Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kasus Omikron Meningkat, Mengapa Ibadah Muslim Saja Yang Dibatasi?


Topswara.com -- Baru-baru ini dengan melonjaknya kasus Covid-19 varian omikron, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran (SE) terkait pelaksanaan kegiatan peribadatan di rumah ibadah. Menag meminta rumah ibadah memperketat proses kegiatan ibadah di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat adanya varian omikron.

Seruan serupa turut di sampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemuka agama. Aturan terbaru terkait kegiatan keagamaan diatur dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE.04 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Kegiatan Peribadatan/Keagamaan di tempat ibadah pada masa PPKM level 3, level 2, dan level 1 Covid-19 di tingkat desa dan kelurahan serta penerapan protokol kesehatan 5M.

Menag meminta pengurus dan pengelola tempat ibadah menyiapkan, menyosialisasikan dan mensimulasikan penggunaan aplikasi PeduliLindungi.(Republika.com, 7/2/22)

Selain itu, Kemenag pun menginstruksikan agar pengurus dan pengelola tempat ibadah memberlakukan jarak minimal satu meter antar jamaah dalam peribadatan salat. Kegiatan keagamaan pun dilaksanakan paling lama selama 1 jam. Tidak mengedarkan kotak amal atau infak kepada jamaah. Bagi yang berusia 60 tahun keatas maupun ibu hamil dan menyusui disarankan untuk beribadah di rumah. (CNN Indonesia.com, 7/2/22)

Jika kita melihat kondisi saat ini, hampir dua tahun pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Dan masih berlangsung hingga kini. Berubahnya varian virus Covid-19 mulai dari Alfa, Beta, Delta hingga varian Omikron yang saat ini tengah naik kasusnya membuat kebijakan pemerintah pun berubah-ubah dan membuat masyarakat kebingungan. Mulai dari kebijakan PSBB, PPKM hingga PPKM berlevel membuat kasus Covid-19 bukannya menurun tapi  selalu mengalami kenaikan kasus Covid-19.

Sejak awal penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah lebih difokuskan pada penyelamatan sektor ekonomi ketimbang kesehatan rakyatnya. Namun tetap saja tidak merubah keadaan menjadi baik. Masyarakat yang sakit karena covid tetap banyak, yang meninggal karena covid pun banyak.

Padahal perbaikan dan pembangunan ekonomi akan lebih mudah jika rakyatnya sehat dan kuat. Ini menandakan pemerintah abai dan tidak serius dalam menanggulangi pandemi Covid-19 ini.

Jika pada saat kasus Covid-19 mengalami kenaikan, seharusnya pemerintah fokus pada kebijakan penanganan dan penguncian wilayah (lockdown). Bukan hanya penguncian wilayah secara lokal maupun domestik, penguncian wilayah pun harus dilakukan pada titik akses keluar masuk antar negara dan ini sangat penting dilakukan. Tapi tetap saja demi pemulihan ekonomi pemerintah tetap membuka jalur penerbangan lintas negara yang bisa memicu masuknya varian-varian baru Covid-19.

Namun pemerintah selalu mengalihkan kesalahan kebijakannya dalam penanganan pandemi. Lihat saja, umat Islam selalu menjadi sasarannya. Ibadah umat Islam selalu menjadi sesuatu yang dipersoalkan dan selalu dibatasi. 

Tahun baru Islam pun digeser hari peringatannya dengan alasan mencegah terjadinya kerumunan. Tetapi, tahun baru agama lain tidak ada penggeseran hari. Pasar dan pusat perbelanjaan pun tetap dibiarkan begitu saja tanpa ada pengawasan yang ketat dari aparat yang berkuasa. Tentu dari sini terlihat ketidakkonsistenan pemerintah.

Sekarang pun merebaknya kasus omikron menjelang bulan puasa menjadikan kebijakan pemerintah lebih masif. Lewat surat edaran yang dikeluarkan oleh Kemenag beberapa hari yang lalu menjadi bukti adanya pembatasan ibadah bagi muslim. Oleh karena itu, jangan salahkan masyarakat jika mereka melihat kebijakan soal Covid-19 lebih diarahkan untuk menghalangi muslim beribadah. 

Selain itu, alih-alih membuat masyarakat patuh kepada prosedur kesehatan, malah mendorong banyaknya pelanggaran prokes akibat ketidakadilan dan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menangani pandemi ini.

Inilah kepemimpinan yang terjadi dibawah sistem buatan manusia yaitu sistem kapitalisme dimana asas manfaat selalu dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai dan mengurusi kehidupan masyarakat. Maka, tidak mengherankan jika pemerintah masih setengah hati menyelesaikan penanganan pandemi Covid-19 dan membiarkan rakyatnya untuk berdamai dengan kondisi pandemi Covid-19.

Sungguh sangat jauh dengan realitas yang dilakukan oleh pemimpin Islam (khalifah) dibawah pemerintahan sistem Islam (khilafah). Pemimpin Islam menjadikan pengurusan dan pelayanan mereka kepada rakyat menjadi sesuatu yang agung dan mulia. Riayahnya kepada rakyat bukanlah sebagai beban penguasa, tapi menjadi tanggungjawab penguasa karena mereka takut akan penghisaban di yaumil akhir.

Sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad dan Al-Bukhari  dari Abdullah bin Umar bahwa ia mendengar Nabi Muhammad SAW  pernah bersaba: Imam/Khalifah itu adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya. (HR. Muslim dan Ahmad)

Pada tahun 18 Hijriah masa pemerintahan Umar bin Khatthab pun pernah terjadi wabah tha'un menyerang wilayah Syam dimana Abu Ubaidah bin Jarrah menjadi gubernur nya. Saat itu, Umar yang hendak mengunjungi Syam akhirnya kembali ke Madinah setelah terjadi perdebatan panjang dengan tokoh dari muhajirin, anshar terkait apakah harus memasuki wilayah Syam atau meninggalkannya. 

Hingga Abdurahman bin 'Auf menyakinkan Umar untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Syam dengan mengutip hadis Nabi : "Apabila kalian mendengar wabah thaun melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Ada pun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian didalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu. " (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhirnya Umar pun menginstruksikan kepada gubernur Syam agar wabah thaun tersebut segera diatasi. Wabah thaun baru bisa diselesaikan ketika gubernur Syam Amr bin 'Ash melakukan isolasi (pemisahan) antara yang sakit dan yang sehat, kemudian memerintahkan masyarakatnya untuk berpencar ke gunung, ke gua-gua karena wabah thaun yang terjadi saat itu seperti api yang cepat membakar kayu. Dan akhirnya wabah thaun berakhir.

Tentu saja adanya kerjasama yang baik dan kepatuhan masyarakat kepada pemimpin Islam membuat wabah pandemi saat itu dapat segera dituntaskan. Karena, khalifah layaknya junnah (perisai) bagi rakyatnya.

Begitulah sekilas sejarah yang pernah ditorehkan oleh para pemimpin Islam dalam menangani wabah. Padahal penguasa saat ini pun bisa mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh pemimpin Islam yang berhasil menangani wabah. Tapi sepertinya hal itu sulit terwujud selama aturan yang diterapkan saat ini masih aturan buatan manusia.

Mau sampai kapan penderitaan kaum muslimin akibat pandemi ini akan berakhir? Sudah saatnya tinggalkan sistem kapitalisme  menuju penerapan aturan Allah di muka bumi ini dengan menegakkan Khilafah Rasyidah. Allahu Akbar.


Oleh: Riana Agustin
Aktivis Dakwah Kayumanis Bogor
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar