Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tunjangan Anggota DPR Naik Ugal-Ugalan, Kok Bisa?


Topswara.com -- Hati rakyat kembali dilukai ketika melihat para perwakilannya yang berjoget ria di ruangan sidang saat sesi penutupan sidang tahunan pada Jum’at 15 Agustus 2025. 

Mereka seperti meluapkan kegembiraan karena sidang telah memutuskan kenaikan tunjangan bulanan mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan dan gaji Rp 3 juta per harinya. 

Bukan kata maaf yang keluar dari lisan beberapa dari mereka (anggota DPR) justru banyak sikap yang semakin membuat rakyat kecewa dan marah. Ada yang merespon dengan membuat parodi DJ sound horeg ada pula yang mengatakan bahwa tiga juta per hari itu tidaklah besar. 

Sungguh miris di tengah berbagai kesulitan yang menimpa rakyat Indonesia. Masih banyak rakyat yang dengan susah payah mendapatkan penghasilan Rp 3jt per bulan namun dengan ringannya ada ucapan yang keluar dari mereka bahwa Rp 3jt per hari tidaklah besar. 

Pemerintah telah gagal dalam menjamin kesejahteraan seperti menciptakan lapangan kerja, mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok, dan menjamin akses layanan dasar dengan mudah dan murah, ditambah lagi makin banyak pungutan pajak yang dilakukan pemerintah dengan dalih untuk menutup utang dan defisit anggaran. 

Para pengamat pun menilai hal ini "tidak layak di tengah sulitnya ekonomi masyarakat" dan "tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tak memuaskan".

Ini semua adalah wajah buruk yang ditampakkan oleh sebuah sistem demokrasi yang berlandaskan politik transaksional. Asas yang digunakan dalam sistem ini adalah asas liberalisme materialisme yang akan selalu menjunjung kebebasan dan mendahulukan keuntungan bagi para pelakunya. 

Mereka yang ada di kursi pimpinan akan menentukan besaran anggaran untuk kepentingan mereka sendiri. Jabatan yang mereka kejar dijadikan alat untuk memperkaya diri dan keluarganya. Tentu karena ini adalah politik transaksional maka siapa yang dulu menolong dirinya mendapatkan jabatan dialah yang akan didahulukan urusannya. 

Akibatnya hilang empati pada rakyat yang diwakili, juga abai akan amanahnya sebagai wakil rakyat, mereka akan lebih fokus pada siapa yang memberi mereka jalan menuju jabatan sebagai timbal balik.

Sangat berkebalikan dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Dari asasnya saja sudah sangat berbeda, sistem pemerintahan Islam berasaskan aqidah Islam, semua hukum yang dihasilkan bersumber dari Sang Pencipta Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak pernah ingkar dan zalim pada makhluknya. 

Sedangkan sistem demokrasi asasnya jelas sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan, liberalisme menjunjung kebebasan manusia dalam mengatur kehidupan) padahal kita tahu manusia memiliki potensi ingkar dan zholim karena memiliki hawa nafsu dan keterbatasan akal.

Setiap jabatan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, termasuk amanah sebagai anggota Majelis umat. Penguasa (khalifah, para muawin, wali, dan amil) tidak mendapatkan gaji namun mereka diberi santunan untuk memenuhi kebutuhan(hajat) hidup dirinya dan keluarganya. 

Akad yang dipakai adalah akad ridha, karena penguasa tidak akan bisa ‘nyambi’ atau memiliki usaha/bisnis/pekerjaan lain. Penguasa harus fokus dalam urusan periayahan (pengurusan) urusan umat. Sedangkan para pegawai pemerintahan akan digaji sesuai dengan tugasnya. 

Setiap jabatan tidak akan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Keimanan dan ketegasan sanksi akan menjadi penjaga untuk selalu terikat pada aturan syariat.

Semuanya akan berjalan lebih mudah dan ringan karena setiap muslim wajib memiliki kepribadian Islam termasuk anggota majelis umat dan pejabat publik. 

Dengan semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) setiap individu muslim baik penguasa, pegawai pemerintahan, pejabat publik dan rakyat akan selalu melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Manakala ditemukan ada kemungkaran tidak akan mungkin berlarut-larut bahkan ikut serta di dalamnya atapun menutupinya.

Wallahua’lam bishawab.


Nugraha F. Andani 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar