Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ironis Negeri Zamrud Khatulistiwa, Kejar Pajak Hingga ke Lubang Jarum


Topswara.com -- Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status pengusaha kena pajak. Selain itu, PPN merupakan jenis pajak konsumsi atau yang lebih dikenal value added tax atau goods and services tax. 

Rakyat Indonesia adalah rakyat yang taat pajak. Rumah dan tanah ditarik pajak bumi bangunan (PBB); kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor ditarik pajak setiap tahun; pendapatan karyawan baik ASN maupun swasta juga wajib bayar pajak tahunan PPH; belanja segala jenis barang ditarik PPN. Wacana beberapa bulan terakhir kebutuhan pokok rakyat pun yang berupa sembako atau sembilan bahan pokok dan pendidikan juga terancam pajak.  

Pemerintah batal mengenakan PPN untuk beberapa barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini sejalan dengan usulan seluruh fraksi di DPR RI dan aspirasi masyarakat. Barang-barang yang tak dikenakan tarif PPN yakni barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya. 

PPN Naik Jadi 11 Persen Tahun Depan, Skemanya Tetap Single Tarif

Pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang. Hal ini seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada tahun 2025, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Namun, kenaikan tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara lain secara global. (Kompas.com)

NIK Jadi NPWP, Apakah Pemilik KTP Otomatis Dikenai Pajak?

Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP). Berdasarkan Draf UU HPP, setiap WP OP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pendaftaran ini sesuai wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP tersebut untuk mendapatkan NPWP. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak. 

Pemberlakuan itu pun akan mengintegrasikan sistem administrasi perpajakan dengan basis data kependudukan, serta memberi kemudahan dan kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional. Sebelumnya, Neilmadrin menuturkan Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan NPWP. Namun, dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), fungsi NIK ditambah menjadi sekaligus sebagai NPWP bagi WP OP. "Dengan ketentuan baru ini, maka WP OP tidak perlu repot melakukan pendaftaran ke KPP, karena NIK tersebut sudah berfungsi sebagai NPWP," ucap dia.  Pemerintah terus mencari cara agar tidak ada individu dan obyek harta/kepemilikan yang lepas dari pajak.

Penarikan Pajak adalah Kebijakan Zalim 

Penarikan pajak adalah melanjutkan tradisi penjajah Belanda yang menjajah Indonesia untuk biaya operasionalnya. "Sudahlah, kaum buruh terjadi PHK di mana-mana, kenaikan upahnya dikurangi dengan omnibus law, nilai pesangon yang lebih kecil dari peraturan sebelumnya, dan pembayaran THR yang masih banyak dicicil, sekarang dibebani lagi dengan harga barang yang melambung tinggi akibat kenaikan PPN," ujar Iqbal

Semestinya kebijakan zalim seperti itu tidak lagi dilanjutkan setelah Indonesia merdeka dan berdaulat. Tragisnya kenaikan tarif pajak ini dilakukan pada musim pandemi, disaat rakyat sedang susah. Menaikkan tarif PPN berarti menjerat dan membebani rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa semua barang dan jasa menjadi bertambah mahal. Menaikkan tarif PPh secara berjenjang dan ugal-ugalan sampai 30 persen itu kebijakan zalim yang memalak rakyat.

Menarik Pajak Termasuk Dosa Besar

Ustadz Azizi Fathoni menjelaskan bahwa dosa penarik pajak itu lebih besar daripada dosa pelaku zina. Bahkan dosa zina level atas, yaitu zina muhshan, zinanya orang yang telah menikah yang hukumannya rajam sampai mati. Bukan zina ghair muhshan, zina nya bujangan yang hukumannya sebatas cambukan 100 kali.
Nabi pernah bersabda terkait seorang wanita yang bertobat dari zina (zina muhshan) dengan meminta dihukum rajam:
فوالذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
"Demi Zat yang nyawaku berada di tangan-Nya sungguh dia telah bertobat dengan pertobatan yang apabila dilakukan oleh penarik pajak niscaya akan diampuni." (HR Muslim)

Perhatikan bagaimana Nabi memuji pertobatan wanita itu dari dosa zina dengan membandingkannya terhadap dosa penarik pajak. Maka itu menunjukkan dosa penarik pajak lebih besar daripada dosa zina. Dimana saking besarnya ampunan Allah atasnya jangankan untuk dosa zina, bahkan untuk dosa satu umat/bangsa, atau dosa 70 penduduk Madinah, atau dosa penarik pajak sekalipun akan terampuni. Jika memang dosa penarik pajak itu lebih ringan maka pembandingan tersebut tidak ada faedahnya!

Hal ini menunjukkan secara gamblang bahwa dosa menarik pajak lebih besar daripada dosa zina. Bahkan dosa zina yang level atas, yaitu zina muhshan yang hukumannya rajam sampai mati. Tidak ada yang baru dari sistem jahiliyah modern yang melegalkan pajak dibandingkan sistem jahiliyah lama yang menarik upeti dari rakyat jelata, kecuali hanya istilah dan hilah (cara, tipu muslihat)nya.

Pajak berbeda dengan Zakat

Dalam ajaran islam, ada istilah zakat harta (Mal) yang diatur hanya 2,5 persen. Dari harta yang memenuhi syarat dan waktu yang ditentukan minimal sudah dimiliki 1 tahun. Orang membayar zakat karena ingin ibadah dan mendapat pahala dengan balasan syurga. Mereka membayar dengan kesadaran dan penuh sukacita bukan karena dipaksa rezim berkuasa.

Mari kita belajar dari teladan Khalifah Umar Bin Abdul Azis. Beliau hanya perlu waktu 2 tahun dan 137 hari untuk menyejahterakan rakyatnya. Tidak ada lagi rakyatnya yang miskin dan berhak menerima zakat. Padahal kala itu Beliau tidak menarik pajak. Bahkan beliau kesulitan membagikan dan menyalurkan harta zakat yang berlimpah karena rakyatnya berlomba membayar zakat.

Hebatnya, kala itu belum ada tambang minyak dan gas yang di eksplorasi namun rakyat bisa sejahtera. Kenapa disaat banyak barang tambang (migas, emas, timah, nekel dan lain-lain) sudah dieksploitasi, rakyat masih banyak yang miskin? Bahkan dibebani lagi dengan berbagai kenaikan tarif pajak?

Ciri pemerintahan yang gemar menarik pajak pada rakyat ini sudah dikabarkan empat belas abad lalu kepada kita. Melalui lisannya yang mulia. ... Setelah itu, akan datang masa Penguasa diktator/zalim (mulkan jabriyan); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. ...(HR. Imam Ahmad).

Dari hadis tersebut, dijelaskan terjadi fase rezim pemerintahan zaman Mulkan Jabariyan (penguasa zalim/diktator). Zaman ini, Penguasa bebas membuat hukum dan aturan demi kepentingan kekuasaan dan keuntungan kroninya. Atas nama hukum, rakyat dipaksa mengikuti kebijakannya meski zalim dan menindas. Siapa tidak taat dianggap melawan hukum dan ditangkap. Siapa berani bersuara kritis atau memberikan nasihat maka dianggap melawan hukum. Apalagi menasihati agar ingat Tuhan dan menjalankan Perintah Tuhan akan dituding radikal. Fitnah-fitnah bertebaran, orang-orang yang tidak cakap/zalim justru menjadi penguasa (pejabat). Inilah puncak kezaliman. Mengapa pemerintah mengejar pajak yg makin membebani rakyat hingga ke lubang jarum sementara meloloskan SDA berlimpah dinikmati segelintir orang karena pengelolaan kapitalistik. Semua ini menegaskan watak kapitalistik yang mengiringi pemberlakuan ideologi kapitalisme.

Penutup

Sumber anggaran dari kepemilikan umum dan negara, sebenarnya sudah mencukupi dalam memenuhi urusan rakyat. Tak diperlukan lagi pajak. Tapi apabila kas negara kosong (dalam keadaan darurat), diperbolehkan negara memungut pajak. Semata-mata agar negara tetap menunaikan pelayanan kebutuhan pokok rakyat. Pungutannya pun hanya ditujukan pada warga negara yang kaya dan Muslim saja. Bukan rakyat yang tak mampu. Apabila kas negara sudah membaik dan pulih kembali, kebijakan pajak dihapus dan tak diberlakukan lagi. Ini menunjukkan bahwa pajak dalam Islam hanya insidental saja, bukan sumber utama anggaran negara.

Semestinya kita bisa belajar dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau bisa menyejahterakan rakyatnya hanya dalam waktu singkat (2 tahun, 137 hari) tanpa menghisap rakyat dengan pajak. Bahkan harta zakat berlimpah karena banyaknya rakyat yang sejahtera dan berlomba membayar zakat demi ibadah dan meraih surga. Begitu adil dan manusiawi syariat Islam mengatur ekonomi. Sudah seharusnya negara ini menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sebagai bentuk ketakwaan pada Allah SWT dan agar kemakmuran rakyat tercapai.. 
Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh: Setya Soetrisno
Pemerhati Kebijakan Publik
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar