Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

NIK jadi NPWP, Rakyat Menanggung Beban Biaya Negara



Topswara.com --Sungguh sedih mendengar kabar terbaru tentang kebijakan pemerintah, bahwa saat ini pemerintah berupaya menggenjot pemasukan dari sektor pajak. Salah satu strateginya adalah memperluas basis pajak. Pemerintah telah meresmikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kebijakan ini berlaku mulai 14/07/2022 dan berlaku penuh pada 01/01/2024. ( ekonomi.bisnis.com, 24/07/2022 )

Namun inilah konsekuensi di dalam negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme, salah satunya Indonesia. Karena pajak merupakan sumber pendapatan utama negara. Perpajakan merupakan sumbangsih terbesar bagi pendapatan negara.

Padahal Allah menganugerahkan kekayaan alam yang berlimpah pada negeri ini, memberikan secara gratis untuk dikelola dengan baik agar bisa dinikmati umat. Akan tetapi pada faktanya banyak diserahkan ke asing dengan nilai yang sangat murah. Sehingga inilah yang menjadi salah satu faktor berkurangnya pendapatan negara dari sektor pengelolaan SDA. 

Untuk menutupi kekurangan tersebut, negara membebankan pembiayaannya kepada seluruh rakyat dengan memungut pajak. 
Pemerintah memang menyatakan bahwa tidak semua orang yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak, melainkan hanya yang memiliki penghasilan di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak).

Namun, dengan kebijakan ini, tampak jelas bahwa strategi sapu bersih, tengah dilakukan kepada seluruh elemen masyarakat. Sehingga tidak ada celah bagi rakyat untuk tidak dipajaki, bahkan para pedagang kecil akan tersapu juga dengan adanya kebijakan ini. 

Oleh karenanya, pajak memang instrumen paling mudah sebagai penerimaan negara. Ini merupakan kezaliman yang nyata bagi rakyat. Apalagi dalam sistem kapitalisme, pemungutan pajak ini bersifat permanen. Berbeda dengan pengelolaan kekayaan alam, pemerintah harus berpikir dan berusaha keras untuk mengeksploitasi dari perut bumi, lantas mengolahnya hingga menjadi produk jadi. 

Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang tidak mengenal konsep pajak sebagaimana kapitalisme. Memang ada istilah “dharibah” dalam Islam yang sering diartikan ‘pajak’. Akan tetapi, konsepnya sangat berbeda dengan pajak dalam kapitalisme yaitu dharibah diberlakukan secara temporal. Saat kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan darurat dan wajib ditunaikan, barulah dharibah dipungut. Ketika kas negara tidak kosong, tidak ada pungutan dharibah.

Dalam sistem ekonomi Islam menetapkan dharibah hanya dipungut dari warga negara Muslim yang kaya. Standar kaya dalam Islam sendiri sangat tinggi, yakni telah terpenuhinya seluruh kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, juga masih memiliki harta simpanan dalam jumlah yang mencukupi. 

Seorang pemimpin tidak mengandalkan penerimaan negara dari dharibah. Negara akan bekerja keras mengelola SDA dengan kekuatan sendiri, tidak menyerahkan pada swasta. Dengan demikian, hasilnya cukup untuk memakmurkan seluruh rakyat. Inilah bedanya sistem ekonomi Islam dengan kapitalisme. Dalam Islam berupaya untuk menjaga kesejahteraan rakyat, sedangkan kapitalisme justru mencekik rakyat dengan pajak. Semestinya ini menjadi penguat bagi seluruh umat untuk memenuhi seruan agar hidup dengan aturan Islam. 

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

Artinya: "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan". (QS. Al-A'raf: 96)

Wallahu a'lam bisshawab 

Oleh: Ana Dia Friska
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar