Topswara.com -- Baru-baru ini, sebuah rekaman menyebar luas di media sosial dan menarik perhatian banyak orang. Di depan SMK Negeri 2 Pangkep, seorang siswa, MA (16), masih berseragam pramuka, duduk di atas motornya.
Tiba-tiba temannya, F (16), datang dan langsung menghajar kepalanya berkali-kali sampai pelipisnya lebam. Guru yang kebetulan ada di dekat lokasi langsung melerai. Besoknya, polisi mengamankan pelaku yang masih di bawah umur (Beritasatu.com, 7 Agustus 2025).
Buat sebagian orang, ini cuma “berantem anak sekolah” yang kebetulan viral. Tetapi kalau kita mau jujur, ini cuma salah satu potongan dari puzzle besar kerusakan generasi sekarang.
Senggolan jadi alasan buat hajar-hajaran, gengsi jadi lebih penting daripada akal sehat, emosi meledak tanpa kontrol. Kenapa bisa begini? Karena anak-anak kita tumbuh dalam sistem yang nggak pernah benar-benar ngajarin mereka cara jadi manusia yang utuh.
Sistem pendidikan di bawah kapitalisme cuma fokus nyetak “output” buat pasar kerja. Sekolah jadi pabrik ijazah: target nilai, ranking, prestasi akademik. Aspek pembinaan karakter, pengendalian diri, dan empati cuma jadi tempelan di RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) atau dokumen formal, enggak pernah jadi prioritas serius.
Di luar sekolah, anak-anak dijejali budaya instan dari media sosial: harga diri diukur dari popularitas, bukan akhlak. Anak-anak terbiasa menumbuhkan ego dan gengsi sejak kecil, sementara kemampuan mengendalikan emosi dan menyelesaikan masalah secara tenang jarang dilatih.
Pemerintah sering bangga bilang ada program pendidikan karakter dan anti-kekerasan. Tapi faktanya, guru banyak yang terjebak rutinitas administrasi, capek ngejar kurikulum, sampai nggak sempat jadi mentor yang dekat sama murid. Semua ini membentuk lingkungan yang keras, penuh tekanan, dan minim rasa aman. Wajar kalau anak-anak akhirnya belajar menyelesaikan masalah pakai tangan, bukan pikiran.
Di sinilah kelihatan jelas, masalahnya bukan cuma di individu atau sekolah, tapi di sistem yang melahirkan mereka. Selama pendidikan berjalan di rel kapitalisme, kita cuma akan terus dapat generasi rapuh: mudah tersulut emosi, gampang terjebak narkoba, tawuran, dan kekerasan. Sudah sewajarnya jika kita makin sering menemukan kabar tentang pelajar yang terjerat masalah narkoba.
Dalam pendidikan Islam, proses belajar bertujuan membentuk manusia secara menyeluruh—cerdas, berakhlak baik, dan beriman. Nilai moral dan spiritual ditanamkan sejak awal, bukan sekadar tambahan belakangan.
Guru punya peran sentral sebagai pembimbing hidup, bukan sekadar pengajar. Lingkungan sekolah dibuat untuk menumbuhkan solidaritas, bukan kompetisi brutal. Anak-anak dibentuk untuk punya tujuan hidup yang jelas sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, sehingga mereka nggak gampang terseret arus ego dan kekerasan.
Kalau pendekatan ini dijalankan, insiden seperti di Pangkep bukan cuma bisa dicegah, tapi juga akan terasa aneh kalau sampai terjadi. Karena generasi yang dibentuk Islam akan paham: masalah diselesaikan dengan dialog, bukan dengan pukulan. Mereka akan tahu bahwa kehormatan sejati datang dari akhlak, bukan dari adu kuat.
Kalau kita terus bertahan di sistem ini, jangan kaget kalau video kekerasan pelajar bakal terus muncul di timeline kita. Sudah sewajarnya jika kita makin sering menemukan kabar tentang pelajar yang terjerat narkoba. Dan jangan kaget kalau generasi yang kita titipkan masa depan malah tumbuh jadi generasi yang rusak, rapuh, dan hilang arah.
Kita tidak bisa lagi tutup mata. Ini bukan cuma soal satu anak yang mukul temennya. Ini soal sistem yang diam-diam mencetak generasi yang tidak kenal Tuhan, nggak kenal tujuan hidup, dan gampang tergoda rusaknya dunia.
Kalau kita sayang sama anak-anak kita, kalau kita peduli sama masa depan bangsa, saatnya berhenti berharap sama sistem yang udah jelas gagal. Saatnya kita berjuang bareng buat ganti sistem ini dengan sistem Islam, sebelum semua terlambat.
Oleh: Nilam Astriati
Aktivis Muslimah
0 Komentar