Topswara.com -- Sangat mencolok perbedaan antara standar kemiskinan nasional Indonesia serta standar global yang ditetapkan Bank Dunia menyibak fakta yang memilukan. Tingkat kemiskinan Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 berada pada angka 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Tetapi, Bank Dunia memakai standar garis kemiskinan sebanyak $6,85 Purchasing Power Parity perkapita tiap hari untuk negara berpenghasilan menengah atas sebagaimana telah Indonesia. Menggunakan standar ini, sekitar 60 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 171,9 juta jiwa tergolong miskin (antaranews.com, 14/03/2025).
Bukan hanya angka perbedaan tersebut, tetapi menggambarkan perbedaan pendekatan untuk mengukur kemiskinan. BPS memakai pendekatan kebutuhan dasar, yang mengukur garis kemiskinan berdasar pengeluaran minimum dalam mencukupi keperluan pokok makanan serta yang bukan makanan.
Di sisi lain, Bank Dunia memakai pendekatan harmonized poverty line, yang memungkinkan perbandingan antarnegara dengan menyesuaikan daya beli rakyat.
Perbedaan standar tersebut memunculkan pertanyaan tentang kebenaran data kemiskinan serta efektivitas kebijakan pengentasan kemiskinan. Standar nasional yang lebih rendah bisa memberikan cerminan yang sangat optimis masalah keadaan kemiskinan, disamping itu standar global yang lebih tinggi mungkin menggambarkan kenyataan yang lebih pahit.
Masalah tersebut memperlihatkan butuhnya data yang akurat dan komprehensif agar mengerti fakta kemiskinan di lapangan. Akhirnya, individu yang dianggap tidak miskin menurut nasional dapat dikategorikan miskin ekstrem sesuai standar global. Hal itu tidak hanya berbeda pendekatan, tetapi gambaran dari strategi manipulatif dalam sistem kapitalisme.
Kapitalisme melihat seseorang dianggap unit ekonomi dalam pasar bebas. Menurut sistem tersebut, negara memiliki peran minimal, sekadar sebagai fasilitator investasi serta penjamin kepastian hukum, tidak sebagai pelayan masyarakat.
Karena itu tidak mengherankan apabila standar kemiskinan nasional dibuat serendah mungkin agar nampak berhasil di kancah dunia, tetapi kenyataannya jutaan orang berada dalam kesengsaraan.
Hal tersebut merupakan kemiskinan sistemis serta struktural, produk dari mekanisme pasar bebas yang menghilangkan fungsi negara untuk memenuhi keperluan pokok masyarakat.
Sistem tersebut membuat kekayaan berputar pada kaum elite, membuat ketimpangan kronis. Perusahaan besar yang mendapat fasilitas, bukanlah masyarakat miskin.
Pemerintah lebih peduli melindungi iklim investasi daripada menjamin masyarakat kenyang. Itulah hasil dari logika Kapitalisme yang membuat uang sebagai tolok ukur kesuksesan, bukan kesejahteraan masyarakat.
Lain daripada itu, Islam kaffah tampil sebagai sistem alternatif yang memanusiakan manusia. Di dalam sistem ekonomi Islam, pemerintah mempunyai kewajiban penuh kepada tercukupinya keperluan dasar masing-masing orang antara lain sandang, pangan, papan, dan pelayanan pokok yakni pendidikan, kesehatan serta keamanan.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya" (HR. Bukhari dan Muslim).
Tanggung jawab tersebut dijelaskan dengan terperinci oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pada kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Beliau menjelaskan bahwasanya pemerintah harus menjamin tiap orang memperoleh hak-hak pokoknya, tidak hanya meningkatkan aktivitas pasar.
Pemerintah pun harus mengatur kepemilikan umum (seperti laut, hutan, tambang, energi) untuk keperluan masyarakat, tidak diswastakan.
Pada aturan Islam, zakat merupakan langkah tetap bagi penyaluran harta. Pemerintah mengambil zakat dari kaum yang mampu serta menyalurkannya untuk delapan golongan penerima zakat yang ditentukan syariat. Disampaikan zakat terdapat juga kekayaan lainnya yaitu jizyah, kharaj, ghanimah serta fa'i yang diatur oleh baitul mal bagi pembiayaan layanan masyarakat.
Tercatat sejarah kejayaan aturan Islam mengatasi kemiskinan. Saat masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat melimpah tetapi tiada yang pantas menerimanya dikarenakan lenyapnya kemiskinan. Hal tersebut bukanlah mitos, tetapi fakta dari ditetapkannya aturan Islam kaffah yang mewujudkan pemerintah bukanlah pebisnis tetapi merupakan pelayan.
Karenanya, apabila kaum Muslim sekarang berada dalam keadaan ekonomi yang sengsara, bukanlah karena Islam tidak berkaitan langsung, tetapi dikarenakan Islam tidak diterapkan secara komprehensif, Islam bukanlah agama spritual saja, tetapi aturan hidup yang sempurna.
Kaum Muslim sudah waktunya menghempaskan aturan kapitalisme yang dipenuhi khayalan serta kembali kepada aturan Islam kaffah. Suatu aturan yang mencukupi pemenuhan keperluan tiap orang, tidak menerima manipulasi data serta sungguh-sungguh menghilang kemiskinan dari akarnya. []
Oleh: Dwi Ariyani
(Aktivis Dakwah di Bantul, DIY)
0 Komentar