Topswara.com -- Harga beras di sejumlah daerah di Indonesia terus mengalami kenaikan signifikan selama Mei hingga Juni 2025, meskipun stok nasional dilaporkan dalam kondisi sangat melimpah. Ironi ini menimbulkan pertanyaan besar dari para pakar dan masyarakat, terutama karena harga yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) terjadi di lebih dari 160 kabupaten/kota.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Perum Bulog, stok beras nasional pada Juni 2025 mencapai 4–4,2 juta ton—jumlah tertinggi dalam 57 tahun terakhir (Antara, 2025). Namun, alih-alih menurunkan harga, beras justru mengalami kenaikan di tingkat konsumen.
Pekan keempat Juni mencatat lonjakan harga beras di 163 kabupaten/kota, meningkat dari 133 daerah pada pekan sebelumnya (Bisnis.com, 17 Juni 2025).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2025 menunjukkan bahwa harga beras premium di tingkat penggilingan turun 0,35% menjadi Rp13.001/kg.
Namun, harga eceran justru naik menjadi Rp14.784/kg dan terus meningkat hingga akhir Juni, dengan harga beras premium di pasar tembus Rp15.799/kg (BPS, 2025; DetikFinance, 30 Juni 2025).
Selain itu, kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan harga naik.
Situasi melonjaknya harga beras di tengah stok yang melimpah mencerminkan bahwa permasalahan tata niaga beras di Indonesia jauh lebih kompleks dari sekadar isu ketersediaan pasokan.
Persoalan ini mengindikasikan adanya kelemahan sistemis dalam distribusi pangan, terutama terkait kurangnya transparansi dalam penyaluran beras dari gudang hingga ke tangan konsumen.
Selain itu, integritas data stok yang dilaporkan oleh lembaga terkait patut dipertanyakan, mengingat ditemukannya dugaan manipulasi jumlah stok di sejumlah titik distribusi. Masalah lainnya juga terletak pada lemahnya pengawasan terhadap rantai pasok, yang membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk memainkan harga melalui praktik spekulasi atau penimbunan.
Inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme, tidak pro rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite. Dalam kapitalisme, pangan bukan hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan.
Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Hal ini menyebabkan dominasi pasar oleh segelintir pengusaha, menciptakan struktur oligopoli yang memungkinkan mereka mengendalikan harga dan pasokan beras.
Dalam kondisi ini, kesejahteraan petani dan kestabilan harga untuk konsumen menjadi kurang diperhatikan, karena orientasi utama para pelaku distribusi adalah akumulasi laba. Ketimpangan akses terhadap sarana produksi, teknologi, dan pasar juga memperparah kondisi petani kecil yang makin termarjinalkan dalam sistem perdagangan beras nasional. Siapa yang merasakan dampak terbesar? Tentu rakyat miskin yang menjadi korban fluktuasi harga.
Berbeda halnya dalam sistem Islam yakni khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang.
Islam juga secara tegas melarang praktik monopoli dan penimbunan (ihtikar) yang kerap digunakan dalam sistem kapitalisme untuk mengendalikan harga demi keuntungan sepihak. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa melakukan penimbunan, maka ia berdosa” (HR. Muslim).
Artinya bahwa negara dalam sistem Islam wajib menindak tegas pelaku penimbunan dan memastikan stok pangan segera disalurkan ke masyarakat. Negara akan mengelola sendiri sebagian sumber daya strategis dan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk membangun gudang pangan, mengatur harga, serta menjaga ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Negara juga mendorong produksi pertanian melalui insentif, distribusi lahan yang adil, dan larangan membiarkan tanah terlantar lebih dari tiga tahun, tanpa membebani petani dengan pajak yang menekan. Maka, solusi hakiki bukan tambal sulam regulasi, tetapi perubahan sistem.
Oleh: Nabila A.S.
Aktivis Muslimah
0 Komentar