Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berburu Wajib Pajak: Saat Rakyat Menjadi Tumbal Defisit Anggaran


Topswara.com -- Belakangan ini, pemerintah daerah di Kalimantan Selatan makin intens memacu kepatuhan pajak. Di Banjarmasin, Pemko menyiapkan program pembagian sembako gratis bagi pembayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lewat mobil pajak keliling sepanjang September 2025, bertepatan dengan HUT RI ke-80 dan Hari Jadi ke-499 Kota Banjarmasin (kalimantanpost.com, 3/09/2025).

Tak hanya itu, DPRD Banjarmasin meminta Pemko menindak tegas “wajib pajak nakal” agar APBD tidak defisit. BPKPAD didorong menggali potensi PAD, termasuk lewat digitalisasi pajak agar tidak hanya mengandalkan transfer pusat (radarbanjarmasin.jawapost.com, 4/09/2025).

Fenomena “berburu wajib pajak” ini menandai tekanan fiskal yang membuat pemerintah daerah semakin agresif. Insentif sekaligus ancaman dijalankan, mencerminkan kegagalan paradigma pengelolaan fiskal yang bergantung pada pajak.

Pajak: Alat Fiskal Memaksa

Saat ini pajak menjadi sumber utama pendapatan negara, selain utang. Paradigma ini berasal dari kapitalisme, seperti ditegaskan Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776), bahwa negara membangun dengan pungutan pajak. Pandangan ini juga dianut Indonesia, sebagaimana disampaikan Sri Mulyani bahwa pajak adalah tiang utama pembangunan.

Sejumlah daerah pun menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2) hingga 200–1000 persen. Hal ini dilegalkan oleh UU No. 1 Tahun 2022 yang memberi kewenangan kepala daerah menetapkan NJOP. 

Kebijakan ini terasa mencekik rakyat di tengah daya beli melemah, pengangguran bertambah, dan angka kemiskinan meningkat. Kenaikan tarif ini diduga dipicu pemangkasan transfer pusat dan pengetatan belanja, sehingga daerah mencari penerimaan instan lewat pajak. 

Sementara itu, korporasi besar justru mendapat keringanan. Melalui PP No. 1 Tahun 2000, mereka menikmati tax holiday dengan alasan investasi. Keuntungannya masuk ke pemilik modal, bukan rakyat.

Lebih jauh, PP No. 36 Tahun 2017 memberi ruang bagi konglomerat memperoleh tax amnesty. Tujuannya meningkatkan kepatuhan, tetapi praktiknya justru melanggengkan ketidakadilan; yang kaya diberi ampunan, sementara rakyat kecil disanksi. Rakyat dipaksa taat pajak, sedangkan pengusaha besar lolos lewat celah hukum.

Pajak Bukan Sumber Utama

Berbeda secara fundamental, dalam sistem Islam, pajak (dharibah) hanya diambil saat kas Baitul Mal kosong dan untuk kebutuhan mendesak. Ia tidak boleh dijadikan sumber tetap. Syaratnya ketat: hanya dari Muslim kaya, sesuai kebutuhan, temporer, dan bukan dari kafir dzimmi.

Islam telah menetapkan banyak pos penerimaan: ghanimah, fai, kharaj, jizyah, zakat, kepemilikan umum (SDA), aset negara, usyur, hingga harta tanpa ahli waris. Dengan ini, pembangunan bisa dibiayai tanpa membebani rakyat dengan pajak permanen. 

Islam menempatkan beban keuangan negara bukan di pundak rakyat kecil, melainkan pada pengelolaan sumber daya sesuai syariat, serta menjadikan zakat dan hasil pengelolaan milik umum sebagai penopang utama.

Sistem ini memastikan keadilan, transparansi, dan keberkahan, sehingga rakyat terlindungi dari kesengsaraan akibat pajak yang menindas.

Islam sebagai ideologi yang berasal dari Allah Pencipta manusia, kehidupan, dan alam semesta, telah memberikan jalan agar tidak terjadi krisis fiskal. Bukan sekadar solusi tambal sulam ataupun reformasi pajak, melainkan kembali pada sistem ekonomi Islam yang kokoh dan menyejahterakan umat. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar