Topswara.com -- Setiap tahunnya, banyak Muslim dari berbagai belahan dunia berkumpul di Makkah yang merupakan tempat suci. Mereka berasal dari berbagai etnis, warna kulit, bahasa, dan latar belakang sosial.
Semua mengenakan pakaian yang sama: dua lembar kain putih yang tidak dijahit. Tiada raja, tiada rakyat biasa. Tidak ada pejabat, tidak ada pekerja. Semua bersatu dalam satu seruan: “Labbaikallahumma labbaik…”
Inilah haji, sebuah aktivitas ibadah yang melampaui aspek spiritual, dan juga menjadi simbol suatu peradaban. Bukan hanya perjalanan fisik, tetapi sekaligus perjalanan jiwa dan ideologi.
Haji mencerminkan kesatuan umat Islam, dan menjadi pengingat bahwa kita merupakan satu kesatuan yang diikat oleh akidah dan hukum yang serupa. Akan tetapi, dibalik keindahan ibadah haji, umat Islam justru menghadapi perpecahan yang menyakitkan.
Ketika jutaan Muslim berkumpul di satu lokasi, dunia Islam tetap terpecah dalam batasan-batasan nasionalisme. Saat lisan kita melafalkan tauhid, realitas hidup umat justru jauh dari konsep tauhid itu sendiri.
Lalu, di mana sesungguhnya terdapat esensi persatuan umat yang dijanjikan oleh ibadah haji? Makna Simbolik Haji dalam Menghimpun Umat. Kain ihram: Lambang kesetaraan dan keikhlasan saat seorang Muslim mengenakan ihram, ia melepaskan tanda-tanda keduniawian.
Posisi, gelar, kekayaan, dan kebangsaan disingkirkan. Semua menjadi setara di hadapan Allah. Ini adalah pelajaran tauhid yang paling jelas: tidak ada kemuliaan kecuali yang diperoleh melalui ketakwaan.
Thawaf mengajarkan bahwa kehidupan harus berfokus pada pusat yang sama—yaitu Allah SWT. Umat Islam bersatu karena memiliki kiblat yang sama, bukan karena ideologi atau kepentingan suatu negara. Ini seharusnya menjadi landasan persatuan umat: satu arah, satu hukum, satu pandangan hidup.
Jutaan individu berkumpul di padang Arafah pada saat yang bersamaan, dengan doa yang serupa. Tidak ada momen manusia yang semegah ini dalam histori dunia. Ini seharusnya menjadi awal dari kesadaran: jika kita bisa bersatu di Arafah, mengapa tidak dalam arena politik dan sosial?
Melempar jumrah tidak sekadar tindakan fisik, melainkan juga lambang perlawanan terhadap godaan iblis, keinginan pribadi, dan sistem yang memecahkan persatuan umat. Ini mengajarkan bahwa satu-satunya musuh kita adalah kebatilan, bukan sesama Muslim.
Rasulullah SAW memberikan khutbah perpisahan di Arafah dengan panggilan yang menyentuh seluruh umat manusia: “Wahai umat, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan nenek moyang kalian juga satu. Tidak ada yang lebih unggul antara orang Arab dan non-Arab, atau sebaliknya, kecuali dalam hal ketakwaan…”
Ini bukan sekadar sebuah pidato. Ini adalah pernyataan tentang kemanusiaan. Sebuah dasar bagi peradaban Islam yang meniadakan rasisme, kesetiaan buta terhadap bangsa, dan sekularisme. Namun, setelah menjalankan haji, mengapa umat malah kembali kepada batasan-batasan yang memisahkan?
Hari ini, pelaksanaan haji dilakukan dalam konteks nasional dan administratif. Setiap negara memiliki jatah masing-masing. Setiap kelompok jamaah diorganisir oleh panitia nasionalnya. Oleh karena itu, walaupun berkumpul di lokasi yang sama, umat tetap terpisah secara struktural dan politik.
Ketiadaan pimpinan Islam secara global atau Khilafah Islamiah menjadikan ibadah haji sekadar simbol, bukannya sebagai kesempatan untuk melakukan perubahan.
Di masa lalu, para khalifah memanfaatkan musim haji untuk menyampaikan pesan umat, namun kini tidak ada yang bisa mengungkapkan penderitaan Palestina, Uighur, Suriah, atau Rohingya di tengah lautan jamaah yang hadir.
Membangkitkan kesadaran politik Islam di kalangan umat harus memahami bahwa haji lebih dari sekadar ritual spiritual, tetapi juga sebagai seruan ideologis untuk bersatu di bawah bendera Islam. Kesadaran ini perlu diaktifkan melalui dakwah, pendidikan, dan penggunaan media.
Nasionalisme merupakan suatu penyakit yang menghalangi persaudaraan antar umat Islam. Kaum Muslimin perlu melampaui batas negara untuk kembali kepada ikatan keesaan dan persaudaraan berdasarkan akidah.
Sebagaimana masyarakat di masa lalu bersatu di bawah naungan khilafah, saat ini kita juga perlu berupaya untuk mengembalikan lembaga tersebut. Dengan kepemimpinan Islam yang mendunia, ibadah haji dapat berfungsi sebagai sarana diplomasi umat, bukan hanya sekadar ritual tahunan.
Haji seharusnya membentuk karakter kepemimpinan: bagi mereka yang berniat untuk menyatukan komunitas, mengimplementasikan syariah, serta melawan ketidakadilan di dunia. Apabila setiap jemaah haji kembali dengan semangat untuk berbuat perubahan, maka komunitas akan bangkit, dan sejarah akan mengalami transformasi.
Haji merupakan seruan dari alam semesta untuk menggalang kesatuan hati, pikiran, dan tindakan umat Islam. Kegiatan ini bukan sekadar mengenang perjalanan Nabi Ibrahim, tetapi juga merupakan langkah menuju kebangkitan yang baru.
Mari kita jadikan haji sebagai langkah pertama dalam memperbaiki umat. Dari haji, kita memperoleh pelajaran tentang kesetaraan. Dari haji, kita juga menyadari betapa pentingnya memiliki tujuan hidup. Dan dari haji, kita harus tahu bahwa umat ini hanya akan memiliki kemuliaan jika bersatu di bawah panji-panji Islam yang utuh.
"Sesungguhnya, mereka yang beriman adalah satu saudara, maka selesaikanlah perselisihan antara dua orang yang bersaudara dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian memperoleh kasih sayang-Nya." (QS. Al-Hujurat: 10).
Oleh: Kanti Rahayu
Analisis Penulis Rindu Islam
0 Komentar