Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sekolah Rakyat, Bukti Kegagalan Pendidikan Kapitalisme


Topswara.com -- Sekitar 160 dari 1 469 guru sekolah rakyat dilaporkan telah mengundurkan diri. Evaluasi harus segera dilakukan agar program sekolah berasrama bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto dapat berlanjut. 

Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat bahwa pengunduran diri guru-guru ini disebabkan oleh alasan pribadi, di mana banyak dari mereka merasa tidak cocok ditempatkan di sekolah rakyat yang lokasinya jauh dari rumah mereka (Kompas.com 28/7/2025).

Padahal, presiden berharap Sekolah Rakyat menjadi strategi yang efektif memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak keluarga miskin. 

Sekolah Rakyat mengusung tiga prinsip utama, yaitu menghargai masyarakat kecil, menjangkau mereka yang belum mendapatkan akses, serta mewujudkan hal-hal yang tampaknya mustahil.

Sebenarnya, sekolah rakyat ini memiliki sejumlah kelemahan, karena tidak sejalan dengan prinsip pendidikan inklusif. Anak-anak dari keluarga yang kurang mampu dikelompokkan bersama di Sekolah Rakyat dan tidak berinteraksi dengan anak-anak dari latar belakang lainnya. 

Seharusnya, anak-anak dari berbagai strata ekonomi bisa mendapatkan pendidikan di institusi yang sama tanpa adanya perbedaan. Ironinya saat banyak sekolah negeri mengalami kekurangan siswa justru Sekolah Rakyat dimunculkan. 

Bukannya memasukkan mereka ke sekolah negeri sebagai jalan keluar dari masalah kurangnya siswa, anak-anak dari keluarga kurang mampu justru ditempatkan di Sekolah Rakyat. Sungguh bukan pemecahan yang solutif.

Penyelenggaraan Sekolah Rakyat dilakukan oleh Kementerian Sosial, yang mana hal ini bertentangan dengan sistem pendidikan nasional yang seharusnya terpusat. Selain itu, anggarannya tidak seimbang dan kurang terintegrasi. 

Anggaran untuk Sekolah Rakyat mencapai Rp 5 triliun bagi 50 ribu siswa, yang mana hanya mencakup 0,1 persen dari total 50 juta siswa. Sementara itu, masih banyak sekolah negeri yang dalam keadaan rusak dan guru honorer yang belum mendapatkan kesejahteraan. 

Kenapa anggaran yang ada tidak disatukan dengan anggaran untuk sekolah negeri, sehingga anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa bersekolah di negeri dan dana tersebut juga dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi sekolah serta meningkatkan kesejahteraan guru?

Oleh karena itu, Sekolah Rakyat adalah sebuah kebijakan yang bersifat populis, bukannya merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi masalah pendidikan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Kehadiran program ini malah membuat situasi pendidikan semakin rumit karena menciptakan kesempatan baru untuk praktik korupsi di dunia pendidikan, mengingat Sekolah Rakyat memerlukan banyak penyediaan dan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan siswa.

Sekolah Rakyat diharapkan dapat mengatasi masalah tingginya tingkat pengangguran. Namun, harapan ini bertentangan dengan kenyataan bahwa banyak kebijakan pemerintah justru menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. 

Pemerintah kurang berhasil dalam membuka lapangan kerja dan sering kali terjadi pemutusan hubungan kerja akibat kurangnya dukungan terhadap industri lokal. Sebagai akibatnya, banyak lulusan dari SMA/SMK maupun perguruan tinggi yang menjadi pengangguran.

Kapitalisme menjadikan pemerintah hanya sebagai pengawas yang tugasnya terbatas pada penyusunan aturan dan kebijakan. Sering kali, aturan dan kebijakan tersebut lebih berfokus pada citra dan kurang didasari oleh analisis mendalam mengenai manfaat dan kesesuaian pelaksanaannya. 

Aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah malah sangat menguntungkan kelompok tertentu, yaitu para pejabat dan pengusaha yang berada dalam lingkaran oligarki.

Aturan dan kebijakan pemerintah tidak diarahkan untuk memperhatikan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, baik dalam hal menyediakan pendidikan yang merata maupun menjamin kesejahteraan rakyat. 

Masyarakat masih harus berjuang keras mengumpulkan uang demi menyekolahkan anak-anak mereka. Bahkan, tidak ada kepastian mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Sangat menyedihkan!

Sementara itu, sebagian besar sekolah negeri masih menghadapi berbagai masalah, baik dalam hal mutu pendidikan, fasilitas yang kurang memadai, kekurangan guru, maupun rendahnya kompensasi bagi tenaga pengajar honorer. 

Alih-alih memberikan solusi untuk permasalahan ini, pemerintah malah meluncurkan program baru yang disebut Sekolah Rakyat, yang tentunya kembali memerlukan anggaran, fasilitas, dan pengajar. 

Contohnya, kegiatan belajar mengajar di SLBN A Pajajaran di Bandung tidak dapat berlangsung dengan baik karena beberapa ruang kelas digunakan untuk Sekolah Rakyat.

Tampaknya Sekolah Rakyat hanyalah langkah populis yang bersifat sementara, dan tidak mampu mengatasi permasalahan mendasar dalam dunia pendidikan. 

Program ini setara dengan program populis lain, seperti Makan Bergizi Gratis yang tidak menyentuh isu inti. Ini adalah kebijakan yang muncul dari sistem kapitalisme. 

Alih-alih menyelesaikan masalah, justru menambah persoalan. Oleh karena itu, kita memerlukan solusi dari luar sistem kapitalisme, yakni solusi yang berasal dari Islam.

Persoalan utama mengenai akses pendidikan bagi masyarakat miskin adalah kedudukan pendidikan dalam sistem yang ada. Dalam kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai barang dagangan, sehingga hanya mereka yang memiliki uang yang dapat menikmatinya. 

Makin tinggi kualitas pendidikan yang diinginkan, semakin besar juga biaya yang harus dibayar. Sementara itu, orang-orang yang kurang mampu tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak, atau jika pun bisa, hanya sebatas yang minimal.

Ini benar-benar bertentangan dengan sistem Islam yang menempatkan pendidikan sebagai hak asasi yang perlu dipenuhi oleh pemerintah. Islam mengharuskan rakyatnya untuk mencari ilmu. 

Untuk memenuhi kewajiban ini, pemerintah harus memberikan akses pendidikan tanpa biaya kepada semua warga, baik yang kaya maupun yang miskin.

Negara berkewajiban untuk menyediakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan bagi setiap orang, baik pria maupun wanita, yang terdiri dari dua tingkatan, yaitu pendidikan dasar dan pendidikan menengah. 

Negara juga harus menyediakan pendidikan bagi semua warga negara tanpa biaya. Mereka memiliki kesempatan yang luas untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi tanpa dikenakan biaya


Oleh: Kanti Rahayu 
Aliansi Penulis Rindu Islam 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar