Topswara.com -- Ganti pemimpin, ganti kurikulum. Dunia pendidikan telah banyak mengalami perubahan. Baru-baru ini, Kementerian Agama Republik Indonesia Nasaruddin Umar resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual.
Peluncuran ini digelar di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Kamis (24/7/2025) malam. Ia menyebut KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional.
Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. KBC dibangun di atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yaitu: cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta pada diri dan sesama, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa dan negeri (republika.co.id, 26/07/2025).
Gagasan ini mendapat perhatian luas salah satunya dari Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Prof. Nurhayati menyebutkan bahwa KBC bukan sekadar wacana namun kebutuhan mendesak dalam sistem pendidikan saat ini yang cenderung kehilangan sentuhan kemanusiaan (antaranews.com, 25/07/2025).
Gagasan Sekuler, Anti-Islam Kaffah
Menurut Kemenag, KBC menerapkan nilai-nilai seperti dalam bulan Ramadhan. Bukan hanya soal tata cara ibadah namun juga menanamkan nilai kasih sayang, toleransi, moderasi, dan solidaritas sosial.
Dengan begitu diharapkan generasi muda taat beragama, mampu hidup dalam keberagaman, inklusif, mengakui perbedaan, humanis, mengedepankan nilai kemanusiaan serta mampu berpikir rasional.
Selama ini telah banyak terjadi konflik sosial di antara Sekolah dan masyarakat oleh karena masih berkutat pada masalah perbedaan. Karena itu diharapkan KBC menjadi solusi masalah pendidikan.
Jika melihat sepintas dari namanya sepertinya bagus. Namun di balik slogan KBC tersebut tentu harus dikaji ulang, Sebab berkaitan dengan kamajuan generasi.
Sebab masih belum tuntas pada implementasi kurikulum sebelumnya. Seperti kesenjangan antarguru, sarana prasarana yang terbatas, dan tuntutan profesionalisme guru tak sebanding dengan pendapatan.
Tentu tak manusiawi sementara akan berhadapan dengan KBC. Padahal kurikulum apapun bentuknya jika masalah guru saja belum dituntaskan lantas bagaimana akan mampu menerapkan KBC? Padahal tidak bisa hanya berhenti pada wacana kurikulum namun perlu memanusiakan para pendidiknya. Belum lagi masalah moral anak didik, dan lain-lain.
Sekilas dari namanya, KBC seolah menawarkan gagasan yang sangat baik namun kenyataannya bila ditelusuri lebih dalam lagi akan semakin nampak bahwa kurikulum ini tidak baik implementasinya bagi anak didik. Meskipun membawa nama spiritual namun masalahnya ide ini berasal dari ide sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).
Ide sekuler bersumber dari sistem kapitalisme yang lebih menuhankan materi. Apa pun yang berasal dari sistem kapitalisme, hasilnya akan sekuler juga. Bahayanya adalah akan menjauhkan generasi dari aturan agama dan menjadikan akal sebagai sumber hukum/penentu segala sesuatu.
KBC akan memaksakan ide inklusif yaitu mengakui perbedaan antar agama, suku, dan adat serta humanis (rasional/sesuai realita) yang ada zaman saat ini sebaliknya jika tidak sejalan maka tidak bisa diterima akal dan tidak manusiawi.
Bahaya yang lebih besar lagi adalah mengaruskan deradikalisasi yaitu menolak segala bentuk ide yang dianggap radikal/terorisme pada kelompok yang menyuarakan pemikiran radikal (keras) kemudian kembali pada ide moderat karena lebih dapat diterima masyarakat.
Saat ini tak sedikit yang mencap kelompok yang dianggap radikal yang ditujukan pada sesama orang Islam sendiri. Padahal penyebutan radikal/terorisme berasal dari Amerika seperti yang ditujukan pada Al Qaeda, Islam fundamentalis, Islam radikal, terlebih pada kelompok yang teguh menyuarakan Islam secara kaffah berikut solusinya untuk menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman kapitalis justru menjadi target.
Parahnya lagi, kurikulum ini akan mengajarkan generasi Muslim agar bersikap keras pada sesama muslim namun tidak pada non-Muslim. Ketika ada Muslim yang hendak menerapkan syariat Islam kaffah, akan diberi label radikal dan ekstrem, intoleran akan dimusuhi, dijauhi, dikriminalisasi/dipersekusi, bahkan pengajiannya pun dibubarkan, dan lain - lain.
Sementara untuk non-Muslim justru akan diperlakukan begitu hormat, lembut, santun, rumah ibadahnya dijaga, bahkan ikut perayaan bersama mereka. Jelas dapat ditebak bagaimana bila KBC diterapkan sudah pasti akan menimbulkan gejolak sosial sebab standar cinta, kasih sayang dan kemanusiaan menggunakan standar sekuler.
Alhasil, KBC ini sejatinya sangat merusak sistem pendidikan dan anak didik baik dari cara berpikirnya maupun sikapnya. Konflik sosial yang terjadi di masyarakat adalah buah dari kurikulum sebelumnya yang juga berasal dari asas sekuler.
Padahal agama Islam sudah memiliki pemahaman tersendiri terkait bagaimana sikap pada sesama Muslim dan pada non-Muslim berdasarkan syariat Islam bukan pada aturan sekuler.
Sebab jika masalah akidah diatur oleh akal manusia akan menimbulkan pertentangan, perbedaan yang tajam, dan kerusakan moral. Padahal akar masalahnya bukan terletak pada krisis cinta dan kemanusiaan namun pada akidah yang dijadikan asas bagi kurikulum yaitu asas sekuler.
Kurikulum Islam Berbasis Akidah
Sistem pendidikan Islam hanya akan menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam bukan yang lain. Akidah adalah asas bagi kehidupan setiap Muslim, pun asas bagi negara Islam yang wajib diterapkan dalam setiap bidang termasuk pendidkan. Pendidikan merupakan langkah strategis membentuk pribadi yang bersyakhsiyah Islam.
Generasi perlu dibimbing akidahnya agar kuat dan kokoh. Mampu berpikir rasional dalam mengindera fakta. Fakta dijadikan objek untuk dihukumi dengan hukum Islam untuk menghasilkan hukum baru untuk dijadikan solusi. Bukan dihukumi mutlak dengan akal manusia sebab pemikiran manusia serba terbatas bahkan tak mampu hasilkan hukum yang benar.
Islam adalah agama yang penuh cinta, persaudaraan yang harmonis dan manusiawi. Dalam QS. Al Hujurat: 10, "Sesungguhnya orang - orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." Selain itu Islam tidak menolak suku, adat, dan budaya."
Dalam QS. Al Hujurat ayat 13 menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal satu sama lain, bukan saling membanggakan diri atau merendahkan. Islam pun penuh toleransi dan memiliki rambu-rambu dalam QS. Al Kafirun ayat 6: "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku".
Dalam konteks sosial dan kemanusiaan, Muslim boleh bekerja sama dengan non-Muslim dalam hal yang tidak bertentangan dengan akidah Islam.
Islam memberi batasan dalam soal akidah. Tidak memaksa non-Muslim beribadah sesuai dengan keyakinannya namun bagi Muslim haram mengikuti akidah mereka berikut perayaan ibadahnya sebab termasuk pelanggaran hukum Islam yang bisa menyebabkannya kafir bahkan murtad.
Alhasil Islam bukan agama yang intoleran sebaliknya penuh dengan toleransi dan menghargai umat agama lain. Gaung toleransi saat ini jauh dari arti hakikinya dalam Islam. Sebaliknya toleransi ala sekuler justru banyak melanggar hukum Islam.
Terkait keragaman, Islam melarang mencampur antara haq dan batil atas nama keragaman dan moderat. Sampai kapan pun tidak akan mampu disatukan. Akidah Islam tidak bisa ditawar atas nama apa pun.
Akidah/pemikiran Islam bersifat murni dan jernih sebab bersumber dari Dzat Yang Maha Suci yaitu Allah SWT. Inilah yang menjadi kritik bagi kaum moderat. Dampak diterapkannya kurikulum berasas akidah Islam, generasi Islam dari masa ke masa mengalami kebangkitan berpikir hingga puncak kejayaannya.
Baik dalam hal ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam sepanjang sejarah kegemilangan Islam di zamannya sampai non-Muslim pun kagum dibuatnya sebab tak ada yang menandingi pemikiran Islam di atas pemikiran yang lain. Pemikiran Islam menghasilkan hukum baru dari hasil ijtihad (penggalian hukum) atas fakta baru.
Tidak ada yang mampu menyaingi keunggulan generasinya oleh karena pendidikan berbasis akidah Islam. Sebaliknya umat Islam hari ini mengalami kemunduran taraf berpikir di berbagai bidang termasuk pendidikan oleh karena akidah Islam tak dijadikan sebagai asasnya. []
Oleh: Punky Purboyowati, S.S.
(Komunitas Pena Dakwah Muslimah)
0 Komentar