Topswara.com -- Apakah orang Turki menyesali kejatuhan Kesultanan Utsmani? Jawabannya tentu jauh lebih kompleks daripada sekadar "ya" atau "tidak". Ini adalah pertanyaan yang berakar dalam identitas nasional, sejarah yang menyakitkan, serta visi masa depan yang berbeda-beda.
Jawaban atas pertanyaan ini sangat bervariasi di antara individu dan kelompok di Turki sendiri. Hal itu mencerminkan spektrum pandangan yang luas mengenai warisan Utsmaniah dan Republik Turki yang didirikan setelahnya.
Bagi banyak orang Turki, terutama mereka yang menganut pandangan nasionalis sekuler, kejatuhan Kesultanan Utsmaniah dan pendirian Republik Turki di bawah Mustafa Kemal Ataturk adalah sebuah pembebasan.
Mereka melihat Kesultanan di tahun-tahun terakhirnya sebagai entitas yang usang, korup, despotik dan tidak mampu bersaing dengan kekuatan besar Eropa pasca revolusi industri.
Kejatuhannya, bagi mereka, adalah langkah yang diperlukan untuk modernisasi, sekularisasi, dan pembangunan negara bangsa yang kuat dan berdaulat.
Meskipun warisan Utsmaniah mungkin diakui sebagai bagian dari sejarah, namun penyesalan atas kejatuhannya tidak cukup kuat, bahkan peralihan ini dianggap sebagai perubahan yang positif. Republik adalah simbol kemajuan, pendidikan Barat, dan pemutusan dengan sistem lama yang dianggap menghambat adalah bentuk pembangunan.
Nostalgia Utsmaniah: Antara Kemuliaan Masa Lalu dan Realitas Saat Ini
Namun, ada juga segmen masyarakat yang merasakan nostalgia mendalam terhadap Kesultanan Utsmaniah. Kelompok ini seringkali memiliki pandangan yang lebih konservatif maupun religius.
Bagi mereka, Kesultanan Utsmaniah bukanlah sekadar kerajaan, melainkan sebuah kekuatan yang adil dan beradab yang selama berabad-abad menjadi pusat dunia Islam, pelindung umat, dan penyebar kebudayaan.
Mereka mungkin melihat kejatuhannya sebagai tragedi, hilangnya kemuliaan, dan permulaan periode di mana nilai-nilai tradisional dan keislaman telah terkikis. Penyesalan di sini bukan hanya tentang hilangnya kekuatan politik, tetapi juga tentang hilangnya identitas yang lebih luas, sebuah, yaitu "zaman keemasan" yang ideal.
Mereka mungkin merindukan kekuatan dan pengaruh geopolitik Utsmaniah di masa lalu, serta kagum dengan sistem yang mereka anggap lebih sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Di samping kedua kutub ini, ada pula pandangan yang lebih progresif dan bernuansa politis . Banyak orang memahami bahwa Kesultanan Utsmaniah, seperti semua kekaisaran besar, memiliki pasang dan surutnya masing-masing. Mereka mungkin menghargai warisan budaya, arsitektur, dan sejarah Utsmaniah tanpa secara aktif "menyesali" kejatuhannya.
Mereka mengakui bahwa Kesultanan memang menghadapi tantangan internal dan eksternal yang besar, dan bahwa perubahan adalah hal yang tak terhindarkan. Fokus mereka mungkin lebih pada bagaimana memanfaatkan warisan Utsmaniah untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Turki, daripada terpaku pada masa lalu yang kelabu.
Mereka melihat Kesultanan Utsmaniah sebagai salah satu babak dalam sejarah panjang Turki, bukan satu-satunya babak yang menentukan.
Melampaui Kekaisaran: Kerinduan pada Kekhalifahan Dengan Manhaj Kenabian
Dibalik keruntuhan Turki utamanya, ada dimensi lain yang patut untuk dieksplorasi. Bukan sekedar penyesalan terhadap Kesultanan Utsmaniah yang rapuh di akhir hayatnya, melainkan kerinduan terhadap cita-cita tegakknya kekhalifahan yang berlandaskan pada jalan kenabian. Kerinduan ini bahkan dirasakan dengan kuat oleh umat Islam diluar Turki itu sendiri.
Bagi sebagian kalangan, khususnya mereka yang memiliki pemahaman Islam yang mendalam dan visioner, penyesalan atas kejatuhan Utsmaniyah tidak semata-mata karena hilangnya kekuasaan duniawi atau keindahan arsitektural.
Sebaliknya, penyesalan itu berakar pada hilangnya institusi kekhalifahan, yaitu sebuah konsep kekuasaan yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, melampaui batas-batas wilayah yang pernah dikuasai, maupun manfaat pragmatis yang pernah didapatkan.
Kekhalifahan yang secara historis dipegang oleh Utsmaniah selama berabad-abad lamanya, dipandang sebagai representasi kepemimpinan spiritual dan politik umat Islam global. Kepemimpinan ini idealnya meneladani prinsip-prinsip keadilan, persatuan, dan ketakwaan seperti yang dicontohkan pada masa Khulafaur Rasyidin.
Kerinduan ini bukanlah untuk mengembalikan "Sultan" yang berkuasa dengan segala pelanggaran atau kelemahan yang mungkin terjadi di akhir periode Utsmaniyah. Justru sebaliknya. Penyesalan itu muncul dari kesadaran bahwa dengan bubarnya Kekhalifahan, umat Islam kehilangan pusat kepemimpinan global yang menyatukan umat Islam.
Mereka melihat dampak fragmentasi politik dan spiritual yang terjadi pasca-1924, di mana negara-negara Muslim terpecah-pecah dan seringkali tunduk pada kepentingan asing dibawah rezim yang zalim.
Dalam pandangan ini, kekhalifahan bukan hanya tentang Kekaisaran Utsmaniah, melainkan tentang "jalan kenabian" (minhaj an-nubuwwah). Yaitu sebuah model pemerintahan yang ideal, di mana kekuasaan digunakan untuk menegakkan syariat Allah, memimpin umat dengan hikmah, dan menjaga persatuan. Ini adalah visi besar tentang sebuah tatanan yang lebih adil dan bermartabat bagi umat Islam, yang telah hilang setelah keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniah.
Kesimpulan : Spektrum Penyesalan dan Aspirasi Umat Islam
Perbedaan sudut pandang tentang Turki Utsmani seringkali dipolitisasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Partai-partai politik dan para pemimpin berbagai golongan seringkali menggunakan narasi Utsmaniah untuk tujuan mereka sendiri. Baik untuk membangkitkan nasionalisme, mengkonsolidasikan dukungan konservatif, atau untuk mengkritik kebijakan yang dianggap "anti-tradisional".
Kebangkitan minat pada era Utsmaniah melalui serial TV populer dan restorasi situs bersejarah juga turut membentuk persepsi publik, seringkali dengan romantisasi sejarah yang berlebihan.
Bahkan para pemimpin dari negara-negara lain-pun seringkali meminjam narasi Turki Utsmani untuk kepentingan suksesi maupun menjaga legitimasi kekuasaan mereka sendiri. Lalu, bagaimana mengembalikan Kejayaan Turki Utsmani?
Pada akhirnya, tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan ini. Orang Turki adalah masyarakat yang beragam, dan pandangan mereka terhadap Kesultanan Utsmaniah dan kejatuhannya mencerminkan kerumitan identitas nasional mereka.
Beberapa melihatnya sebagai akhir yang diperlukan untuk awal yang baru dan lebih baik, sementara yang lain meratapinya sebagai hilangnya keagungan masa lalu.
Mayoritas mungkin berada di antara keduanya, mengakui sejarah sambil bergerak maju kedepan. Namun, bagi sebagian lainnya, penyesalan atas kejatuhan Utsmaniah ini melampaui pencapaian keduniaan.
Rasa itu merupakan kerinduan yang lebih dalam akan kekhalifahan yang tegak berdasarkan jalan kenabian. Itu adalah sebuah kesadaran akan mahkota kewajiban yang selama lebih dari 100 tahun telah terabaikan.
Yang jelas adalah bahwa warisan Utsmaniyah tetap menjadi bagian integral dari diskusi tentang siapa orang Turki itu sendiri, serta bagaimana mereka melihat posisi dan peran mereka di dunia Sekuler ini.
Umat Islam yang berada diluar Turki seharusnya juga melihat Turki sebagai bagian dari diri mereka sendiri, terbebas dari nasionalisme dan bentuk-bentuk ashabiyyah lainnya.
Wallahu A'lam bish-Shawab.
Trisyuono D.
(Aktivis Muslim)
0 Komentar