Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

NIK Sebagai NPWP, Otomatisasi Pajak?


Topswara.com -- Baru-baru ini, publik dibuat dikagetkan adanya kebijakan yang mana NIK dijadikan sebagai NPWP. Pasalnya, jika hal itu terjadi maka seluruh warga negara yang telah mempunyai NIK akan dikenai pajak pula. Sebab, sebelumnya wajib pajak hanya diberikan pada warga negara yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain itu juga telah terdaftar pada kantor Direktorat Jenderal Pajak. Bukan berdasarkan NIK. Maka kecurigaan publik terkait NIK sebagai NPWP adalah menjurus pada otomatisasi pajak.

Dilansir kompas.com (10/10/2021), Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP). 

Meskipun Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor membantah, jika pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak. Ia menjelaskan bahwa pemberlakuan tersebut hanya untuk mengintegrasi sistem administrasi perpajakan dengan basis data kependudukan, serta memberi kemudahan dan kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional. Sehingga dengan demikian, WP atau OP tidak perlu repot mendaftarkan diri ke KPP karena NIK sudah sebagai NPWP.

Namun demikian, kekhawatiran sebagian masyarakat tidak terbendung lagi. Sebab selama ini, rezim terkesan gemar menarik pajak. Bahkan kini, pemerintah bersama DPR RI telah sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang. Hal ini seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada tahun 2025, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat (kompas.com, 7/10/2021).

Namun, lagi dan lagi pemerintah melakukan pembelaan dengan menyebutkan bahwa PPN Indonesia masih jauh lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Masih dilansir dari kompas.com (7/10/2021), dalam Sidang Paripurna Yosanna menyebutkan bahwa tarif PPN di Indonesia dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen dan juga lebih rendah dari Filipina 12 persen, China 13 persen, Arab Saudi 15 persen, Pakistan 17 persen, serta India 18 persen.

Pajak demi Pundi Negara

Alasan yang disampaikan pemerintah, sesungguhnya hanya dalih untuk melanggengkan sistem yang bercokol saat ini. Yaitu kapitalisme dengan ekonomi neo-liberalnya. Sebab, dalam sistem perekonomian ala kapitalisme, pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Sehingga segala cara dilakukan agar pajak terus dan tetap dijalankan. Termasuk dengan mengesahkan UU Harmonisasi untuk melegalkan kenaikan PPN dan memudahkan penarikannya dengan menjadikan NIK sebagai NPWP.

Sungguh, betapa liciknya sistem ini menyetir manusia untuk membuat aturan sesuai dengan kepentingan mereka. Merongrong hati nurani, hingga seolah hilang rasa empati dan simpati terhadap kondisi masyarakat yang kian terpuruk. Bukan meringankan dengan membebaskan pajak misalnya, namun justru menaikkan PPN dan mengukuhkan keberadaanya.

Padahal, sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. Seharusnya SDA tersebut bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk menghasilkan pendapatan negara. Seperti gunung emas blok Wabu dan tambang Freeport, minyak dan gas di blok Cepu, belum lagi batubara, nikel, timah dan masih banyak lagi pertambangan di bumi pertiwi ini. Tak hanya itu, hutan yang luas juga lautan yang menghampar adalah sumber daya alam yang patut diperhitungkan.

Islam Mensejahterakan Masyarakat

Berbeda dengan Islam. Prioritas utama pemerintahan dalam Islam adalah sebagai pelindung masyarakat. Pemerintah wajib melindungi, menjaga, serta memberikan ketentraman pada masyarakat. Termasuk memenuhi segala kebutuhan primernya tanpa membebani dengan pajak.

Pajak dalam Islam memang diperbolehkan, namun hanya pada situasi dan kondisi darurat semata. Sebab, pendapatan negara yang tersimpan dalam baitul maal, harus diprioritaskan adalah dari kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan zakat. Kepemilikan umum bisa didapat dari sumber daya alam seperti tambang, minyak dan gas, hutan, dan hasil laut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).Tiga hal tersebut harus dikelola secara mandiri oleh negara, dan tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu saja.

Untuk kepemilikan negara bisa didapat dari iuran jizyah, kharaj. Sedangkan zakat dapat diperoleh dari penarikan zakat maal dari masyarakat yang telah mencapai nishab untuk membayar zakat. Penyaliran zakat mal hanya khusus diperuntukkan untuk delapan asnaf (golongan) penerima zakat.

Sehingga untuk mencukupi pembiayaan negara, termasuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan, bisa diambil dari sumber kepemilikan umum dan negara. Sedangkan jika kondisi baitul maal dalam keadaan kosong, maka diperbolehkan menarik pajak, yang hanya dibebankan pada masyarakat yang mampu saja. Hal itu hanya bisa terwujud jika negeri ini dikelola oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah.

Wallahu a'lam bishawab

Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Pegiat Literasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar