Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Marak Korupsi Bukan Sekadar Problem Individu

Topswara.com -- Tingkat korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan laporan Transparency International dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024, Indonesia berada di peringkat ke-99 dengan skor 37 dari 100. 

Dalam indeks ini, skor 0 berarti sangat korup, sedangkan 100 berarti sangat bersih. Skor 37 menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia masih sangat memprihatinkan dan membutuhkan perhatian serius.

Awal tahun 2025 sudah diwarnai dengan sejumlah kasus besar korupsi. Kasus Pertamina Patra Niaga periode 2018–2023 menimbulkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun. Kasus di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia menyebabkan kerugian Rp 11,7 triliun, dan korupsi penempatan dana iklan Bank BJB merugikan negara hingga Rp 222 miliar. 

Fakta ini menunjukkan bahwa korupsi bukan kejadian langka, melainkan telah menjadi penyakit sistemik yang menimbulkan kerugian besar bagi negara.
Korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara bahkan dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial, di mana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. 

Korupsi banyak terjadi di Indonesia, dan penyebabnya dapat dikategorikan menjadi dua faktor utama, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup sifat pelaku yang bermental khianat, korup, dan tidak amanah, sehingga mendorong tindakan korupsi dalam aktivitasnya. 

Faktor eksternal, di sisi lain, merupakan dorongan dari luar diri pelaku, seperti lingkungan yang menciptakan kesempatan untuk melakukan korupsi, di mana kondisi lingkungan memberi peluang untuk tindakan tersebut.

Salah satu faktor eksternal terbesar adalah sistem demokrasi-kapitalis yang dianut Indonesia. Sistem ini membuka peluang bagi orang-orang bermodal besar untuk mencalonkan diri sebagai pejabat, tanpa memperhatikan integritas dan amanah. 

Berdasarkan survei KPK dan LIPI, biaya untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota berkisar antara Rp20–30 miliar, sementara untuk gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Tak heran jika ketika terpilih, mereka berusaha "mengembalikan modal" dengan cara-cara yang tidak sah.

Sepanjang negara ini menganut sistem demokrasi, sudah banyak UU yang dibuat pemerintah dan DPR yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih banyak berpihak kepada oligarki. Contohnya adalah UU Migas, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan revisi UU KPK yang menghilangkan "tangkap tangan" terhadap koruptor, sehingga membuat koruptor makin leluasa dalam melakukan korupsi.

Sistem ini membuat masyarakat jauh dari nilai keimanan, karena akidahnya adalah sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Keagamaan cukup ditempatkan di rumah ibadah saja, sedangkan aktivitas sehari-hari tidak ada hubungannya dengan keimanan, sehingga terciptalah masyarakat yang bertujuan pada materi dan mengesampingkan nilai keimanan.

Tidak adanya nilai keimanan dalam sistem demokrasi-kapitalis membuat koruptor tumbuh subur di negara ini. Sistem demokrasi-kapitalislah yang membuat koruptor terus muncul di tengah-tengah masyarakat. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa korupsi tidak ada habisnya di Indonesia karena penerapan sistem demokrasi kapitalisme.

Solusi untuk menyelesaikan permasalahan korupsi ini haruslah solusi yang komprehensif, yang bukan sekadar menambal sulam peraturan-peraturan yang ada tetapi masih membiarkan akar masalahnya bercokol di negara ini. Solusinya haruslah mengganti sistem demokrasi-kapitalis dengan sistem yang lebih baik, yakni sistem Islam.

Dengan mencontoh Rasulullah SAW, kita bisa melihat bahwa sistem yang diterapkan dalam lingkungan masyarakat adalah sistem Islam, sistem yang dalam penerapannya tidak memisahkan antara agama dan kehidupan. Masyarakat akan dibina dengan akidah Islam sebagai qiyadah fikriyah mereka. 

Sehingga, masyarakat yang tercipta dengan sistem Islam adalah masyarakat yang bertakwa, membuat ketakwaan lahir di setiap anggota masyarakat. Ketakwaan tersebut akan memancarkan sifat protektif (itqa’), sehingga mampu mengendalikan diri setiap individu dan mendorong mereka untuk melaksanakan perintah Allah SWT serta meninggalkan larangan-Nya.

Namun, penerapan sistem Islam tidak cukup hanya pada individu. Sistem ini harus diterapkan dalam struktur negara secara menyeluruh, di mana hukum dan kebijakan berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam sistem ini, kedaulatan berada di tangan syariat, bukan di tangan rakyat seperti dalam demokrasi. 

Artinya, hukum tidak bisa diubah-ubah sesuai kepentingan kelompok tertentu, melainkan tetap dan konsisten sesuai ajaran Islam.

Penerapan sistem Islam di Indonesia merupakan solusi komprehensif atas permasalahan korupsi. Sistem ini tidak hanya memperbaiki individu dengan ketakwaan, tetapi juga mencegah korupsi itu sendiri muncul di tiap-tiap individunya melalui penerapan sistem Islam dalam tatanan masyarakat yang diterjemahkan dalam bentuk undang-undang.

Jelaslah yang dibutuhkan saat ini bukan lagi menambal sulam sistem demokrasi-kapitalis, tetapi menggantinya dengan sistem Islam.


Oleh: M. Khairul Saleh
Aktivis Dakwah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar