Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Demi Penghidupan, Nyawa Terancam di Negeri Orang


Topswara.com -- Setelah dilanda pandemi kurang lebih dua tahun lamanya, keadaan perekonomian semakin sulit dan mencekik. Harga-harga kebutuhan pokok menukik dengan kenaikan yang luar biasa. 

Tentu hal ini menjadikan masyarakat pontang-panting mencari sepeser rupiah demi bisa bertahan hidup. Tidak hanya di dalam negeri, sebagian mereka juga rela melancong ke negeri orang, demi mengharapkan penghidupan yang lebih layak.

Namun kenyataannya sungguh tragis. Dilansir tvOnenews.com (31/7/2022), ada aduan ke Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah, bahwa sebanyak 60 warga negara Indonesia (WNI) disekap di Kamboja. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan membenarkan adanya laporan terkait penyekapan tersebut. Menurutnya, dari 60 WNI tersebut, 55 WNI telah dibebaskan dari penyekapan, tetapi masih diperiksa di kepolisian Sihanoukville, Kamboja, yang terdiri dari 47 pria dan 8 wanita.

Sementara itu, lima WNI masih dalam proses pemeriksaan. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menuturkan lima WNI lainnya masih dalam proses pembebasan. Menurut dia, pihaknya telah berkoordinasi dengan Menlu Kamboja guna menyelamatkan WNI yang disekap tersebut.

Dibalik kejadian tersebut, Serikat Buruh Migran Indoensia (SBMI) berharap momentum peringatan Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia pada 31 Juli 2022, dapat membangun kesadaran kritis masyarakat dan merefleksikan kerentanan Pekerja Migran Indonesia (PMI / TKI) menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), khususnya di masa pandemi Covid-19. Sebab, data BP2MI memperlihatkan di maasa pandemi Covid-19 pada 2020-2021, jumlah penempatan PMI menurun, tetapi angka kasus pengaduan TPPO meningkat (pikiran-rakyat.com, 31/7/2022).

Tentu hal ini menjadikan berbagai spekulasi bergulir di kalangan masyarakat, dan mengaitkan dengan kejadian penyekaoan WNI di Kamboja. Spekulasi yang paling menonjol adalah bahwa mereka menjadi PMI/TKI ilegal atau korban perdagangan manusia.

Sungguh miris, dalam bumi pertiwi yang subur dan kaya sumber daya alam (SDA), nyatanya belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat. Sehingga mereka terpaksa mengadu nasib ke negeri orang tanpa perlindungan. Harapan dan impian ingin mendapat pundi-pundi uang melimpah, justru berakhir pada penyekapan.

Maka, semakin terbukti rusaknya sistem kapitalisme yang bersarang di negeri ini. Sistem ini menjerat dan menjadikan para pemodal berkuasa. Mereka terkesan sewenang-wenang mengusai SDA, baik dengan cara kerjasama maupun benar-benar membeli dan mendirikan perusahaan mereka. Sedangkan pemilik kekuasaan seolah berpangku tangan atas kondisi rakyatnya. 

SDA yang seharusnya dikelola seutuhnya oleh negara, dan memberi peluang lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat, hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Sehingga yang kaya semakin kaya, dan rakyat jelata semakin merana.

Padahal sejatinya, Islam sebagai agama yang paripurna dan sempurna, telah memberi seperangkat aturan dan tata cara kelola SDA. Dimana kepemilikan dalam Islam diatur sedemikian rupa. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama adalah kepemilikan negara, yang bersumber dari ghanimah, fa'i, kharaj, jizyah dll.

Kedua adalah kepemilikan umum, yaitu berupa air, sumber energi, hutan dll. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam yang artinya: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat.

Ketiga adalah  kepemilikan individu yang bersumber dari hasil bekerja, warisan, pemberian negara (bisa berupa tanah pertanian, barang, atau uang modal), hibah, hadiah, dan lain-lain.

Maka dalam Islam, wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya. Terutama bagi yang berkewajiban mencari nafkah bagi keluarga. Sehingga, dengan adanya lapangan pekerjaan yang layak, tidak perlu rakyat melancong ke negeri orang dengan taruhan nyawa hanya untuk mencari pekerjaan.

Kalaupun memang ada kerjasama antar negara dengan membuka lapangan pekerjaan, maka keamanan rakyat harus benar-benar menjadi prioritas. Sehingga tidak ada lagi rakyat yang menjadi korban perdagangan manusia. Maupun menjadi korban penyekapan karena tidak membawa ijin resmi dalam bekerja. 
Wallahua'lam bishawab.



Oleh: Anita Desi R.
Pegiat Literasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar