Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pakar Ekonomi Syariah: Jantung Ekonomi Islam Adalah Baitulmal, Bukan Bank


Topswara.com -- Pakar Ekonomi Syariah Dwi Condro Triono, Ph.D. menyatakan bahwa jantung ekonomi Islam adalah baitulmal, bukan bank.

“Nah, inilah yang tidak pernah diungkap di dalam sejarah Islam, bahwa, sejak zaman Rasul, zaman kekhilafahan dulu, ekonomi Islam itu punya jantung. Jantungnya bukan bank, jantungnya ekonomi Islam itu haitulmal,” ungkapnya dalam acara Live - Konsepsi dan Sejarah Pasar di Era Emas Khilafah Islam, Selasa (31/08/2021), di YouTube Khilafah Channel Reborn.

Condro mengatakan, orang-orang awam berpikirnya kan sederhana. Bagaimana bisa mengembangkan bisnis kalau tidak ada bank. Itu kan hal yang sangat sederhana. Ketika orang bicara ingin menumbuhkan bisnisnya, yang terpikir itu kan pinjamnya ke bank.

“Ketika dikatakan, perbankan dalam Islam  tidak ada, karena ini akan merusak mekanisme pasar bebas yang sejati,” katanya.

Ia menjelaskan, jika bicara level sistem, maka sistem ekonomi itu cuma ada tiga di dunia. Yaitu sistem ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi sosialisme, dan sistem ekonomi Islam. 

“Untuk menyederhanakan, syarat sebuah sistem itu apa ada empat. Pertama, tubuhnya itu apa. tubuhnya harus jelas sosok tubuhnya; kedua, darahnya itu apa; ketiga, jantungnya apa; keempat, pompa jantungnya apa,” urainya. 

Lebih lanjut, ia menuraikan, kapitalisme itu adalah sistem, dengan tubuhnya ekonomi pasar bebas, darahnya uang kertas, jantungnya bank dan pasar modal, dan pompa jantungnya suku bunga. 

“Maka kalau kita mengatakan Islam Itu adalah sebuah sistem, keempatnya harus ada. Tubuhnya saya sebut mekanisme pasar syariah. Ini istilah saya. Darahnya apa? bukan uang kertas, uang emas dan perak. Jantungnya apa? ini yang penting. Kalau memang bank itu enggak boleh, bank itu harus dieliminasi,” paparnya.

Ia menjelaskan, kenapa dikatakan baitulmal itu jantung? Kepemilikan dalam Islam ada kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu boleh dikuasai individu asal masuk dalam lingkaran mekanisme pasar bebas. Tetesannya berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang masuknya semua di kas baitulmal. Kas yang pertama yaitu zakat infak, sedekah, dan  wakaf itu masuk dalam satu kas.

“Kepemilikan umum, seperti tambang-tambang yang besar, minyak, gas, dan hutan itu semuanya masuk kas yang kedua, kepemilikan umum. Kemudian, kepemilikan negara seperti ganimah, fai, kharaj, jizyah, dan sebanyak masuk kas kepemilikan negara. Semuanya larinya ke satu titik, yang bernama jantung yaitu baitulmal,” imbuhnya lagi. 

Condro menjelaskan, kas tersebut peruntukannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan asasi, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semuanya harus gratis. Kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan itu bisa di-backup negara kalau sampai individu enggak punya rumah misalnya.

Kembali ke pertanyaan tadi, kebutuhan modal nanti semua dilayani oleh baitulmal. Jangan bayangkan baitulmal cuma di pusat, itu bisa ada cabang-cabangnya sampai daerah untuk melayani masyarakat, terutama yang membutuhkan modal. Jejak khilafah jelas sekali menunjukkan itu,” jelasnya.

Lanjutnya, dijelaskan bahwa zaman Umar bin Abdul Aziz, setiap selesai shalat Jumat malah diumumkan, siapa yang butuh modal dan kerja silakan datang ke baitulmal.

“Siapa yang butuh kerja, butuh modal, itu menurut ulama disyaratkan dua. Kalau butuh modal, kemungkinannya dua, kalau dia pengusaha kaya yang butuh tambahan modal, maka akadnya utang, tapi tidak ada bunga. Kalau dia miskin, dikasih modal, bukan utang. Udah kasih aja enggak usah kembali,” tuturnya.

“Untuk apa ada bank, termasuk mohon maaf bank syariah. Nanti enggak laku, karena semua bisa dilayani baitulmal,” tanyanya retoris.  

Syirkah

Syirkah bisa dilakukan antar individu, tetapi tetap perlu peran negara. Karena, yang sudah mempraktikkan syirkah, pasti ujung-ujungnya yang namanya bisnis pasti ada perbedaan pendapat, perselisihan, dan konflik. Penyelesaiannya butuh peradilan. 

“Kalau kas negara kuat ya ngapain bersyirkah, kan enggak perlu. Itu modal kasih aja. Karena, syirkah itu harus membuat birokrasi untuk mengontrol dan sebagainya, itu terlalu berat,” ulasnya. 

Condro mengatakan, birokrasi dalam Khilafah Islam itu sangat simpel. Tidak seperti birokrasi sekarang yang sangat gemuk, sehingga menghabiskan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang sangat besar. Itu karena ada pajak. Pajak itu membuat semua aktivitas bisnis itu harus ada prosedur, perizinan, dan yang mengatur supaya terpantau pajaknya oleh petugas. 

“Bayangkan, kalau dalam Islam, birokrasi menjadi sangat simpel. Mau bisnis silakan gitu, termasuk kebutuhan modal enggak perlu dengan mekanisme syirkah. Antara rakyat dengan baitulmal enggak ribet sebagaimana sekarang ini. Bank Syariah mencoba mekanisme syirkah. Akhirnya, bukan mudarabah, tadi tapi “mudah berubah”. Saya banyak melakukan penelitian, apa yang dilakukan oleh Baitul Maal wa Tamwil (BMT) atau Bank Syariah, benarkah itu mudarabah? Enggak bisa,” paparnya.

Islam Mencegah

Kembali ke pasar, Condro menyatakan, dalam kapitalisme, ketika ada kekuatan modal besar masuk ke pasar, biasanya memakan pedagang-pedagang yang memiliki modal kecil. Pemodal besar sangat menguasai pasar, istilahnya dia menguasai semua dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari perkebunannya atau pertaniannya, pergudangannya, produksinya, distribusinya, sampai periklanannya mereka kuasai semua. Kalau enggak ada hukum-hukum yang apa melapisi hal tersebut, pasti terjadi konglomerasi. 

“Kalau dalam Islam ya, bagaimana mencegah ini tidak terjadi? Di dalam Islam itu ada hukum-hukum yang bisa mencegah membesarnya proses-proses konglomerasi, sehingga tercipta pasar yang benar-benar adil,” jelasnya

Condro menjelaskan, pasar adil itu indikatornya adalah kalau jualan dengan kualitas yang bagus dengan harga yang murah itu laku, itu berarti pasarnya adil. Tapi, kalau jualan barang yang kualitasnya bagus, harganya murah, kok enggak laku, dikalahkan oleh barang-barang yang sebenarnya ecek-ecek dan kualitasnya jelek, harganya mahal kok laku keras, itu pasti ada sesuatu yang dilanggar. 

“Misalnya, dalam urusan periklanan saja. Islam itu mengatur. misalnya ada hukum ba’iq najasyi (produsen menciptakan permintaan palsu, seolah-olah banyak permintaan sehingga harga jual produk naik), itu diharamkan oleh Islam. Nah, sekarang di periklanan banyak dilanggar. Itu isinya kebohongan-kebohongan,” ungkapnya. 

Ia mengungkapkan, mereka yang punya modal besar itu cepat mengeruk pasar dengan dengan iklannya yang dahsyat. Modalnya sudah besar, mereka iklannya penuh kebohongan. Akhirnya, produknya enggak berkualitas bisa laku keras, yang berkualitas tersingkir, enggak laku semua.

“Itu mesti ada yang dilanggar. Dalam Islam, nanti walaupun dia pemain besar, tapi kalau dia tidak bisa menghasilkan kualitas tinggi, tetap tersingkir oleh pasar. Itulah pasar yang adil,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar