Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tiga Tahun Filiphus Kristian Pura-Pura Mualaf untuk Mencari Kelemahan Islam


Topswara.com -- Sebelum hidayah yang sesungguhnya datang menyinari hatinya, kebencian Filiphus Kristian kepada Islam benar-benar mendarah daging. Ketika tak mampu lagi beradu argumen untuk memenangkan konsep trinitas atas tauhid sekalipun, pendeta itu tidak serta-merta mengakui kebenaran Islam. Dia bahkan berpura-pura masuk Islam untuk mencari kelemahan Islam, hingga dia bersimpuh karena tak menemukannya sedikit pun.

“Penyakit hati saya itu sampai betul-betul paripurna, ya. Akut betul. Stadium empat penyakit hati saya terhadap Islam. Luar biasa,” ungkapnya dikutip Topswara.com dari YouTube Hidayatullah TV, Kamis (12/04/2022).

Termakan Fitnah

Filiphus mewarisi darah suku Minahasa, suku mayoritas di Manado, Sulawesi Utara. Ayahnya seorang penatua (anggota pengurus gereja) di sebuah Gereja Pantekosta. Keluarga Filiphus adalah keluarga Kristen yang taat. Filiphus pun disekolahkan di jurusan Homiletika dan Pedagogi (Penggembalaan dan Pengajaran Kristiani) hingga menjadi seorang pendeta muda.

Sejak kecil Filiphus tak pernah mendapat informasi tentang Islam dari sisi yang lain. Setiap informasi atau berita tentang Islam masuk ke dalam diri dan lingkungannya, selalu negatif bahkan penuh dengan fitnah. Islam teroris, radikal, sadis, bengis, ajarannya ngawur, tukang kawin, dan berbagai sugesti negatif terus masuk di benak Filiphus.

Dia begitu benci dengan Islam. Jika mungkin orang lain memusuhi Islam hanya dengan kata-kata dan narasi, tidak cukup bagi Filiphus. Dia tak segan main fisik. Nyalinya cukup besar untuk mematahkan gigi orang Islam dengan tangannya. Saat bulan Ramadhan tiba, Filiphus remaja senang mencari perkara dengan orang Islam. Dia kerap meminta rokok kepada mereka. Jika tidak diberi, tak segan dia menghajarnya.

Ketika berusia 17-18 tahun, dia sering melempar sesuatu ke dalam masjid. Saat itu, di sebelah rumah pamannya terdapat masjid yang belum selesai dibangun, tetapi sudah digunakan untuk shalat.  Dia memasukkan kotoran dalam batok kelapa lalu melemparnya ke dalam masjid. Kadang juga makanan haram dia lemparkan sehingga orang yang akan shalat mesti bersusah payah membersihkan terlebih dahulu.

Seusai sekolah Al Kitab, dia berkesempatan melakukan praktik dan pengabdian di Bumi Cenderawasih. Dia gunakan kesempatan itu untuk mewujudkan keinginannya, memurtadkan umat Islam.

Diakuinya, itu menjadi misi puncak kebencian seorang Filiphus Kristian terhadap Islam. Lewat pengobatan gratis dan aksi sosial lainnya, Filiphus menjerat orang-orang Islam yang lemah iman dan amwal (harta) di Merauke, Papua agar masuk ke dalam ajaran agamanya.

Tak Berdaya

Sejak sekolah hingga pelayanan, terbilang lima tahun Filiphus totalitas mengabdikan diri untuk agamanya. Dari Papua, ia kembali ke kampung halamannya di Manado. Di sana ia melanjutkan pengabdiannya pada agamanya, melayani jemaat dari satu gereja ke gereja lainnya.

Saat itu dia bertemu dengan kakak kelasnya di masa sekolah dasar. Perbedaan pilihan jenjang pendidikan lanjutan membuat keduanya tak lagi bersama. Namun, karena mereka terbilang teman karib di masa kecil, saat kembali berjumpa di tahun 2009, mereka tetap tak ada canggung, sekalipun saat berapologetik, berdebat mempertahankan keyakinan masing-masing.

Dalam perdebatan itu, Filiphus merasa bertemu dengan lawan yang lumayan. Meski tak mengenyam pendidikan agama secara formal layaknya dirinya, temannya itu memiliki pengetahuan Islam dan pengetahuan perbandingan agama yang bagus.

Mereka beradu argumen bukan sejam atau dua jam. Sambung-menyambung. Jika tak bertatap muka secara langsung, mereka lanjutkan perdebatan melalui sambungan telepon. Berhari-hari mereka melakukan apologetika antara konsep ketauhidan versus trinitas. Temannya itu menjabarkan gamblang dan masuk akal tentang tauhid yang dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Al-Ikhlas.

Filiphus merenungi Tuhan-nya ketika temannya menjabarkan tentang Allah itu esa. "Tuhanku bukan ahad, Tuhanku tsalasa (tiga). Tuhanku seperti itu," pikirnya.

"Allah tempat meminta? Tuhanku minta. Dia meminta berkat, meminta agar roti menjadi banyak, yang lima roti dan dua ikan jadi 5000 agar bisa dimakan 5000 orang, ‘kan?" batinnya ketika dijelaskan bahwa Allahu Shamad (Dialah Allah, tempat meminta).

Penjabaran teman Filiphus selanjutnya membuatnya lebih merasa malu lagi. Temannya itu menegaskan Allah tidak dilahirkan. Sementara menurut Filiphus, Tuhannya dilahirkan, keluar dari tempat sebagaimana manusia lainnya dilahirkan. "Itu terlalu rendah untuk Tuhan," batinnya lagi.

Terlebih lagi, tiap yang dilahirkan dalam kehidupan ini pasti akan menemukan bagian akhir ceritanya, yaitu kematian. "Benar. Beberapa oknum hansip Romawi berhasil menyelesaikan perkaranya kepada-Nya. Tuhan apa itu?" pikir Filiphus bimbang.

Saat temannya itu menjelaskan bahwa tak ada sesuatu pun yang setara dengan Allah, Filiphus berpikir bahwa banyak yang setara, bahkan terbilang melebihi seseorang yang dia anggap Tuhan. Dari sisi ketampanan, ada yang setara. Dari sisi mukjizat dilahirkan tanpa ayah, ada Nabi Adam yang bahkan diciptakan tanpa ayah dan ibu.

Filiphus merasa kalah telak. Argumennya tentang trinitas selalu patah. Temannya bisa menjabarkan konsep ketuhanan dengan benar. Filiphus malu. "Sebagai seorang kesatria, saya harus mengakui kekalahan," ujarnya.

Pendeta itu pun mengakui kekalahan dan mengikuti agama temannya, si pemenang perdebatan. Filiphus lantas mendatangi kantor Kementerian Agama setempat. Tahun 2009 itu, Filiphus Kristian resmi beragama Islam.

Namun, apakah kalah debat itu membuatnya masuk Islam dengan sungguh-sungguh? Ternyata tidak. Filiphus merasa masuk Islam tidak secara benar. Dia sedang marah dan masuk Islam dalam keadaan tidak ikhlas sama sekali.

Meski begitu, mengetahui Filiphus menjadi Muslim, keluarganya kecewa berat. Ayah Filiphus marah besar karena merasa telah dicoreng hitam wajahnya. Dia ambil linggis untuk menghabisi anak yang sebelumnya dia banggakan. Namun, Filiphus berhasil lolos.

Tak berhenti di situ, keluarga Filiphus lainnya juga tak terima akan keislaman pendeta muda itu. Berkali-kali keluarga berupaya membunuh Filiphus. Kakak perempuannya menghunuskan sebuah parang panjang. Dia mengejar dan siap menebas adik lelakinya. Akan tetapi, Filiphus kembali berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.

Misi Rayap

Meski nyawanya terancam karena keislamannya, saat itu Filiphus sama sekali tak berniat keluar dari Islam.

Namun, dia memang belum sepenuh hati memeluk Islam. Pendapatnya tentang Islam dan Muslim pun belum berubah. Baginya, setiap yang berhubungan dengan Muhammad, Arab, dan Islam itu tidak ada yang perlu diseriusi. Dia anggap itu tak ubahnya sampah yang harus dibuang pada tempatnya.

"Mumpung sudah banyak orang yang tahu saya sudah masuk Islam, ya udah, nyebur aja di dalam. Terus, sambil cari tahu keburukan-keburukan, kesesatan-kesesatan ajaran Muhammad di dalam Islam, tetapi cari tahunya dari dalam," pikir Filiphus. Dia merasa mendapatkan ide cemerlang. Dia merasa punya kewajiban mengemban misi rayap, menghancurkan sesuatu yang dia benci dari dalam.

Dia bocorkan maksud hatinya itu pada sebagian kecil keluarganya. Dengan pura-pura Islam, dia bermaksud melakukan penyelidikan. Filiphus lantas mengembara.

Dengan modal keterangan resmi sebagai mualaf, tak satu pun lembaga, guru maupun rekan santrinya yang curiga. Dia datangi satu per satu pesantren yang katanya radikal, baik di Manado, Sulawesi, sampai di Magelang, Jawa Tengah. Pondok yang dikabarkan radikal, garis keras, perempuannya memakai cadar, lelakinya berjenggot menjadi target utamanya. Dia ingin buktikan dan ungkap bahwa Islam radikal, teroris, pesantrennya ada program khusus merakit bom, dan melatih jihadis untuk 'pengantin peledak'.

Tapi, apa yang dia dapatkan? Tidak ada. Dia hanya dapati orang-orang yang belajar Fathul Barri, Fathul Mu’in, kitab kuning, Bukhari-Muslim, Shahih Bukhari, dan semisalnya. "Ini apaan,, sih? Terus mana radikalnya? Pesantren mana radikalnya?" batin Filiphus kesal.

Dari pesantren ke pesantren, dari tempat ke tempat, dia tidak menemukan cikal bakal atau gerakan-gerakan yang menjurus ke arah terorisme dan radikal. Bahkan, dia sempat cukup lama berada di salah satu pondok pesantren. Tetapi, sama sekali tidak dia temukan apa pun keburukan Islam seperti yang dia dengar sebelumnya.

Stigma negatif terhadap orang bercadar dan berjenggot itu tak bisa ditemukan buktinya oleh Filiphus. Dia berpikir, jenggot dan cadar bahkan tidak bisa membunuh seekor lalat sekalipun. Tuduhan Al-Qur'an sarat ajaran terorisme, kebengisan, sadis, radikalisme, dan sebagainya, sama sekali tidak dia temukan. 

"Kalau begini, ternyata saya hanya termakan fitnah dari media massa, media-media yang terus menyudutkan orang Islam, ajaran Islam, ajaran Al-Qur'an," sesalnya.

Tiba-tiba saja hatinya tergetar. Dia menangis sejadi-jadinya. Di hadapan teman-temannya sesama santri, dia angkat tangannya. Dia acung-acungkan jari telunjuknya tinggi-tinggi. Dengan air mata yang mengucur hebat, dia berteriak lantang.

"Allahu Akbar! Allahu Akbar! Wahai saudara-saudaraku, teman-temanku seaqidah. Wahai kaum Muslimin, lihatlah! Lihatlah! Isyhadu biannal muslimin. Asyhadualla ilaha illallah wa asyhaduanna Muhammadar Rasulullah. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhaduanna Muhammadar Rasulullah!" 

Santri-santri keheranan. Mereka saling tanya. Mereka anggap Filiphus sedang membuat lelucon.

"Siapa itu?" tanya salah satu santri.

 "Itu santri tahfiz. Itu santri baru itu yang mualaf itu, loh," jawab yang lainnya.

"Lho, iku wes gendeng, ya?" tanya santri lainnya lagi.

"Gendeng kali orangnya. Wong Islam kok, syahadat. Sudah Islam, kok, masih syahadat. Sudah nyantri bertahun-tahun di sini kok, masih syahadat. Emang apa maksudnya?" seloroh santri lain.

"Jangan-jangan wes ngene," kata salah satu santri sambil memiringkan jari telunjuk di keningnya.

 Filiphus tetap menangis. Baginya tidak ada yang lucu. "Saya telah memfitnah Islam sudah sekian lama. Bahkan sejak dari perut. Serasa sejak dari kandungan ibu, saya sudah menfitnah Islam. Tapi saya tidak menemukannya. Maka lihatlah! Hari ini saya mengaku bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!" jerit hatinya.

Filiphus memaklumi reaksi teman-temannya. Sebab, mereka tidak tahu bahwa Muhammad Fikri bukanlah santri sesungguhnya. Mereka tidak tahu bahwa teman mualaf mereka, teman yang nama baptisnya masih melekat itu sebenarnya penyusup yang masuk pesantren mencari keburukan Islam seperti yang diberitakan oleh media-media massa.

Ketika itulah Filiphus merasakan hati nurani dan akal sehatnya berpadu, berjalan normal. Di penghujung tahun 2012 itu dia merasa hidayah yang sesungguhnya datang. Dia menyesal. Selama tiga tahun shalatnya pura-pura, puasanya pura-pura, belajarnya pura-pura, sedekahnya pun pura-pura.

Namun, kini dia telah berhasil menebarkan manisnya hidayah yang dia dapatkan. Melalui dakwahnya, lebih dari 50 orang telah memeluk Islam, termasuk ayah dan kakak perempuan yang pernah mencoba membunuhnya. "Sesungguhnya, betapa manis hidayah itu," pungkasnya.[] Saptaningtyas

 

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar