Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dua Jalan Satu Tujuan: Memahami Peran Misionaris dan Orientalis dalam Perubahan


Topswara.com -- Pernahkah anda merenung dan bertanya, mengapa banyak tulisan yang menceritakan tentang peleburan kebudayaan Timur dan Barat, tentang dialog peradaban, atau kadang justru upaya untuk saling meniadakan? 

Di balik setiap babak sejarah itu, ada para pelaku yang memainkan peran signifikan. Dua di antaranya, dengan tujuan dan metode yang sangat berbeda, adalah misionaris dan orientalis. Mari kita singkap tirai perbedaan diantara mereka, bukan sekadar memaparkan fakta, namun meresapi esensi di balik peran mereka.

Naluri Keagamaan, atau Strategi Pemikiran?

Bayangkan sebuah perjalanan panjang di abad pertengahan. Ada yang melangkah dengan keyakinan membara, membawa berita keselamatan yang diyakininya. Ada pula yang menyelinap ke dalam perpustakaan kuno, merangkai setiap kata dan manuskrip sejarah untuk memahaminya untuk menguasai dan merubah fakta. Inilah inti dari perbedaan gerak diantara mereka.

Panggilan Suci versus Pemikiran

Seorang misionaris adalah pribadi yang hatinya digerakkan oleh panggilan dakwah Kristen yang kuat. Mereka percaya, ada cahaya yang harus dibagikan, dan setiap jiwa adalah ladang subur untuk menyemai benih iman. Orientasi mereka begitu personal, menyelamatkan domba yang tersesat oleh perubahan zaman. 

Di sisi lain, seorang orientalis datang dengan kacamata yang berbeda. Bukan iman yang membara, melainkan hasrat untuk menganalisis, menyusun taktik, dan mengembangkan strategi dengan mempelajari Islam untuk kemudian dihancurkan. 

Ketika Samuel Zwemer mengarungi gurun pasir dan kota-kota tua, menemui siapa saja, ia membawa harapan atas suksesnya misi yang diyakini berasal dari perintah Ilahi. 

Namun, saat Ignaz Goldziher tenggelam dalam manuskrip-manuskrip Arab kuno, ia tidak mencari jiwa untuk diselamatkan, melainkan mencari pola, struktur, dan makna untuk dipahami. Bukankah menarik, bagaimana dua niat berbeda bisa membawa mereka ke gerbang yang sama, yaitu umat Islam?

Hancurnya Iman, atau Robohnya Institusi?

Ini adalah inti yang paling sensitif, seringkali disalahpahami, namun sebenarnya sangat fundamental.
Tujuan seorang misionaris adalah menyebarluaskan ajaran Kristen agar keimanan umat Islam berhasil dihancurkan. Mereka melihat Islam sebagai penghalang menuju "keselamatan". Dan "kemenangan" baginya adalah ketika umat Islam telah beralih iman. 

Adapun orientalis, tujuannya adalah memahami dan mempelajari Islam agar institusinya berhasil dihancurkan. Ini lebih besar dari sekadar ketakwaan individu. Ini tentang melemahkan struktur sosial, politik, atau bahkan intelektual yang menopang peradaban Islam.

Pengetahuan yang mereka kumpulkan bisa menjadi alat untuk mempengaruhi kebijakan, mengontrol narasi, atau bahkan memperkuat hegemoni dan dominasi Barat terhadap dunia Islam. 

Saat para misionaris di era kolonial, misalnya, dari London Missionary Society, mendirikan sekolah dengan kurikulum Kristen, tujuan mereka adalah membentuk generasi baru yang iman lamanya terkikis dan hilang. Mereka menginginkan sebuah revolusi spiritual menuju "keselamatan".

Sementara itu, William Muir, seorang administrator kolonial sekaligus orientalis, menulis tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, ia melakukannya dengan agenda yang lebih besar, yaitu memberikan justifikasi intelektual bagi hegemoni kolonial, meruntuhkan legitimasi peradaban Islam, bukan dengan pedang, melainkan dengan pena, narasi dan pemikiran. 

Sekolah versus Politik

Bagaimana mereka mencapai tujuan-tujuan besar ini? Misionaris menggunakan metode penyebaran agama yang lugas, khotbah yang berapi-api, literatur Injil dalam berbagai bahasa, pembangunan sekolah yang mengajarkan nilai-nilai Kristen, hingga rumah sakit yang menjadi jembatan amal dengan pesan Injil. Pendekatan mereka seringkali langsung dan personal, menyentuh kebutuhan dasar manusia dengan tawaran spiritual dan material. 

Sementara itu, orientalis bergerak dengan metode politik melalui pendekatan ilmiah dan penelitian. Mereka adalah para sarjana yang menghabiskan hidupnya mempelajari bahasa Arab, menganalisis teks, meneliti sejarah kekhilafahan, hingga memahami struktur sosial masyarakat Muslim. Pengetahuan yang mereka hasilkan, yang seringkali terlihat netral dan objektif, kemudian dapat diinterpretasikan dan digunakan untuk tujuan intelijen, politik, maupun diplomatik. 

John Mott, seorang arsitek gerakan misionaris global, mungkin menghabiskan waktunya merancang strategi evangelisasi massal, menyatukan kekuatan gereja-gereja untuk misi suci. 

Di sisi lain, Edward William Lane, seorang orientalis Inggris, mungkin berhari-hari mengkaji setiap detail kehidupan masyarakat Mesir untuk menghasilkan kamus Arab-Inggrisnya yang monumental. Ia tidak berkhotbah kepada orang Islam, namun mengamati kehidupan mereka dan mendokumentasikannya. Inilah potensi dan bahaya dari pengetahuan itu sendiri.

Perubahan Jiwa, atau Kendali Politik?

Akhirnya, apa sebenarnya jejak yang mereka tinggalkan pada perubahan peradaban? Dampak misionaris terlihat pada perubahan sosial dan keagamaan dalam masyarakat yang mereka datangi. 

Ada yang memeluk iman baru, ada yang identitas keagamaannya justru menguat sebagai bentuk resistensi, dan ada pula percampuran budaya yang sinkretik. Jejak mereka adalah gereja-gereja yang berdiri, sekolah-sekolah yang didirikan, dan perubahan dalam lanskap demografi keyakinan.

Sebaliknya, orientalis memberikan informasi berharga tentang masyarakat Islam pada pihak gereja dan berdampak politis. Pengetahuan mereka seringkali menjadi dasar bagi kebijakan-kebijakan kolonial yang membentuk peta dunia modern, strategi militer, atau cara pandang dunia Barat terhadap Timur. Mereka tidak hanya mengamati, mereka juga membentuk narasi yang memiliki konsekuensi jangka panjang.

Di beberapa wilayah di negeri ini, Anda akan melihat komunitas Kristen yang fanatik, hasil dari berabad-abad kerja misionaris Katolik dan Protestan di era kolonial. Ini adalah dampak yang terlihat, nyata di hadapan mata. 

Sementara itu dampak Bernard Lewis, seorang orientalis yang banyak menulis tentang Timur Tengah, mungkin tidak semata terlihat di gereja atau sekolah. 

Karyanya, yang meskipun berbobot ilmiah, seringkali dikutip dan digunakan oleh pembuat kebijakan Barat untuk memahami, dan kadang, mejustifikasi intervensi mereka di dunia Islam. Ini adalah dampak yang lebih halus, namun jauh lebih besar, membentuk cara pandang geopolitik yang kita kenal hari ini.

Penutup

Misionaris dan orientalis adalah dua cermin yang merefleksikan kompleksitas interaksi peradaban. Satu berjuang untuk jiwa dan iman satu lagi untuk pengetahuan yang berujung pada kekuasaan. Keduanya, dengan cara yang berbeda, telah membentuk wajah dunia kita saat ini. 

Memahami perbedaan ini bukan untuk membenarkan sepak terjang mereka, melainkan untuk meresapi bagaimana motivasi, metode, dan dampak yang telah membentuk perjalanan sejarah kita. 

Dengan memahami mereka, kita sebagai pengembangan dakwah bisa menavigasi gerak dan langkah untuk merubah masyarakat neo jahiliyah menuju masyarakat Islam yang menerapkan syariat secara kaffah. Bukankah ini sebuah renungan yang berharga? 

Wallahu A'lam bish Shawab.


Trisyuono D. 
(Aktivis Muslim)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar