Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penghapusan Red List Tidak Menjamin Keamanan Rakyat


Topswara.com -- Melihat perkembangan kasus harian Covid-19 yang mulai kembali melandai, mengindikasikan keberhasilan program pemerintah. Program tersebut meliputi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dengan berbagai level, penguatan protokol kesehatan, vaksinasi dua dosis vaksin, serta kemudahan dalam testing di mana tes swab PCR mengalami penurunan harga. Inilah klaim pemerintah dalam mempublikasikan kondisi pandemi di Indonesia.


Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa kondisi Covid-19 di Indonesia sudah lebih baik dari negara lain. Di mana positivity rate berada di bawah rata-rata dua persen, di bawah standar WHO sebesar lima №apersen. Sebelumnya sempat mencapai 31 persen. Keberhasilan ini diungkapkan Retno dalam pertemuan tinggi di Sidang Majelis Umum PBB ke 76 di New York, Jumat (24/9/2021) malam waktu AS. Maka Retno meminta petinggi negara sahabat untuk menghapus Indonesia dari daftar merah (red list) perjalanan. (CNBCIndonesia, 26/9/2021)

Berpangku pada positivity rate tersebut pemerintah berharap negara-negara yang telah memasukkan red list untuk Indonesia segera menghapusnya. Karena Indonesia bukan lagi ancaman dalam penyebaran virus Covid-19. Justru kondisinya sekarang lebih baik di banding negara-negara lain yang kembali berjuang karena mengalami lonjakan kasus yang tidak terprediksi sebelumnya.

Tujuan penghapusan red list ini untuk memuluskan agenda dibuka kembalinya pariwisata Indonesia yang menjadi salah satu tumpuan perbaikan perekonomian nasional yang tengah merangkak tertatih-tatih karena pandemi. Di tambah beban negara karena tidak amanahnya sebagian pemangku jabatan dalam mengemban tugasnya. Budaya korupsi jamaah seakan menjadi kewajaran di negeri tercinta ini.

Dari awal Agustus rencana membuka jalur pariwisata internasional telah dipersiapkan pemerintah. Secara bertahap dilakukan pembaharuan persyaratan dan ketersediaan infrastruktur penunjang keamanan di daerah pariwisata. Mengingat Bali merupakan kepulauan yang mengandalkan pariwisata dalam perekonomian daerahnya. Maka Bali tengah bersiap untuk menerima wisatawan mancanegara (wisman).

Kalau ditelusuri lebih mendasar permintaan penghapusan red list ini menunjukkan keterwakilan suara pemilik modal besar di bidang pariwisata atau dikenal dengan konglomerasi pariwisata. Mereka merasakan kerugian besar akibat pandemi ini. Sudah menjadi kelayakan di sistem neo-kapitalisme ini kebijakan yang ditetapkan cenderung condong ke para kapital berdasi dibandingkan kepentingan keselamatan masyarakat.

Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Wardhana Sukawati (Cok Ace) menyebutkan ada dua syarat utama negara target bila pintu kedatangan wisman dibuka. Yakni negara dengan kondisi Covid-19 sudah baik dan negara yang dapat memberikan dampak ekonomi yang besar bagi Bali. Kendala paling besar yang dihadapi dalam pembukaan wisman menurut Cok Ace adalah kondisi di Bali yang masih fluktuatif. Walaupun di beberapa minggu terakhir penambahan kasus positif Covid-19 di Pulau Dewata Bali sudah membaik. Terbukti dengan penurunan level sebaran kasus harian dari oranye ke kuning.

Cok Ace mengungkapkan, pihaknya tengah menyusun rencana pembukaan pariwisata Bali untuk internasional. Tidak mudah bagi pembukaan pariwisata untuk wisman dibandingkan domestik. Butuh waktu satu bulan sebelumnya guna mempersiapkan penerbangan dan sebagainya. Semuanya harus dipersiapkan dengan berbagai plan guna menghindari hal-hal di luar planing atau terjadinya perubahan tak terduga. Diharapkan pihak-pihak terkait dengan penyelenggaraan wisman seperti industri termasuk penerbangan menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya (Detiktravel.com, 17/9/2021).

Pemerintah pun meminta para pelaku pariwisata untuk bersiap. Hal ini ditegaskan oleh Staf Ahli Bidang Manajemen Krisis Kemenparekraf Hengky Manurung dalam Dialog Produktif Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9) – KPCPEN, Kamis (30/9/2021), bahwa para pelaku pariwisata memastikan untuk penerapan prokes dengan ketat. 

Menurut Hengky riak-riak kebangkitan pariwisata telah muncul di tiga dan empat pekan ini sebagai imbas dari kelonggaran PPKM dan turunnya harga PCR sehingga memudahkan masyarakat melakukan wisata yang aman dan terjangkau. Selain itu kunci keberhasilan melandainya kasus harian ini adanya kolaborasi dengan berbagai pihak dalam upaya perlindungan kesehatan. Perlindungan ini adalah bagi pekerja pariwisata maupun wisatawan masyarakat untuk wisata ke seluruh Indonesia. Sedangkan untuk wisman, dibutuhkan kebijakan bersama agar dapat memotivasi setiap risiko yang ada, sehingga diperlukan gerak cepat dengan inovasi sistem yang ada. Seperti e-visa, kepastian status vaksinasi, hasil PCR negatif, dan kepemilikan asuransi bagi wisman (Liputan6.com, 30/9/2021).

Sejatinya melandainya kasus harian Covid-19 DI Indonesia bukan jaminan akan tetap aman ketika pintu pariwisata bagi wisman dibuka. Virus Covid-19 sampai sekarang masih memperlihatkan taringnya dengan terus bermutasi diri membentuk kluster-kluster baru dengan beragam titik penularannya ke dalam tubuh manusia. Kluster baru mu dan C.1.2 yang ditemukan di negara Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan sifat potensial lolos dari kekebalan tubuh. Kondisi masuknya kluster baru ini perlu diwaspadai. Bagaimana pun dibukanya kembali jalur internasional akan memuluskan lolosnya kluster baru ke Indonesia walaupun kedatangan wisman ini dengan persyaratan yang lebih diketatkan. Jangan sampai Indonesia kecolongan kembali dengan hadirnya lonjakan gelombang berikutnya. 

Kemudahan persyaratan yang ditetapkan pemerintah menunjukkan rangkaian kebijakan menarik masuk wisman. Seharusnya negara melihat perkembangan negara lain yang terlebih dahulu menerapkan kebijakan membuka pintu pariwisata internasional setelah melandainya kasus harian, justru berakhir bumerang bagi rakyatnya. Karena lonjakan kasus penyebaran kluster baru dari virus Covid-19 meluas dan membuat kepanikan serta kekurangan instrumen fasilitas penunjang pengobatan Covid-19. Hal ini seyogyanya menjadi pijakan pembukaan pariwisata untuk mendongkrak perekonomian nasional rentan terjadinya gelombang lonjakan kembali terjadi di Indonesia. 

Berbeda halnya dengan negeri yang menerapkan sistem Islam. Seorang pemimpin (khalifah) di dalam sistem Islam merupakan orang yang amanah dalam membuat kebijakan yang berdasarkan syariat Islam. Negara tidak akan menetapkan kebijakan yang hanya mewakili segelintir golongan saja. Karena kewajiban pemimpin meriayah seluruh rakyatnya. 

Negara Islam tidak terjerat kepentingan dengan para pemilik modal atau konglomerasi bisnis karena bentuk kerja sama yang dibangun tidak menjadikan mereka memiliki andil dalam penetapan kebijakan. Penanganan ekonomi Islam, tidak menjadikan pariwisata sebagai penopangnya. Islam akan mengelola sumber daya alam (SDA) dan pemasukan dari sisi yang lain untuk mengembangkan perekonomiannya. 

Khalifah harus membuat aturan kebijakan yang mengutamakan nyawa rakyatnya, apalagi di saat pandemi terjadi. Karena Islam sangat menjaga nyawa dan menganggapnya lebih berharga dibanding dunia dan seisinya.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 32:

وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Artinya : Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi."

Maka berharap solusi tuntas mengatasi pandemi dari sistem yang ada merupakan sebuah hal yang mustahil. Kita perlu solusi alternatif byahg telah teruji mampu menyelesaikan segala persoalan. 

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Ageng Kartika, S.Farm.
(Pemerhati Sosial)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar