Topswara.com -- Ada apa dengan negeriku? Problematika yang dialami rakyat sangat beragam ditengah kisruh kenaikan tunjangan Dewan Perwakilah Rakyat (DPR) yang sangat mengecawakan. Efisiensi anggaran hanya tajam ke bawah dan tidak berlaku bagi pejabat publik.
Anomali tunjangan anggota dewan sudah menoreh luka di hati rakyat. Anggaran bertambah namun kinerja untuk melayani rakyat tidak dilakukan dengan semstinya. Tugas perwakilan rakyat harusnya dibuktikan untuk membela hak-hak rakyat, bukan menjadi beban bahkan merugikan masyarakat.
Rakyat jelata kerja banting tulang sementara para wakil bisa berjoget ria merayakan kenaikan tunjangan. Wakil rakyat tak dapat dikritik, rakyat diminta menerima semua keputusan, inilah wajah buruk negara kapitalisme, yang hanya mementingkan keuntungan tanpa adanya manfaat, negara menjadi pengawas yang tidak bisa menindaklanjuti berbagai penyelewengan yang terjadi.
Berbagai fasilitas sudah diterima anggota dewan bahkan pendapatan resmi mereka lebih dari Rp 100 juta tiap bulan, hal ini tentunya melukai rakyat, ungkapan Pakar Kebijakan Publik Acham Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta (beritasatu.com, 26/08.2025).
Ironi dengan gaji guru honorer, seperti bumi dan langit dibanding gaji para dewan yang terhormat. Ditambah dengan kebijakan baru bahwa pajak pejabata dibebankan kepada negara sementara rakyat diminta taat pajak.
Ketimpangan yang terjadi karena kebobrokan sistem saat ini. Hal ini tentunya menimbulkan kesenjanagn sosial di tengah himpitan ekonomi masyarakat. Kinerja DPR selama ini belum memuaskan masyarakat masih mementingkan pribadi dan golongan.
Sistem demokrasi kapitalis selalu menghasilkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, yang dapat menciptakan politik balas budi. Sehingga materi menjadi tujuan utama untuk menentukan besarana anggaran demi menumpuk kekayaan pribadi.
Kepercayaan masyarakat sudah hilang atas wakilnya walaupun kami tidak mewakilkan dengan siapapun. Jabatan hanya sebagai alat untuk memperbanyak harta dan menguasai tahta.
Pudarnya empati masyarakat karena kinerja para anggota dewan yang tidak sesuai dengan amanah sebagai wakil rakyat. Tunjangan DPR selangit, hati rakyat menjerit. Inilah yang terjadi pada negeri yang tidak melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh.
Islam tidak akan ada kesenjangan antara rakyat dan penguasa. Rakyat pihak yang wajib dilayani semua kebutuhanya. Harusnya pejabat (penguasa) melayani dan menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Namun di negeriku tercinta semua berbanding terbalik, rakyatlah yang harus sabar atas kebijakan yang dibuat pemerintah.
Dalam Islam tugas wakil rakyat berasas pada akidah Islam, sehingga setiap keputusan yang diambil sudah berdasarkan aspirasi kaum muslim yang sudah dipertimbangkan melalui majelis umat.
Siapaun boleh menyampaikan kritik dan saran untuk melakukan kontrol terhadap para pejabat. Syariat Allah merupakan indikator dalam mengambil keputusan, bukan berdasarkan kepentingan sesaat.
Para pejabat pun dalam Islam akan menerima gaji namun sesuai dengan kebutuhan hidup keluarga secara umum, dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Para penguasa dan pejabat hanya fokus pada mengurus kesejahteraan umat.
Setiap perbuatan ataupun jabatan akan diminta pertanggungjawaban di hadapa Allah, termasuk amanah yang sudah diterima sebagai anggota majelis umat. Dalam sistem Islam, kekuasaan tidak akan dimanfaatkan untuk memperkaya diri.
Keimanan dan katakwaan kepada Allah selalu akan menjadi penjaga untuk terikat pada syariat. Kepribadian Islam wajib dimiliki semua insan termasuk anggota majelis umat, dengan semangat fastabiqul khairat akan menjalankan amanah sebagai wakil umat. Kekuasaan ada di tangan umat, sehingga wakil rakyat dapat melaksanakan tugasnya secara adil.
Oleh karena itu, negara mempunyai kewajiban untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat melalui majelis umat. Saatnya umat kembali menerapkan Islam secara kaffah, agar segala tindakan penyelewangan anggaran dapat dicegah dengan baik, serta menetapkan sanksi yang bersumber dari Allah Swt.
Oleh: Ariyana
Dosen dan Pengamat Kebijakan Publik
0 Komentar