Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bencana Ekologis dan Gagalnya Sistem Kapitalisme Mengelola Alam


Topswara.com -- Bencana banjir bandang kembali menerjang wilayah Indonesia. Kali ini, Bali menjadi sorotan. Sebanyak 123 titik di enam kabupaten/kota terdampak banjir bandang hebat yang menewaskan 18 orang dan memaksa ratusan lainnya mengungsi. 

Selain rumah-rumah warga yang hancur dan jalan yang rusak, pemandangan memilukan juga tampak di bantaran Tukad Badung yang menyempit, serta kawasan hulu Gunung Batur yang kehilangan lebih dari 97 persen hutannya.

Dalam dua dekade terakhir, jumlah akomodasi wisata di Bali melonjak dua kali lipat. Hutan dan lahan produktif seperti sawah dan subak perlahan berubah menjadi hotel, vila, kafe, dan destinasi pariwisata lainnya. Semua demi memenuhi nafsu industri pariwisata yang menjanjikan keuntungan finansial cepat.

Namun, ketika keuntungan menjadi tujuan utama, alam pun ditumbalkan. Dan kini, saat banjir bandang datang berulang, kita dipaksa untuk menelan pil pahit akibat kebijakan pembangunan yang keliru.

Kapitalisme, Biang Kerusakan Ekologis

Tidak bisa dipungkiri bahwa akar persoalan ini bukan sekadar pada aspek teknis seperti drainase buruk atau curah hujan tinggi. Masalah sesungguhnya terletak pada paradigma pembangunan yang menjadikan alam sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai amanah yang harus dijaga.

Dalam sistem kapitalisme, pembangunan diarahkan sepenuhnya untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi, seringkali dengan mengorbankan aspek lingkungan. Pemerintah berlomba menarik investor, terutama di sektor pariwisata, dengan memberikan kemudahan izin dan konsesi lahan, bahkan di kawasan yang seharusnya dilindungi.

Alih fungsi lahan secara masif terjadi bukan karena kebutuhan rakyat, tapi demi memenuhi selera pasar dan industri. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang seharusnya menjadi pedoman, kerap hanya menjadi dokumen formalitas. Banyak bangunan berdiri di bantaran sungai, hutan lindung digerus, dan sistem irigasi tradisional seperti subak ditinggalkan.

Bencana ekologis seperti banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan menjadi harga yang harus dibayar atas eksploitasi yang tak terkendali.

Islam Menjaga Keseimbangan Alam sebagai Amanah Ilahiyah

Islam memandang alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai amanah dari Allah SWT yang harus dijaga dan dimanfaatkan secara seimbang. Dalam Al-Qur’an, Allah memperingatkan manusia tentang kerusakan ekologis yang mereka timbulkan sendiri:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini menggambarkan bagaimana kerakusan manusia dalam hal ini, kerakusan pembangunan kapitalistik menjadi penyebab utama kerusakan ekologis. Allah menciptakan bumi dan segala isinya dengan keseimbangan (mizan). Jika keseimbangan ini dilanggar, maka akan terjadi bencana yang tidak hanya merugikan manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya.

Dalam sistem Islam, alam merupakan milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Hutan, sungai, air, dan padang rumput bukanlah objek yang bisa diperjualbelikan secara bebas. Negara sebagai pengelola amanah publik wajib memastikan pengelolaan sumber daya alam dilakukan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan investor.

Pembangunan dalam Islam, Sejalan dengan Kelestarian Alam

Islam memang tidak menolak pembangunan. Namun, pembangunan dalam pandangan Islam tidak bertumpu pada kapital atau pertumbuhan ekonomi semata, melainkan bertumpu pada maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi, Islam memiliki mekanisme ekonomi yang kokoh dan adil, seperti:

Zakat, yang menjadi instrumen distribusi kekayaan. Kharaj dan jizyah, sebagai sumber pendapatan dari kepemilikan negara. Fa’i dan ghanimah, dari hasil peperangan dan kepemilikan umum.
Pemanfaatan milkiyyah ‘ammah, yang hasilnya dikembalikan ke rakyat, bukan dikuasai swasta.

Dengan sistem ini, negara Islam tidak bergantung pada sektor-sektor ekonomi yang rawan merusak, seperti pariwisata masif yang mengeksploitasi alam. Negara juga akan mengatur tata ruang secara ketat, memastikan wilayah hutan tetap lestari, daerah resapan air dijaga, dan pembangunan tidak mengganggu ekosistem.

Rasulullah ï·º juga bersabda:
"Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu sebagian darinya dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, kecuali itu menjadi sedekah baginya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menggambarkan bahwa pelestarian lingkungan adalah amal kebaikan, bahkan bernilai ibadah.

Negara dalam Islam Pelindung, Bukan Pelayan Investor

Dalam sistem Islam (khilafah), negara bukan hanya regulator, apalagi hanya fasilitator bagi investor. Negara berfungsi sebagai pelayan umat dan penjaga kehidupan, termasuk dalam urusan tata kelola lingkungan.

Negara Islam wajib:
Menjaga kelestarian alam dengan menetapkan kawasan lindung yang tidak boleh diganggu. Menindak tegas pelanggaran tata ruang, termasuk pembukaan lahan liar dan pembangunan ilegal di kawasan rawan bencana.
Mengedukasi rakyat tentang pentingnya hidup selaras dengan alam sebagai bagian dari ibadah.

Menyediakan hunian dan pekerjaan layak, sehingga masyarakat tidak terdorong membuka lahan secara liar.

Khatimah 

Banjir bandang yang terus berulang adalah peringatan keras bahwa manusia telah menyimpang dari fitrahnya. Kita hidup dalam sistem yang menolak keseimbangan alam, menukar kelestarian dengan keuntungan sesaat, dan menjadikan lingkungan sebagai korban atas nama "kemajuan".

Saatnya kita menoleh kembali pada Islam, bukan hanya sebagai agama spiritual, tapi sebagai ideologi yang menyeluruh yang mengatur relasi manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dan dengan alam semesta.

Dengan penerapan Islam secara kaffah, keseimbangan alam tidak akan ditentang, dan bencana tidak akan menjadi keniscayaan, melainkan bisa dicegah melalui sistem yang adil, visioner, dan rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar