Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Multipartai dalam Demokrasi Kuatkan Polarisasi


Topswara.com -- Persiapan gelaran pesta rakyat lima tahunan yang akan dilaksanakan 2024 terus bergulir. Suhu politik jelang pemilu ini pun semakin memanas. Terlebih setelah KPU menetapkan 17 partai politik lolos verifikasi administrasi dan faktual sebagai peserta pemilu, Rabu 14 Desember 2022. 

Dikutip dari laman bbc.com, 15 Desember 2022 KPU RI telah melakukan pengundian dan penetapan nomor urut bagi 17 parpol yang lolos menjadi peserta pemilu 2024, pada Rabu  (14/12) malam. Namun beberapa partai yang tidak lolos seleksi peserta pemilu tampak tidak puas dengan keputusan KPU tersebut. Salah satunya Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), yang sejak Selasa (13/12) siang menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor KPU Pusat di Jakarta. Bahkan Juru Bicara (jubir) DPP PRIMA, Farhan Dalimunthe, mengatakan KPU tidak transparan dalam menjalankan proses seleksi.

Selain itu aroma kecurangan pun tercium dalam tubuh KPU saat proses verifikasi faktual partai peserta pemilu. Salah seorang komisioner komisi pemilihan umum daerah, yang enggan disebut namanya mengungkap kesaksian, bahwa komisioner KPU pusat Idham Holik sempat mengancam akan mengirim semua KPUD kabupaten/kota ke rumah sakit, jika tidak melaksanakan instruksi komisioner tingkat provinsi. Intruksi tersebut meminta agar meloloskan Partai Gelora,  Partai Kebangkitan Nusantara, dan Partai Garuda sebagai peserta pemilu 2024.(cnnindonesia, 20/12/2022) 

Multipartai Ciptakan Polarisasi 

Multipartai yang diterapkan saat ini ditengarai akan rawan konflik dan meningkatkan polarisasi (perpecahan) di tengah masyarakat. Konflik yang terjadi tidak terbatas pada partai yang tidak lolos seleksi saja, tetapi juga pada partai yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu. 

Persaingan antar partai dan politisi akan semakin panas jelang pemilu, untuk berebut pengaruh dan simpati rakyat demi meningkatkan elektabilitas. Kini semua langkah dan manuver politik bisa dilakukan dengan berbagai cara, apalagi dengan adanya buzzer melaui medsos.

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi, menyampaikan bahwa, tren pola narasi politik di medsos jelang pemilu 2024 mengindikasikan adanya peta perpolitikan yang akan meningkatkan polarisasi di masyarakat. 

Kondisi ini diprediksi hampir sama dengan pemilu 2019 lalu. Hal tersebut ia ungkap berdasarkan pantauan Drone Emprit selama tiga bulan terakhir. Perlu diketahui Drone Emprit merupakan sebuah sistem yang dapat menganalisa dan memantau percakapan di medsos. (katadata.co.id, 17/12/2022)

Apalagi seiring dengan pengaruh informasi melalui media sosial yang dibumbui dengan berita bohong (hoax), dis-informasi, atau mis-informasi akan semakin menguatkan polarisasi. Ditambah adanya pelemahan terhadap ruang publik dan kebebasan bersuara, menjadikan persaingan politik di antara partai dan politisi semakin sengit.  
 
Sementara itu banyaknya partai peserta pemilu juga memungkinkan adanya beberapa tahapan pemilu. Sebab tidak adanya satu partai yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri, sehingga harus ada koalisi partai.  

Bergabungnya dua atau lebih parpol menjadi satu (koalisi), jelas akan menjadikan parpol kehilangan jati dirinya, termasuk partai Islam. Sehingga umat Islam pun tak memiliki tempat bernaung karena saat ini parpol Islam tak ada bedanya dengan parpol sekuler. Semua kondisi tersebut menjadikan legitimasi pemimpin yang terpilih justru akan lemah.

Demokrasi akar Penyebab Polarisasi

Polarisasi di tengah masyarakat terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme demokrasi. Multipartai adalah salah satu kondisi yang mungkin terjadi dalam sistem ini karena adanya landasan kebebasan dalam berkumpul dan berpendapat.

Selain itu asas manfaat menjadi landasan dalam mengambil berbagai keputusan. Sehingga wajar bila terjadi banyak kecurangan baik di lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, terlebih partai politik dan politisi sebagai peserta pemilu. Mereka akan menghalalkan segala cara hanya untuk mencapai tujuan. Meski harus bersaing dengan cara-cara yang tidak sehat untuk menjatuhkan lawan politiknya. 

Dalam sistem kapitalisme demokrasi,  halal atau haram tidak jadi ukuran dalam perbuatan. Sebaliknya yang menjadi fokus perhatian lebih pada tercapainya tujuan politik. Yaitu mendapatkan kekuasaan dan jabatan semata. Meski parpol harus kehilangan jati dirinya dengan berkoalisi, tapi jika hal tersebut dapat menghantarkan pada kekuasaan tentu akan dijalankan.

Oleh karena itu jika sistem ini terus diterapkan tanpa adanya perubahan maka rakyat selamanya akan menjadi korban. Sebab ketika elit politik telah berdamai dengan berkoalisi, perpecahan di kalangan masyarakat bawah justru semakin terbelah. 

Oleh sebab itu rakyat harus memiliki kesadaran bahwa perubahan hakiki hanya akan dapat diwujudkan dengan penerapan aturan Islam secara kafah, melalui partai politik yang benar.

Partai Politik dalam Islam

Islam adalah agama sempurna sekaligus sistem hidup yang meliputi segala aspek kehidupan umat manusia. Aspek politik termasuk hal yang diatur oleh Islam. Politik (as-siyasâh) berasal dari kata sâsa–yasûsu–siyâsat[an]. Artinya mengatur, memimpin, memelihara, dan mengurus suatu urusan. 

Maka dalam Islam politik bukan menitikberatkan pada perebutan kekuasaan, tapi pada pengaturan urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam aturan Islam, politik dilaksanakan oleh negara dan rakyat yang bernaung di bawah parpol. Sebab keberadaan kelompok yang beraktivitas politik di tengah-tengah umat merupakan bagian dari seruan Allah SWT. 

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an: “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan orang yang menyeru kepada Islam dan beraktivitas amar makruf nahi mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imran: 104)

Dari ayat di atas disampaikan bahwa di antara kaum muslimin diperintahkan oleh Allah SWT. untuk membentuk kelompok atau jamaah. Di mana  kelompok ini memiliki aktivitas dakwah yaitu mengajak kepada Islam dan amar makruf nahi mungkar. Sementara dakwah merupakan bagian dari aktivitas politik. Sebab di dalamnya ada salah satu kewajiban untuk  mengawasi, mengoreksi dan meluruskan negara jika menyimpang dari Islam. 

Di samping itu peran partai politik dalam Islam juga harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Yaitu memahamkan umat agar mengatur seluruh urusan kehidupan berdasarkan pada aturan Allah SWT. Peran ini tidak hanya dilakukan jelang pemilu saja. Namun dilakukan secara kontinyu (terus menerus) hingga umat memiliki kesadaran untuk diatur dengan hukum Islam.

Dengan demikian peran parpol dalam Islam adalah sarana bagi umat Muslim untuk melakukan perubahan ke arah Islam. Hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dalam mengubah kondisi masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam melalui dakwah. 

Aktivitas dakwah yang dilakukan beliau tidak hanya mengajak memeluk agama Islam dan mengajarkan Al-Qur’an. Namun beliau juga menghimpun mereka dalam satu kelompok (kutlah) dakwah yang dibina dan dikontrol oleh beliau.

Wujud perubahan politik yang dilakukan Rasulullah SAW. adalah perubahan rezim dan sistem sekaligus. Hal tersebut tampak jelas dengan terwujudnya masyarakat yang dinaungi aturan Islam. 

Rasul dan sahabatnya berhasil mengubah sistem jahiliah menjadi sistem Islam pasca hijrah ke Madinah. Rasulullah SAW. mendirikan masyarakat Islam dalam institusi politik Daulah Islamiyah. Dari sanalah kemudian cahaya Islam itu dipancarkan menembus benua Asia, Afrika hingga Eropa.

Dengan peran parpol yang benar (sahih) sesuai tuntunan Rasulullah SAW., maka tidak akan tercipta polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga yang ada justru persatuan umat manusia dengan tegaknya institusi politik yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. 

Wallahu a’lam bish shawab.


Oleh: Ummi Nissa
Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar