Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sekolah Gratis tetapi Rakyat Gagal Lulus SMA?

Topswara.com -- Era digital dan kecerdasan buatan menuntut negara-negara untuk mencari strategi agar tidak tertinggal dari negara maju lainnya. Hal ini berkaitan erat dengan strategi pembelajaran dalam sistem pendidikan yang ada di dalam negeri tersebut, termasuk Indonesia. 

Pemerintah melalui sistem pendidikan telah memberikan beberapa kebijakan strategis demi mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara maju lainnya.

Ironisnya, masih jauh panggang dari api. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia masih 9 tahun, setara lulus SMP. Harian Kompas menyebutkan bahwa pendidikan masih menjadi kemewahan bagi masyarakat Indonesia. 

Banyak masyarakat yang tidak dapat mengakses pendidikan dengan bebas, terutama di wilayah tertinggal (kompas.com, 4/3/2025).

Sementara itu, laporan Berita Satu (10/3/2025) menunjukkan stagnasi dalam lama pendidikan nasional. Anak-anak dari keluarga miskin kerap terpaksa putus sekolah karena keterbatasan biaya, akses, dan kualitas layanan pendidikan yang rendah.

Jargon pemerintah untuk mewujudkan generasi emas dalam menjawab tantangan globalisasi terdengar begitu parau. Bagaimana mungkin generasi emas akan terwujud jika hanya untuk mengakses pendidikan saja masih sulit diraih? 

Demikianlah sistem pendidikan dalam bingkai sistem kapitalisme yang menjadikannya sebagai komoditas bisnis. Pendidikan dijadikan barang dagangan yang terus melejit harganya seiring dengan kualitas yang diinginkan.

Program pemerintah seperti KIP dan sekolah gratis nyatanya tidak mencakup seluruh rakyat. Banyak yang tak tersentuh bantuan atau terhambat prosedur birokrasi. Ditambah lagi, kurikulum yang ada lebih banyak diarahkan untuk mencetak tenaga kerja murah sesuai kebutuhan industri, bukan membentuk manusia berilmu dan berakhlak tinggi.

Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam institusi pemerintahan. Dalam sistem ini, pendidikan adalah hak dasar setiap warga, bukan barang dagangan. 

Negara menyediakan layanan pendidikan secara gratis, berkualitas, dan merata, tanpa membedakan miskin atau kaya, Muslim maupun non-Muslim. Negara pun tidak menyerahkan pendidikan pada swasta, melainkan mengelolanya langsung demi kepentingan umat.

Pendanaannya bersumber dari baitul mal, lembaga keuangan negara dalam sistem Islam. Pendanaan yang terkait dengan sistem pendidikan berasal dari pos tetap. Dana ini berasal dari:

Pertama, fa’i: harta yang diperoleh tanpa perang (seperti jizyah dan denda),
Kedua, kharaj: pajak atas tanah produktif milik negara,
Ketiga, serta kepemilikan umum seperti hasil tambang dan sumber daya alam.

Dana ini dikelola sepenuhnya oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk membiayai pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi, tanpa utang luar negeri atau pajak yang memberatkan. Pemerintahan Islam akan menciptakan iklim pendidikan yang sehat dan kompetitif.

Sistem ini bukan sekadar teori. Sejarah membuktikan bahwa peradaban Islam selama berabad-abad menjadi pusat ilmu dunia. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, dan Cordoba memiliki perpustakaan terbesar dan universitas termaju di masanya. 

Pendidikan tidak hanya gratis, tapi juga terbuka untuk semua, termasuk non-Muslim. Lahir tokoh-tokoh ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, dan Al-Zahrawi dari sistem pendidikan Islam yang menjadikan ilmu sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian kepada masyarakat.

Jika pendidikan adalah jalan kemajuan bangsa, maka sudah saatnya kita tidak lagi berharap pada sistem yang terus gagal memenuhi hak dasar rakyat. Sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh menawarkan solusi nyata dan terbukti dalam sejarah. Pendidikan adalah hak, bukan hadiah. []


Oleh: Maziyahtul Hikmah, S.Si.
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar