Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Praktik Suap di Penjara, Demokrasi Gagal Menindak Keadilan


Topswara.com -- Berbagai kejahatan telah menghantui siapa saja, tidak kenal tempat bahkan keadaan seseorang yang dijadikan korban. Kaya atau miskin, muda atau tua, di jalan atau di rumah, semua sudah begitu merajalela akibat kelalaian sang penguasa.

Namun anehnya, saat pelaku kejahatan sudah mendapatkan tempat yang pantas (penjara) akibat kejahatan yang dilakukan. Penjara malah dijadikan sebagai sumber penghasilan, dengan memeras pelaku untuk memberikan uang (jaminan kebebasan) sesuai yang diinginkan. Padahal tindakan semacam itu tak pantas dilakukan, suatu tindakan kotor, dan kegagalan penguasa yang tak memperhatikan untuk menciptakan keadilan merata.

Sempat viral video yang beredar menunjukkan seorang napi kelas satu Tanjung Gusta Medan. Mengalami luka di bagian tubuh belakang, lantaran tak mau memberikan uang sebesar 30 sampai 40 juta kepada petugas atau sipir. Beredarnya kabar ini dikarenakan, teman napi yang mengalami luka lebam, merekam apa yang dialami temannya. (kompas.com, 19/09/2021).

Tanggapan atas kejadian ini, seorang teman napi mengatakan “Inilah perilaku pegawai lapas, yang memperlakukan kami seperti binatang, kami manusia pak. Bertahun-tahun ditahan hanya karena masalah kecil, kalau tidak kasih uang kami tetap ditahan.”

Inilah bukti kegagalan penguasa untuk menciptakan suasana negeri yang aman dari kejahatan dan indahnya dalam keadilan. Hanya menjadi lembaran cerita yang sudah banyak terjadi, namun keadilan tak kunjung direalisasikan.

Pasalnya, kejadian pungli kembali terjadi, selalu marak dari berbagai instansi pemerintah. Entah itu di sekolah, perusahaan, atau kantor-kantor kerja seperti kantor polisi maupun gedung DPR. Semua melakukan pemerasan dan merugikan.

Dari kasus di atas menunjukkan, bahwa pelaku kejahatan seharusnya diberikan hukuman pantas, sebagai efek jera untuk tak melakukan kembali lagi. Bukan malah dijadikan sumber penghasilan, untuk mengambil kesempatan.

Kejadian ini bukan terakhir kali dialami, melainkan berulang kali. Sempat melihat pengakuan dari seorang istri yang berada di Medan, berinisial NN mengaku, bahwa suaminya dimintai uang sebesar 20 juta sebagai tebusan kelak ia dibebaskan. Karena kasus kecil yakni dituduh pengedar sabu-sabu, alhasil ditangkap dan dimintai anggaran begitu besar. Kalau dipakai untuk menyediakan stok makanan, mungkin sudah bisa dipakai untuk 3 tahun ke depan, ujarannya.

Ternyata semua yang berada dalam penjara, tidaklah gratis atau menjadi tanggung jawab negara, untuk menuntaskan problem atau hukum yang harus didapatkan pelaku. Inilah efek dari sistem kapitalis-demokrasi, yang mengaku berlandaskan UU, memberikan hak setiap warga negara. Yang sudah tercantum dalam Pancasila nomor 5 bahwa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tapi tak sesuai fakta yang ada.

Sebutannya hanya ada dalam lembaran naskah, yang sekadar diucapkan dilisan penguasa, namun tak dibuktikan untuk kehidupan warga negara. Oleh karena itu, bukanlah jaminan kalau manusia sebagai kiblat pemutus keadilan. Yang ada hanya menyakiti siapa saja yang mengalami ketidakadilan.

Dalam Islam, yang sudah Allah abadikan dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasul. Bahwa penjamin keselamatan, pencegah adanya kriminalitas atau kejahatan semacamnya, keadilan maupun kesejahteraan, itu hanya terealisasikan dalam sistem Islam. Yang bersumber dari kalamullah (perkataan atau perintah Allah), berlandaskan iman dan takwa disandarkan kepada Al-Qur'an dan sunah.

Dengan mengikuti pedoman yang dicontohkan Rasul, sebagai motivator maupun pemimpin. Agar umatnya atau manusia ciptaan Allah, tidak salah bertindak, dalam memutuskan hukum dari suatu perkara yang terjadi, dengan akal apalagi hawa nafsu.

Islam semasa menjadi kiblat kehidupan manusia, tidak ada manusia yang dirugikan, dianiaya apalagi harus dirampas hak kehidupannya. Itu semua tak pernah dilakukan seorang khalifah (pemimpin) sepanjang abad Islam berjaya.

Hal ini pernah diikuti oleh khalifah yang selalu diabadikan dalam sejarah Islam, dari keadilan dan amanah sebagai pemimpin. Yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab. Keduanya begitu adil, selain adil juga menjaga takwa di hadapan Allah swt. Ketika terjadi penyimpangan yang meresahkan warga kala itu, tindakan yang dilakukan Abu bakar begitu sigap, sehingga pelaku langsung ditawan namun tetap diperhatikan layaknya manusia pada umumnya.

Memberikan makanan dan pakaian yang diperlukan para tahanan tetapi tetap tidak diberikan keistimewaan, mau itu rakyat biasa, orang kaya atau pejabat sekali pun tetaplah sama kedudukan hukum atau sanksi yang diberikan. Sebagai efek jera dan penebus dosa.

Lain hal yang dilakukan Umar bin khatab, yang rela mengeluarkan 800 dirham untuk merenovasi penjara agar terkesan baik sehingga tetap terjaga nuansa kegelisahan bagi pelaku, setelah tempat tahanan diperbaiki. Tak boleh ada lampu atau fasilitas khusus. Tetap saja dalam Islam sanksi tetap berjalan sesuai hukum syarak dan tak ada pungli. Jika terjadi khalifah tak akan segan untuk memberikan hukuman kepada pelakunya.

Semacam keadilan merata dan kelayakan dari tanggung jawab pemimpin, tak akan pernah terjadi dalam sistem kapitalis. Yang dominan menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dari setiap tindakan, yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Keadilan atau kesejahteraan juga tak akan berjalan dengan baik. Selama pemimpin maupun manusia yang mengasuh pemikiran, pemahaman dan sistem rusak ini. 

Oleh karenanya, manusia jika ingin dimanusiakan atau mendapatkan keadilan. Hanya akan terjadi saat Islam terterapkan secara sempurna, menjadikan Allah satu-satunya sandaran dan kiblat dalam kehidupan, baik bermasyarakat maupun bernegara.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Muzaidah ( Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar