Topswara.com -- Tidak henti-hentinya publik dikejutkan dengan berita terkini. Pasalnya korban dari kasus yang marak terjadi belakangan adalah anak-anak bahkan balita. Sungguh nahas nasib bayi perempuan di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau yang baru berusia dua tahun, di tangan keji pasangan suami istri yang ternyata bukan orang tua kandung sang bayi.
Berawal dari ibu korban yang menitipkan anaknya kepada pelaku dengan alasan ingin merawat anak tersebut sebagai anak pancingan. Sampai pada selasa (10/6/25), ibu korban datang ke rumah sakit setelah dikabarkan bahwa anaknya terluka akibat kecelakaan lalu lintas hingga meninggal.
Pihak rumah sakit yang menaruh curiga, mengarahkan ibu korban untuk melakukan autopsi dan didapati bahwa anaknya meninggal bukan karena kecelakaan, melainkan akibat kekerasan. Tak lama diketahui, korban ternyata sering disiksa oleh pelaku hanya karena sang anak rewel dan kerap menangis. (medan.kompas.com, 15/6/25).
Meskipun penanganan kasus-kasus kekerasan pada anak ini telah dilakukan, namun kenyataannya masih banyak terjadi di luaran sana kekerasan yang menimpa anak-anak. Entah pelakunya orang dewasa atau bahkan anak-anak juga sekalipun. Tentu hal ini perlu menjadi sorotan kita bersama.
Mengingat bahwa anak-anak merupakan bibit generasi masa depan yang harus dibesarkan dengan ilmu dan kasih sayang. Maka, tindakan yang dilakukan sebaiknya bukan hanya kuratif (meski itu pun belum menjangkau seluruh kasus), tetapi juga preventif (pencegahan) terhadap adanya perilaku kekerasan pada anak.
Pencegahan ini dapat dimulai dengan menyisir faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan pada anak sering terjadi, di antaranya yakni faktor ekonomi, pendidikan, kerusakan moral, tekanan emosional, tontonan, pergaulan sosial serta peran negara.
Sebagai orang tua, sudah seharusnya mengantongi kesiapan dalam hal finansial, mental, ilmu agama, serta pendidikan sebelum memutuskan untuk memiliki seorang anak. Ini merupakan langkah preventif untuk membekali anak agar terhindar dari perilaku kekerasan, mengingat saat ini banyak pelaku kekerasan fisik maupun seksual yang datang dari usia anak-anak hingga remaja.
Himpitan ekonomi yang kian menjerat di alam kapitalisme juga menjadi sebab utama orang tua tertekan secara emosional hingga mudah melakukan kekerasan pada anak. Sementara pergaulan dan tontonan kian bebas diakses oleh anak bahkan yang masih di bawah umur.
Atas nama kebebasan adalah hak setiap individu, paham liberalisme sedikit demi sedikit menyusup ke dalam pergaulan sosial anak hingga meracuninya.
Oleh karena itu, peran negara sangat penting dalam tahap pencegahan perilaku kekerasan pada anak. Negara wajib mengontrol faktor eksternal yang dapat memicu seseorang melakukan tindak kejahatan, serta membekali generasi dengan pendidikan yang mudah dijangkau dan dipahami.
Selain itu, negara wajib menjatuhi hukuman berat bagi pelaku kriminal, sehingga tidak lagi bermunculan pelaku-pelaku baru yang merasa berani mengulangi kejahatan yang sama karena ringannya hukuman. Ini mustahil diwujudkan apabila negara masih mengadopsi sistem kapitalisme dengan asas pemisahan agama dari kehidupannya.
Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam sebagai asasnya. Berbagai langkah akan diambil demi menjaga kestabilan dan keamanan hidup rakyat.
Penjatuhan hukumannya pun sudah pasti akan memberatkan pelaku kejahatan sesuai perintah dan larangan Allah SWT, hingga muncul rasa takut kepada masyarakat luas untuk mengulanginya kembali. Negara yang menerapkan aturan Sang Pencipta tersebut itulah yang disebut dengan khilafah.
Wallahu’alam bi shawab.
Oleh: Mela
Aktivis Muslimah
0 Komentar