Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Iman Sejati Itu Tunduk pada Allah dan Rasul-Nya


Topswara.com -- Sobat. Iman yang sejati hanya bisa diraih oleh orang-orang yang menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai hakim atas diri mereka baik dalam perkataan maupun perbuatan, dalam mencintai maupun membenci, serta mencakup seluruh beban taklif. Lantas setiap orang beriman wajib mengenali, berserah diri, dan tunduk pada Allah dan Rasul-Nya.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا  

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4) : 25)

Sobat. Ayat ini menjelaskan dengan sumpah bahwa walaupun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul. 

Rasulullah SAW pernah mengambil keputusan dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik. Atau mereka bertahkim kepada Rasul tetapi kalau putusannya tidak sesuai dengan keinginan mereka lalu merasa keberatan dan tidak senang atas putusan itu, seperti putusan Nabi untuk az-Zubair bin Awwam ketika seorang laki-laki dari kaum Ansar yang tersebut di atas datang dan bertahkim kepada Rasulullah.

Jadi orang yang benar-benar beriman haruslah mau bertahkim kepada Rasulullah dan menerima putusannya dengan sepenuh hati tanpa merasa curiga dan keberatan. Memang putusan seorang hakim baik ia seorang Rasul maupun bukan, haruslah berdasarkan kenyataan dan bukti-bukti yang cukup.

Sobat. Rasulullah SAW bersabda, “ Orang yang ridha menjadikan Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta Muhammad sebagai rasulnya, akan merasakan kelezatan Iman.” (HR Muslim).

Dalam riwayat lain RAsulullah SAW bersabda, “Sembahlah Allah dengan penuh kerelaan, jika kamu tidak mampu, sungguh di dalam kesabaran atas sesuatu yang tidak kamu sukai terdapat banyak kebaikan.” (HR. Ibnu Abi ad-Dunya).

Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili ra, bertutur, “Jika sekiranya kau harus ikut mengatur, cukuplah untuk tidak ikut campur urusan Allah.”

Sobat. Ketahuilah bahwa Allah SWT menghalangimu bukan karena kikir padamu, melainkan Dia sayang padamu. Dengan demikian, rintangan dari Allah SWT merupakan bagian dari pemberian-Nya. Akan tetapi, tidak ada yang bisa memahami adanya pemberian di dalam rintangan itu kecuali orang-orang yang tulus imannya. Demikian penjelasan Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili ra.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْۖ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2) 216).

Sobat. Dengan turunnya ayat ini hukum perang itu menjadi wajib kifayah dalam rangka membela diri dan membebaskan penindasan. Bila musuh telah masuk ke dalam negeri orang-orang Islam, hukumnya menjadi wajib 'ain. 

Hukum wajib perang ini turun pada tahun kedua Hijri. Ketika masih di Mekah (sebelum Hijrah) Nabi Muhammad SAW dilarang berperang, baru pada permulaan tahun Hijrah, Nabi diizinkan perang bilamana perlu.

Sobat. Berperang dirasakan sebagai suatu perintah yang berat bagi orang-orang Islam sebab akan menghabiskan harta dan jiwa. Lebih-lebih pada permulaan Hijrah ke Medinah. Kaum Muslimin masih sedikit, sedang kaum musyrikin mempunyai jumlah yang besar. 

Berperang ketika itu dirasakan sangat berat, tetapi karena perintah berperang sudah datang untuk membela kesucian agama Islam dan meninggikan kalimatullah, maka Allah menjelaskan bahwa tidak selamanya segala yang dirasakan berat dan sulit itu membawa penderitaan, tetapi mudah-mudahan justru membawa kebaikan. 

Betapa khawatirnya seorang pasien yang pengobatannya harus dengan mengalami operasi, sedang operasi itu paling dibenci dan ditakuti, tetapi demi untuk kesehatannya dia harus mematuhi nasehat dokter, barulah penyakit hilang dan badan menjadi sehat setelah dioperasi.

Allah memerintahkan sesuatu bukan untuk menyusahkan manusia, sebab di balik perintah itu akan banyak ditemui rahasia-rahasia yang membahagiakan manusia. Masalah rahasia itu Allah-lah yang lebih tahu, sedang manusia tidak mengetahuinya.

Sobat. Allah SWT menyimpan wujud kelembutan-Nya dalm hal-hal yang tidak disukai oleh hamba-hamba-Nya. Di setiap cobaan, penyakit, dan kemiskinan terdapat rahasia kelembutan Allah yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang memiliki cahaya hati nurani.

Rasulullah SAW bersabda, “Surga diliputi hal-hal yang tidak menyenangkan dan neraka diliputi syahwat.” (HR. at-Tirmidzi)

Apakah kamu tidak melihat bahwa ujian itu memadamkan dan mempermalukan nafsu (ego) serta mencegah keinginan? Tidak kah kamu tahu bahwa di setiap cobaan ada kelemahan, dan setiap kelemahan ada pertolongan Allah SWT?

وَلَقَدۡ نَصَرَكُمُ ٱللَّهُ بِبَدۡرٖ وَأَنتُمۡ أَذِلَّةٞۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ  

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran (3) : 123)

Sobat. Sebagai penambah kekuatan jiwa dan ketabahan hati dalam menghadapi segala bahaya dan kesulitan, Allah mengingatkan mereka kepada perang Badar ketika mereka berada dalam keadaan lemah dan jumlah yang amat sedikit dibanding, dengan kekuatan dan jumlah musuh.

Berkat pertolongan Allah, mereka berhasil memporak-porandakan musuh hingga banyak di antara pembesar Quraisy yang jatuh menjadi korban dan banyak pula yang ditawan dan tidak sedikit harta rampasan yang diperoleh kaum Muslimin. Karena mereka ingat pada perintah Allah agar mereka bersabar dan bertakwa kepada-Nya dan dengan sabar dan takwa itu mereka akan mendapat pertolongan daripada-Nya dan akan mendapatkan kemenangan.

Sobat. Barang siapa bersabar atas ketetapan-Nya, dia akan mewarisi keridhaan dari Allah SWT. Mereka mampu menahan pahitnya ujian karena mencari keridhaan Allah SWT sebagaimana obat yang pahit akan tetap diminum karena ada harapan untuk sembuh sesudah meminumnya.

وَٱصۡبِرۡ لِحُكۡمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعۡيُنِنَاۖ وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ  

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri,” (QS At-Thur (52) : 48).

Sobat. Setelah menjelaskan berbagai situasi yang besar, menyedihkan hati rasul, akibat tindakan membangkang dan keras kepala orang-orang kafir dan musyrik yang menolak beriman kepada Allah dan rasulnya. 

Maka dalam hal ini, Allah memerintahkan kepada Muhamad SAW supaya bersabar terhadap gangguan kaumnya dan tidak lagi menghiraukan mereka, serta tetap menyampaikan perintah-Nya dan memperingatkan larangan-Nya, dan menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya, sebab Allah selalu melihatnya dan memperhatikan pekerjaannya serta menjaga dan melindunginya dari gangguan dan rintangan musuhnya. 

Sobat. Perihal bertasbih dan memuji Tuhan ketika bangun dan berdiri, meliputi tiga keadaan, yaitu: pertama, ketika bangun dari tidur. Kedua, ketika bangun dari duduk. Ketiga, ketika bangun akan shalat Hal ini mengandung hikmah supaya orang mukmin selalu bertasbih setiap saat, dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, terutama perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. 

Atha', Sa'id, Sufyan ats-sauri, dan Abul Ahwas berkata: bahwa Nabi Muhammad saw bertasbih tatkala ia bangkit dari tempat duduknya. Sebagian hadis: Dari Abu Barzah al-Aslami berkata, Rasulullah saw pada akhir hayatnya, apabila beliau bangun dari tempat duduknya beliau mengucapkan, "Subhanaka Allahumma wabihamdika asyahadu an la ilaha illa anta astagfiruka wa atubu ilaika! Engkau mengucapkan suatu ucapan yang belum pernah engkau ucapkan sebelumnya. Rasulullah saw bersabda, "Ucapan ini penghapus dosa dari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi di majlis." (Riwayat Abu Dawud dan an-Nasa'i).

Diriwayatkan bahwasanya Jibril telah mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw agar ucapan tersebut dibaca ketika hendak bangkit dan duduk dalam satu majlis yaitu: "Mahasuci engkau, wahai Allah, dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau, aku mohon pengampunan-Mu dan aku bertobat kepada-Mu." (Riwayat Abu Dawud dan an-Nasa'i).

Sobat. Jika kau menyadari buah dari kesabaran kembali kepadamu dan berkahnya berbalik kepadamu, niscaya kau akan bergegas untuk mengejarnya dan bergantung padanya. Jika kau mengerti bahwa syukur menjamin bertambahnya nikmat dari Allah SWT, niscaya bersemangat dan gigih untuk bersyukur.
Sebagaimana firman-Nya :

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ  

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(QS. Ibrahim (14) : 7)

Sobat. Dalam ayat ini Allah SWT kembali mengingatkan hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Bila mereka melaksanakannya, maka nikmat itu akan ditambah lagi oleh-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengingatkan kepada mereka yang mengingkari nikmat-Nya, dan tidak mau bersyukur bahwa Dia akan menimpakan azab-Nya yang sangat pedih kepada mereka.

Mensyukuri rahmat Allah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, dengan ucapan yang setulus hati; kedua, diiringi dengan perbuatan, yaitu menggunakan rahmat tersebut untuk tujuan yang diridai-Nya.

Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita lihat bahwa orang-orang yang dermawan dan suka menginfakkan hartanya untuk kepentingan umum dan menolong orang, pada umumnya tak pernah jatuh miskin ataupun sengsara. Bahkan, rezekinya senantiasa bertambah, kekayaannya makin meningkat, dan hidupnya bahagia, dicintai serta dihormati dalam pergaulan. 

Sebaliknya, orang-orang kaya yang kikir, atau suka menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang tidak diridai Allah, seperti judi atau memungut riba, maka kekayaannya tidak bertambah, bahkan lekas menyusut. Di samping itu, ia senantiasa dibenci dan dikutuk orang banyak, dan di akhirat memperoleh hukuman yang berat.


Oleh: Dr. Nasrul Syarif M.Si. 
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spirituality – Meraih Sukses batas. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar