, ketika liberalisasi perdagangan jasa membuat negara lepas tangan dalam penyediaan kerja, kaum muda dibiarkan berjuang sendiri. Di sinilah titik tragis peradaban kapitalisme: menuntut produktivitas individu, tetapi tak menjamin kesejahteraan mereka.

Perspektif Islam: Negara sebagai Penanggung Jawab Utama

Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama urusan rakyat, termasuk penyediaan lapangan kerja. Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyyah menegaskan bahwa pemimpin bertugas mengurus urusan rakyat dan menegakkan agama. 

Dalam Muqaddimah Dustur pasal 153 (draf konstitusi Khilafah kontemporer), jelas disebutkan bahwa negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, maupun lapangan kerja.

Rasulullah ï·º bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa penguasa dalam Islam bukan sekadar regulator, melainkan pelayan dan penanggung jawab langsung. Negara tidak boleh menyerahkan nasib rakyat kepada mekanisme pasar.

Mekanisme Islam dalam Penyediaan Kerja

Bagaimana khilafah mengatasi masalah kerja? Ada beberapa mekanisme nyata yang bisa ditempuh, antara lain : 
Pertama, pengelolaan sumber daya alam secara langsung oleh negara. Hasilnya dipakai untuk membiayai kebutuhan rakyat, termasuk membuka industri padat karya yang menyerap tenaga kerja.

Kedua, industrialiasi berbasis kebutuhan riil. Negara mendorong pembangunan sektor industri yang produktif, bukan sekadar spekulasi finansial.

Ketiga, ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati). Rakyat yang diberi tanah akan bekerja mengelolanya, sehingga produktivitas meningkat dan pengangguran berkurang.

Empat, bantuan modal dan keterampilan. Negara menyediakan sarana, pelatihan, dan modal agar rakyat bisa berwirausaha dengan standar halal.

Lima, distribusi kepemilikan yang adil. Dalam Islam, sumber daya alam adalah milik umum. Negara mengelolanya agar tidak menumpuk di tangan segelintir kapitalis.

Semua kebijakan itu berpijak pada paradigma ibadah. Bekerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan bagian dari ketaatan kepada Allah. 

Rasulullah ï·º bersabda:
“Sungguh, jika seseorang di antara kalian mengambil tali, lalu ia membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya dan menjualnya, maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain.” (HR. al-Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa Islam mendorong kemandirian kerja. Namun, kemandirian itu tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab negara. Negara tetap berkewajiban membuka ruang agar setiap individu bisa bekerja secara halal, bermartabat, dan produktif.

Pendidikan dan Kerja: Sinergi Ruhiyah dan Profesionalitas

Dalam Islam, pendidikan dan pekerjaan tidak pernah dipandang semata-mata sebagai instrumen ekonomi. Keduanya selalu dibingkai dengan ruh iman. 

Lulusan perguruan tinggi tidak hanya dituntut kompeten, tetapi juga memiliki kepribadian Islam yang kuat. Mereka bekerja bukan sekadar karena gaji, melainkan karena dorongan ibadah.

Hal ini kontras dengan realitas kapitalisme, di mana kerja sering menjadi beban psikologis. Tak heran job hugging muncul: orang bekerja tanpa ruh, sekadar untuk bertahan hidup. Dalam Islam, pekerjaan justru menghidupkan ruh, karena ada orientasi akhirat di balik aktivitas duniawi.

Oleh karenanya sudah saatnya kita kembali pada Sistem Islam. Karena Fenomena job hugging sejatinya hanyalah salah satu dari sekian banyak wajah buram kapitalisme global. Ia lahir dari pasar kerja yang timpang, kebijakan negara yang lepas tangan, serta sistem ekonomi ribawi yang gagal menyediakan ruang produktif bagi kaum muda. 

Disisi lain Islam menawarkan paradigma berbeda. Negara hadir sebagai pengurus rakyat, mengelola sumber daya secara adil, membuka lapangan kerja riil, dan menumbuhkan kesadaran ruhiyah dalam bekerja. 

Dengan demikian, generasi muda tidak akan lagi terjebak dalam job hugging. Mereka akan berani berkarya, karena yakin negara menjamin kebutuhan dasar mereka, dan bekerja adalah bagian dari ibadah kepada Allah.

Sudah saatnya kita membuka mata, kapitalisme hanyalah janji kosong. Sedangkan Islam dengan syariatnya yang menyeluruh adalah satu-satunya jalan keluar sejati yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan ini.

Wallahu a'lam bishshawab


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar