Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Akses Pendidikan Terhalang Kemiskinan

Topswara.com -- Berdasarkan data dari pusat dan informasi (Pusdatin), sebanyak 3700 anak dikota Tarakan putus sekolah, dan sebanyak 2000 lebih anak belum pernah sekolah, sementara 1.093 tidak melanjutkan sekolah dan dropout. (benuanta.co.id,5/6/2025)

Sekretaris Disdik Tarakan, Agung Suryawan Aribowo, mengatakan "Disdik juga memiliki data anak tidak sekolah mencapai 50 persen. Data menurut Pusdatin belum diketahui pasti kebenarannya, masih harus dilakukan validasi terlebih lanjut. Awalnya kita akan mengadakan pertemuan dengan kepala sekolah, para lurah,dan pihak operator yang ada dikelurahan masing-masing. 

Dengan membahas, "apakah benar dilingkungan mereka ada anak yang tidak sekolah, putus sekolah,dan tidak melanjutkan sekolah," Pihak Diknas berharap validasi data berlangsung cepat dan memperoleh data yang real, mengingat pada Juli mendatang penerimaan siswa baru akan dilaksanakan. (5/6/2025). Pihak kelurahan melakukan pendataan dengan sistem "Bye Name By Address", sedangkan Disdik akan melakukan pendataan melalui aplikasi.

Ketimpangan akses pendidikan antara keluarga miskin dan kaya masih mengalami perbedaan yang menonjol. Meskipun pemerintah sudah menyalurkan bantuan, seperti dana BOS dan KIP yang digadang-gadangkan bisa menyelesaikan permasalahan dalam pendidikan. 

Tetapi kenyataannya kebijakan yang dilakukan tidak memberi hasil yang maksimal. Bukankah Pemerintah sudah membuat aturannya dalam UUD 45 pasal 31. Lalu apa makna dari UUD tersebut? Bahkan sudah kesekian kali ganti menteri, sampai merubah kurikulum. Tetapi tetap belum bisa memberikan pendidikan yang baik bagi setiap warga negaranya.

Akses pendidikan terhalang oleh kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Disebabkan gaji yang belum mencukupi, hanya bisa untuk makan, ongkos ke sekolah tidak ada. Mereka lebih memilih tidak bersekolah disebabkan faktor kemiskinan. 

Sekolah bukan hanya tentang semata-mata bayar uang sekolah, uang buku, tetapi harus dilihat dari jalan akses menuju sekolah yang jaraknya jauh, harus melewati sungai, berpegangan tali jembatan yang putus menuju sekolah, wilayah yang berkilo- kilometer, transportasi yang tidak memadai, jalan yang rusak. 

Faktor kondisi ekonomi keluarga sangat berdampak bagi tidak sekolahnya anak, bahkan sampai putus sekolah karena keterbatasan biaya dan ikut mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Biaya sekolah mahal, kalau pun ada yang gratis, masih ada pembayaran di yang harus dipenuhi. Tidak ada yang benar-benar gratis. Sementara pendidikan dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah lepas dari kemiskinan, justru pendidikan yang layak belum bisa menjangkau keseluruhan rakyat Indonesia. 

Dalam mengakses pendidikan masih mengalami kesulitan. Bukankah Indonesia sudah terbebas dari penjajah dan sudah merdeka hampir 80 tahun lamanya. Namun kenyataannya berbanding terbalik. Akses pendidikan masih susah dan masih banyak anak-anak yang tidak bersekolah.

Akses pendidikan bukan hanya sekedar warga negara mendapatkan hak untuk sekolah, juga mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan dapat merubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, terlebih menjadi manusia sesuai apa yang diinginkan sang pencipta. 

Menjadi manusia yang bangkit pemikirannya sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Jadi akal harus diisi dengan pendidikan dan pemahaman yang baik dan benar, serta menghasilkan pemikiran yang cemerlang, menjadi manusia yang unggul, dan membentuk kepribadian yang baik. 

Pemerintahan Prabowo Subianto sebagai pencetus sekolah rakyat untuk pelajar yang miskin, dan Sekolah Garuda Unggul untuk pelajar yang kaya, berprestasi yang nantinya dikirim keluar negeri. Sebagai jalan tengah yang bersifat akomoditif. Program-program kebijakan ini tidak menyelesaikan akar masalahnya. 

Faktor kemiskinan harus menjadi penyelesaian yang utama bagi pemerintah. Apabila masalah kemiskinan teratasi, maka akan terlaksananya pendidikan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Namun setiap kebijakan yang dikeluarkan, seperti tumbal alis. Untuk menutupi kegagalan sistem kapitalisme. Sejatinya kebijakan tersebut hanyalah program populis yang tidak menyelesaikan permasalahan.

Negara bukan sekedar institusi netral, tetapi memiliki tanggung jawab syar'i untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pendidikan. Sebagaimana kesehatan dan keamanan, serta menjalankan kewajiban sebagai penyelenggara negara, sekaligus memenuhi pembiayaan baitul maal. 

Begitu juga rakyat, melakukan kewajiban sebagai warga negara dan berhak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Tidak ada pemisahan antara sekolah bagi orang miskin dan kaya, baik di kota maupun di daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Seharusnya tidak ada kesenjangan dan tingkat perbedaan dalam pendidikan. Setiap warga negara memiliki hak yang sama.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam Islam, pendidikan bukan untuk menyelesaikan masalah ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam justru diterapkan sebagai supra struktur dan mendukung sistem pendidikan. 

Pendidikan adalah hak syar'i warga negara, untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islam yang dibina untuk mengagungkan agama Allah dan dipersiapkan menjadi pengemban dakwah dan siap berjihad di seluruh penjuru dunia. Pendidikan Islam akan menjadi kiblat masyarakat dunia. Generasi Muslim akan hadir sebagai penjaga peradaban Islam yang mulia.

Dalam sistem Islam, pendidikan sebagai prioritas yang utama dan menjamin akses pendidikan gratis bagi setiap warga negaranya. 

Daulah Islam berusaha menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan berlandaskan nilai-nilai Islam untuk membangun generasi yang beriman, berilmu dan berakhlak. Menghasilkan ilmuwan, cendikiawan, pemimpin yang berkualitas yang mampu ikut berpartisipasi dalam membangun umat.

Wallahu A'lam Bissawab.


Kartika Putri, S.Sos. 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar