Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gizi Rakyat Runyam Tanpa Adanya Islam

Topswara.com -- Sejak digencarkan pada Januari 2025 hingga saat ini, program makanan bergizi gratis (MBG) tidak putus dirundung persoalan. Pasalnya, ratusan siswa mengalami keracunan akibat mengkonsumsi makanan bergizi gratis (MBG). 

Dilansir dari CNN Indonesia, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, Sri Nowo Retno mengungkapkan total perkembangan kasus dugaan keracunan makanan dari tanggal 7-9 Mei 2025, secara kumulatif total korban yang tercatat sebanyak 210 orang. 

Sebaran kasus berdasarkan sekolah, berasal dari delapan sekolah yang telah melaporkan kejadian. Kemudian dari 210 orang itu rinciannya 34 orang menjalani rawat inap, 47 orang menjalani rawat jalan, dan 129 orang mengalami keluhan ringan (11/5/2025)

Keberadaan program MBG menjadi bagian dari program pemerintah yang pelaksanaanya dapat diharapkan memberikan pengaruh bagi masyarakat. 

Sayangnya, kejadian keracunan ini menjadi peringatan besar bagi pemerintah terkait pelaksanaan dan pengawasan terhadap program MBG. Banyak pihak yang juga meragukan program ini terkait menu makanan, porsi, dan status gizi yang tidak merata di setiap daerah.

Meningkatnya jumlah korban keracunan akibat dugaan MBG ini menunjukkan bahwa program ini tidak hanya sekedar masalah teknis akan tetapi menyangkut masalah sistematis yang menjadi akar masalahnya. Banyak pelaku bisnis yang terlibat di dalam program MBG. 

Program MBG menjadi bagian dari kepentingan ekonomi dan bisnis korporasi. Adanya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum MBG menciptakan peluang bisnis bagi para pelaku usaha. 

Mereka berkesempatan menjadi pemasok dan distributor untuk kebutuhan sekolah-sekolah. Bayangkan saja seberapa besar potensi keuntungan yang bisa diraih para pengusaha dapur MBG jika program ini berjalan secara rutin.

Sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang menjadikan program MBG sebagai jalan industrialisasi untuk kepentingan memperoleh keuntungan dan materi tanpa memperhatikan keselamatan dan kesehatan masyarakatnya.

Di saat kasus ini masih belum menemukan titik penyelesaian, muncul gagasan untuk mengasuransikan program MBG. Namun, jika rencana ini benar-benar diterapkan, hal tersebut sebenarnya menunjukkan upaya mengomersialkan risiko. Padahal, yang lebih mendesak adalah menemukan solusi nyata agar insiden keracunan tidak terulang kembali.

Dalam skema asuransi, terbentuk hubungan saling menguntungkan antara pemerintah dan perusahaan asuransi. Negara berfungsi sebagai pengatur, sementara pihak asuransi meraih keuntungan dari dana MBG yang dibayarkan untuk setiap anak. 

Padahal, tanpa perlindungan asuransi sekalipun, masyarakat pada dasarnya sudah memiliki hak atas pangan yang aman dan layak konsumsi, serta bebas dari dampak berbahaya yang muncul akibat pengelolaan yang buruk.

Persoalan ini adalah akibat dari kelalaian negara dan penerapan sistem kapitalisme. Negara ada hanya sebagai regulator kebijakan bukan sebagai fasilitator yang mengurusi kepentingan masyarakat. 

Oleh sebab itu, keberadaan sistem Islam menjadi sebuah urgensi dalam menyelesaikan persoalan umat. Penerapan ajaran Islam secara menyeluruh akan mengakhiri akar permasalahan dalam pemenuhan pangan dan gizi masyarakat, terutama jika sistem tersebut terbebas dari pengaruh industrialisasi.

Dalam perspektif Islam, pangan dan gizi merupakan kebutuhan dasar publik yang menuntut kehadiran negara sebagai penjamin utama baik dalam menjamin keamanannya maupun mencukupi kebutuhan gizinya. Allah Swt. telah memberikan tanggung jawab ini kepada negara melalui perannya sebagai pelindung dan penjaga umat.

Ada beberapa hal yang dilakukan oleh negara dalam sistem Islam. pertama, kekuasaan sentralisasi dan administrasi desentralisasi yang mengacu pada tiga perkara, yakni sederhana dalam aturan, cepat dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh individu yang kapabel.

Kedua, anggaran mutlak berbasis baitulmal. Ketiga, unit-unit teknis pelaksana fungsi negara dalam hal ini yang terkait pemenuhan publik terhadap pangan dan gizi wajib dikelola di atas prinsip sosial, bukan bisnis.

Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk terus memperjuangkan tegaknya Islam kembali agar terwujudnya kehidupan Islam di bawah naungan Daulah Islam.

Wallahu’alam.


Oleh: Novriyani, M.Pd.
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar