Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tanah Terlantar Diambil Negara, Mungkinkah untuk Kesejahteraan Rakyat?

Topswara.com -- Masyarakat dikejutkan oleh ketentuan Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, menyatakan bahwa tanah yang terlantar atau tidak digunakan selama 2 tahun berpotensi di ambil oleh negara. 

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. 

Kepala Biro Humas dan protokol Kementerian ATR/BPN Herison Mocodompis menjelaskan, jika tanah-tanah dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara terhitung 2 tahun diterbitkan haknya maka akan diidentifikasi oleh negara sebagai tanah terlantar (Kompas.com,18/7/2025).

Aturan itu menyebutkan pengambilalihan dilakukan pada tanah Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, hak pakai, hak pengelolaan dan tanah yang diproses berdasarkan penguasaan atas tanah.


Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid menyatakan, pengambilalihan dilakukan dengan beberapa tahap mulai dari peringatan dan pengambilalihan dilakukan kurang lebih 587 hari. Memberikan waktu dan kesempatan bagi pemilik agar memanfaatkan lahannya. 

Prosedurnya BPN mengirim surat, dalam waktu 3 bulan, tanah tetap menganggur, maka dikirimi surat peringatan ke-2. Jika selama 3 bulan setelah peringatan kedua, tanah juga belum digarap, maka dilakukan perundingan dan ditetapkan sebagai tanah yang terlantar (CNN Indonesia, 14/7/2025).

Tanah dipandang sebagai komoditas ekonomi, harga tanah dari tahun ke tahun terus meningkat. Jika tanah berada di lokasi yang strategis, maka nilai jualnya akan semakin tinggi. 

Disisi lain ketersediaan tanah adalah instrumen penting untuk kepentingan investasi. Untuk itu pemerintah berupaya dengan mengulirkan kebijakan yang bertujuan menciptakan suasana yang ramah bagi para investor, untuk berinvestasi. Termasuk didalamnya penyediaan tanah bagi mereka.

Inilah buah sistem Kapitalisme yang berazaskan manfaat, tak satupun luput dari hal yang bertujuan untuk mendapatkan profit. Sistem ini menjadikan tanah sebagai komoditas bukan amanah publik. 

Kita tahu tanah dengan Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan banyak dikuasai oleh korporasi. Rakyat kecil justru kesulitan untuk memiliki tanah sebagai tempat tinggal, bercocok tanam atau tempat berdagang. Negara semestinya menjadi pengayom justru menjadi fasilitator kepentingan pemodal.

Disisi lain banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum, banyak yang dibiarkan terbengkalai. Seperti proyek pembangunan gedung pemerintahan yang terbengkalai, dengan alasan ketiadaan anggaran. 

Melihat kondisi ini tampak pemerintah tidak memiliki rencana yang jelas untuk memanfaatkan lahan terlantar yang diambil dari rakyat. Kembali rakyat jadi korban, sementara para pengusaha lah yang mendapatkan keuntungan. Sebab, setiap proyek negara, pelaksanaan dan sumber modalnya dari swasta.

Dalam kapitalisme, kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial, padahal tanah adalah sumber penghidupan. Mirisnya sistem hari ini menjadikan semua hal, termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan para investor.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, Islam mengatur kepemilikan menjadi tiga.
Yaitu, kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu, termasuk tanah bisa diperoleh dari pemberian orang tua berupa warisan atau membeli dari hasil bekerja.

Islam mengatur mekanisme sesuai syariat. Untuk kepemilikan individu tidak boleh seorang pun merampasnya. Sekali pun itu dilakukan oleh negara. Kepemilikan tanah bagi individu tidak sama dengan harta benda yang lain. Kepemilikan tanah dilihat dari produktivitasnya.

Produktivitas tanah adalah bagian dari kepemilikan tanah. Tanah tetap mampu berproduksi tanpa ada campur tangan pihak lain. Kepemilikan akan tetap ada jika produktivitasnya ada.

Sebagaimana Khalifah Umar berkata,” Orang yang memagari tidak punya hak atas tanahnya, setelah tiga tahun berturut-turut ditelantarkan”(HR. Abu Yusuf & Abu Ubaid). 

Hal ini menunjukkan ijma’ shahabat bahwa pemilik tanah menelantarkan tanahnya selama 3 tahun berturut-turut maka kepemilikan atas tanahnya itu hilang. Tanah yang terlantar diambil alih oleh khilafah (negara) kemudian diberikan kepada kaum muslim yang mampu menggarap tanah tersebut.

Kepemilikan umum meliputi fasilitas umum. Keberadaannya digunakan untuk kepentingan umum. Tetapi tidak boleh dikuasai atau dimiliki oleh individu, sementara individu boleh memanfaatkannya.

Sedangkan tanah milik negara, adalah tanah yang dimiliki negara dan dimanfaatkan untuk proyek strategis dalam rangka untuk kepentingan rakyat. Seperti pemukiman, pertanian, infrastruktur umum bahkan logistik jihad.

Negara tidak boleh menyerahkan tanah milik negara kepada pihak swasta, bukan juga untuk dijual kepada Asing. Pengelolaan tanah negara bertujuan untuk pengaturan urusan dan kesejahteraan rakyat. Bukan untuk mengejar keuntungan dengan mengorbankan rakyat.

Demikianlah cara Islam mengatur kepemilikan. Pengelolaan tanah dalam Islam semata-mata untuk kemaslahatan umat. 

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang bertujuan untuk keuntungan berupa materi. Persoalan pertahanan terus terjadi dalam sistem sekuler. Untuk itu sudah saatnya kembali kepada sistem Islam kaffah agar kesejahteraan rakyat menjadi nyata.

Waallahua'lam bishawab.


Oleh: Endang Seruni 
Muslimah Peduli Generasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar