Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga Minyak Goreng Melejit, Rakyat Kian Menjerit


Topswara.com -- Beberapa bulan terakhir, masyarakat harus terus mengeluh disebabkan harga minyak goreng curah maupun kemasan bermerk 1&2 terus merangkak naik. Dilansir dari laman hargapangan.id Rabu, (03/11/2021), harga minyak goreng curah pada jenis pasar tradisional di banyak daerah mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi dari harga normal yang berkisar antara Rp.12.000 – Rp.13.000/Kg. 

Contohnya saja Provinsi Sumatera Utara harga minyak curah pada jenis pasar tradisional mencapai harga Rp.18.500/Kg begitupula Provinsi Lampung dengan harga mencapai Rp.18.600/Kg, Provinsi Jawa Barat dengan harga mencapai Rp.18.900/Kg, Provinsi DKI Jakarta dengan harga mencapai Rp. 19.650/Kg dan Gorontalo dengan harga tertinggi mencapai Rp.21.650/Kg, sungguh harga yang fantastis untuk satu kilo gram minyak goreng curah.

 Untuk harga minyak goreng kemasan bermerk 1 pada jenis pasar tradisional juga turut mengalami kenaikan. Di Provinsi Sumatera Utara harga minyak kemasan bermerk 1 mencapai Rp.18.100/Kg, Provinsi lampung harga minyak kemasan bermerk 1 mencapai Rp.16.950/Kg, Provinsi Jawa Barat harga minyak kemasan bermerk 1 mencapai Rp.17.900/Kg, Provinsi DKI Jakarta harga minyak kemasan bermerk 1 mencapai Rp.18.350/Kg dan Provinsi Gorontalo harga minyak kemasan bermerk 1 tembus hingga Rp.23.350/Kg.

Tidak jauh beda untuk harga minyak goreng kemasan bermerk 2 pada jenis pasar tradisional pun mengalami kenaikan meski tak setinggi harga kiloan minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan bermerk 1. Di Provinsi Sumatera Utara harga minyak kemasan bermerk 2 mencapai Rp.17.900/Kg, Provinsi lampung harga minyak kemasan bermerk 2 mencapai Rp.16.200/Kg, Provinsi Jawa Barat harga minyak kemasan bermerk 2 mencapai Rp.17.600/Kg, Provinsi DKI Jakarta harga minyak kemasan bermerk 2 mencapai Rp.18.750/Kg dan Provinsi Gorontalo harga minyak kemasan bermerk 1 tembus hingga Rp.23.750/Kg.

Sebagaimana kita ketahui bahwa minyak goreng sejak lama banyak digunakan masyarakat untuk memasak baik itu masakan yang ditumis ataupun digoreng. Minyak goreng juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan termasuk dalam sembilan bahan pokok (sembako) yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998 atau Kepmenperindag 115 Tahun 1998.

Namun, dengan adanya kondisi harga minyak goreng curah maupun kemasan yang terus mengalami kenaikan tentu akan menyulitkan masyarakat dari berbagai kalangan. Mulai dari rumah tangga, pengusaha rumah makan dan restoran, pengusaha kerupuk, pedagang gorengan hingga pelaku industri besar dalam bidang makanan. Karena mereka semua menggunakan minyak goreng dalam proses produksinya.

 Penyebab dari kenaikan harga minyak goreng menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga adalah imbas dari tingginya harga minyak sawit mentah (CPO) dan kurangnya pasokan bahan baku di pasar minyak nabati dan lemak secara global. Sahat mengatakan, saat ini harga CPO global yang menjadi acuan yaitu CIF Rotterdam sedang tinggi sehingga menyebabkan harga CPO lokal ikut melonjak dan berpengaruh pada biaya produksi idustri minyak goreng kelapa sawit. Selain itu, Sahat menerangkan kondisi pasar minyak nabati dan lemak (oils & fats) global tengah mengalami kekurangan pasokan akibat pandemi dan cuaca buruk (merdeka.com, 27/10/21).

Meskipun dikatakan bahwa kenaikan harga minyak goreng dipicu oleh tingginya harga minyak sawit mentah (CPO), namun herannya petani sawit justru tidak mampu merasakan kenikmatan dari kenaikan harga ini. Sebagaimana pernyataan petani sawit di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur bernama Kanisius Tereng yang dilansir dari Voaindonesia.com (20/10/2021), bahwasanya petani tidak berhubungan langsung dengan pabrik. Sehingga harga yang terkesan lumayan besar bukan harga pabrik melainkan harga yang masih diatur oleh tengkulak. 

Ternyata di balik harga minyak sawit tinggi salah satunya adalah akibat keberadaan para tengkulak sawit. Dimana para tengkulak ini bekerja secara sistemik. Mereka memiliki akses langsung ke pabrik pengolahan untuk menjual sawit dalam skala besar. Dalam sistem tengkulak, biasanya mereka bekerjasama dalam menentukan keselarasan harga pembelian sawit dari para petani. Mereka bisa sesuka hati menaikan dan menurunkan harga sawit sesuai kesepakatan diantara mereka. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi para petani untuk menjual hasil panen sawit ke tengkulak lain dengan harga yang berbeda.

Dari banyaknya fakta mengenai kenaikan harga minyak goreng di banyak daerah hingga beberapa penyebab terjadinya kenaikan ini, maka sangat perlu untuk menemukan akar masalah hingga solusinya. Pemerintah tidak bisa berdiam diri atau sekadar mengklarifikasi penyebabnya tanpa memberikan solusi yang solutif.

Pemerintah pun harus menyadari keberadaan tengkulak dalam rantai suplai bahan baku sawit ke pabrik pengolahan yang memegang kunci harga pasar bahan baku sehingga akan berdampak pada biaya produksi pabrik. Belum lagi keberadaan para kapitalis atau para pemilik modal industri sawit serta perkebunannya. Di mana mereka memiliki kuasa untuk turut memberikan harga sesuai dengan kepentingan mereka. Sebab kita tahu bahwa watak para kapitalis hanya mementingkan keuntungan semata tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil.

Dalam hal ini, yang harus menjadi tolak ukur pemerintah dalam menentukan langkah adalah nasib masyarakat. Terutama masyarakat yang dalam memenuhi kebutuhannya tergantung kepada minyak goreng seperti pedagang gorengan. Mereka tentu akan merasa kesulitan apabila minyak goreng yang menjadi bahan utama untuk menggoreng harus mengalami kenaikan harga yang tinggi. Sementara jika harus mengganti dengan minyak nabati jenis lain harganya sangat jauh lebih mahal.

Padahal kalau mau diteliti lebih dalam lagi, permasalahan ini merupakan permasalahan krusial yang benar-benar harus mendapatkan perhatian pemerintah. Karena hal ini berhubungan dengan hakikat pemenuhan kebutuhan pangan sebagai salah satu hak manusia. Baik dari sisi petani pekebun maupun rakyat selaku konsumennya.

Meskipun demikian, masyarakat tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah. Sebab negara saat ini menganut sistem ekonomi kapitalis-liberal. Bahkan dalam pengelolaan komoditas sawit kita tak lepas dari gurita sistem ini. Padahal selama tampak jelas bahwa keberpihakan sistem ini adalah untuk menguntungkan para kapitalis. Bahkan di tengah kesulitan masyarakat, para kapitalis dengan dalih tingginya harga sawit dunia masih sempat mencari keuntungan hingga pada akhirnya mencekik para konsumen.  Pemerintah pun seakan tidak dapat berbuat banyak selain memang rendahnya idealisme rezim ini untuk berfokus kepada kesejahteraan rakyat.

Tentu hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam, dimana yang menjadi tujuannya adalah untuk menyejahterakan rakyat. Menghilangkan kesenjangan serta jaminan perdistribusian sumber daya alama secara adil yang berorientasi kepada syariat Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, pemerintah wajib memperhatikan dan mengawasi pendistribusian serta pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir.

Tak hanya itu, dalam sistem ini, pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi fokus penting ketimbang sekadar menyenangkan para kapitalis. Sungguh kita harus kembali kepada sistem dimana manusia benar-benar diperhatikan pemenuhan kebutuhannya sebagai hak asasi manusia. Tak hanya itu, alasan yang utama adalah sistem ini bersandarkan kepada aturan Allah SWT sebagai Pencipta yang mengetahui segala apa-apa yang terbaik untuk ciptaan-NYA. 

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Sri Dewi Qoriyati
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar