Topswara.com -- “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (TQS. Ar-Rum: 41)
Belum lama ini beredar video yang menampakkan jelas kondisi Raja Ampat yang sebelumnya dikenal indah telah berubah menjadi rusak parah.
Kawasan Raja Ampat yang didaulat sebagai salah satu Global Geopark UNESCO di bidang pariwisata dan dikenal sebagai hutan lindung dan rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia, semuanya lambat laun mengalami perubahan. Deforestasi terjadi tanpa bisa dikendalikan.
Berdasarkan analisis Greenpeace, aktivitas penambangan telah menyebabkan degradasi hutan seluas lebih dari 500 hektare, sementara proses sedimentasi yang menyertainya turut menimbulkan ancaman serius terhadap terumbu karang dan kelestarian ekosistem laut.
Dilasir dari Tempo.co, riset terbaru Greenpeace Indonesia mengungkapkan pemerintah pernah menerbitkan 16 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat. Sebanyak 13 izin di antaranya masuk ke wilayah Geopark Raja Ampat. IUP aktif tersebut milik PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham (16/6/2025)
Pemberian izin tambang di wilayah Raja Ampat menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Beberapa kelompok mengajukan kritik terhadap pemerintah karena tidak melakukan pencabutan secara menyeluruh atas izin tambang di daerah tersebut.
Pasalnya, pemerintah hanya mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
PT Gag Nikel menambang di Pulau Gag, yang luas daratannya sekitar 6.035,53 hektare dan memiliki 1.000 penduduk. Mengutip keterangan Kementerian ESDM, Kontrak Karya (KK) PT Gag Nikel terbit pada 2017 dan mulai beroperasi setahun kemudian setelah mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sedangkan total luas konsesi PT Gag mencapai 13.136 hektare (BBC News Indonesia, 5/6/2025)
Pasalnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengeklaim akan menghentikan sementara operasional tambang nikel di Pulau Gag. Hanyasaja, Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut pernyataan tersebut hanya akal-akalan untuk meredam suara protes masyarakat tanpa mau melakukan peninjauan secara menyeluruh.
Keputusan ini sempat menuai kontroversi. Pasalnya, Keppres tersebut dianggap bertolak belakang dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang secara tegas melarang kegiatan tambang terbuka di area hutan lindung.
Juga tidak sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, pemerintah tidak menarik keputusannya. Bahkan, kebijakan tersebut berlanjut dari rezim ke rezim hingga dampaknya separah sekarang.
Kasus Raja Ampat sebenarnya merupakan salah satu contoh nyata dari kuatnya cengkraman oligarki di Indonesia. Dalam situasi ini, segelintir elite penguasa bekerja sama dengan pemilik modal untuk merebut hak-hak masyarakat, memanfaatkan penderitaan mereka atas nama investasi dan pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam.
Mereka kemudian gencar membangun narasi bahwa semua itu dilakukan demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Kondisi seperti yang terjadi di Raja Ampat merepresentasikan fenomena gunung es dalam konteks konflik penguasaan ruang hidup. Permasalahan yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari kondisi struktural yang jauh lebih kompleks dan sistemik.
Berbagai kasus serupa terus muncul di berbagai wilayah Indonesia, membawa dampak sosial, ekonomi, dan ekologis yang signifikan bagi masyarakat terdampak.
Namun, dinamika ini kerap luput dari perhatian publik karena tertutup oleh pergantian isu dalam ruang media, atau tersamar melalui kebijakan populis yang secara retoris berpihak pada rakyat, namun pada prakteknya melanggengkan ketimpangan dan ketidakberdayaan struktural.
Konflik di Raja Ampat beserta deretan kasus serupa mengindikasikan adanya persoalan mendasar dalam paradigma kepemimpinan yang saat ini dijalankan.
Terdapat kecenderungan bahwa orientasi kepemimpinan tersebut dipengaruhi secara kuat oleh ideologi kapitalisme, yang berakar pada nilai-nilai sekularisme dan liberalisme, suatu pandangan yang menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip utama, sering kali dengan mengesampingkan kepentingan kolektif dan keberlanjutan lingkungan.
Realitas menunjukkan bahwa sejumlah kebijakan politik justru dikeluarkan untuk memberikan legitimasi terhadap kepentingan segelintir pemilik modal.
Bukannya berpihak pada aspirasi dan kebutuhan rakyat, para pengambil kebijakan kerap kali memposisikan diri sebagai perpanjangan tangan kepentingan korporasi yang menjadi penopang kekuasaan mereka.
Konsekuensinya, dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan sering diabaikan, selama kekuasaan tetap terjaga dan keuntungan ekonomi bagi elite penguasa terus mengalir tanpa hambatan.
Seperti inilah potret buram kebijakan dalam sistem kapitalisme. Sistem yang mengorientasikan pada materi atau keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang akan diperoleh. Pertambangan yang merupakan kepemilikan umum di privatisasi dan liberalisasi untuk kepentingan para oligarki.
Bagaimana mungkin sistem kapitalisme mampu mensejahterakan rakyat jika pengelolaan sumber daya alam saja dikelola oleh para pengusaha asing?
Dalam menyikapi hal ini perlu adanya strategi yang sangat fundamental dan esensial bagi seluruh elemen bangsa untuk merombak sistem ekonomi negara ini, yaitu sistem ekonomi kapitalisme dengan menggantinya dalam sistem ekonomi yang berlandaskan Islam.
Islam telah menentukan bahwa negara lah yang mengatur seluruh aset-aset kepemilikan negara bukan untuk diserahkan kepada individu maupun asing.
Islam menjelaskan dan menjabarkan aspek dalam kepemilikan. Ada tiga aspek kepemilikan dalam Islam yaitu, kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan negara. Kepemilikan individu memungkinkan siapapun mencari harta untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang dibolehkan Islam.
Harta kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara dan seluruh hasilnya diberikan untuk menjamin kemaslahatan rakyatnya. Harta kepemilikan umum dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu fasilitas dan sarana umum, sumber daya alam yang pembentukannya menghalangi dimiliki oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas.
Kepemilikan umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Islam menjelaskan tentang fasilitas umum ini dalam sebuah hadis, dari segi sifatnya, bukan dari segi jumlahnya.
Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api.” (HR Abu Dawud)
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al-A’raf ayat 96)
Dengan demikian, pengaturan dan paradigma yang benar dalam pengaturan kepemilikan akan mampu mewujudkan perekonomian yang mandiri yang dapat mensejahterakan masyarakat.
Dalam mewujudkannya diperlukan sebuah mekanisme yang baik dalam sistem pemerintahan yang baik juga. Sistem Islam yang telah teruji mampu mengatur perekonomian dengan baik dan mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Wallahu'alam.
Oleh: Novriyani, M.Pd
Praktisi Pendidikan
0 Komentar