Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Allah Hadirkan Pandemi Membuatku Sadar


Topswara.com -- “Cepat, sudah hampir pukul tujuh. Nanti kalian terlambat! “ teriak Amel kepada dua anaknya yang baru saja menyelesaikan sarapan. "Waktu terasa cepat sekali, baru saja bangun ini sudah hampir pukul tujuh saja", gumam Amel sambil menaruh tas anak-anaknya dikaitan depan motor.

Anak pertamanya kelas 1 SMA sedangkan anak bungsunya masih kelas 1 SD. Mendengar teriakan Bundanya, Aminah anak pertama dan Rizi anak keduanya bergegas memakai sepatu. 

“Sudah gede dek, masa ngga bisa pakai sepatu sendiri sih, " omel Aminah kepada adiknya. 

Tak pelak lagi mendengar omelan kakaknya sambil membentak, adiknya menangis dan ngambek tak mau sekolah.

“Kalian ini kalau pagi pasti berantem, cepat! Ayo naik ke motor. Adek mengikat tali sepatunya nanti saja di sekolah, jangan lupa masker di bawa. Katanya Covid-19 sudah masuk ke kota kita.” kata Amel lagi sambil menggiring anak bungsunya naik ke motor.

Lima menit lagi pukul tujuh, motor Amel sudah memasuki lapangan parkir sekolah si bungsu setelah mengantar anak sulungnya terlebih dahulu ke sekolahnya. Untung saja jarak sekolah Aminah dan Rizi berdekatan, pikir Amel. Amel turun dari motor dan mengikat tali sepatu Rizi kemudian menggandeng tangan anaknya masuk ke kelas. Di kantin sekolah, ibu-ibu yang habis mengantar anaknya ramai berkerumun, entah itu sekedar mengobrol atau mengisi perut karena belum sempat sarapan di rumah. 

Amel tersenyum ke arah mereka, karena salah satu ibu dari anak teman sekelas Rizi melambaikan tangan kepadanya. Pada saat Amel ingin mendekati mereka, guru wali kelas Rizi memanggilnya, ”Mama," Amel menoleh lalu menghampiri guru tersebut. Alisnya berkerenyit, apa sekiranya yang dibuat Rizi sehingga gurunya memanggilnya. Karena maklum saja, terkadang banyak terdengar aduan dari beberapa wali murid yang lain tentang kenakalan anak-anak di sekolah. 

“Iya bu, ada apa ya,” jawab Amel. “Gini ma, kita tunggu sampai jam setengah delapan ya. Nanti ada keputusan kepala sekolah, apakah sekolah ini akan diliburkan atau tidak mengingat kota kita sudah terjangkiti virus Covid-19. Jadi biar mama ngga bolak balik untuk jemput Rizi.” Ujar bu guru menjelaskan. 

Amel menghela nafas, syukurlah, bukan tentang perilaku Rizi, pikirnya. Amel tersenyum dan mengangguk, “ok, terima kasih ya bu.” Jawabnya.

Sampai di rumah, bergegas Amel menggantikan baju Rizi. Ternyata sekolahnya memang diliburkan mengingat bahaya wabah Covid-19. Ia bergegas ke dapur mencuci piring yang memang belum sempat dicucinya tadi pagi. Rizi masuk ke kamar menonton televisi dan memutar film kartun spongebob kesukaannya. Telepon berdering beberapa kali, membuat Amel ingin cepat-cepat menyelesaikan kerjaannya. “Selesai,” gumamnya. 

Ia mengelap tangannya yang basah ke baju, kemudian mengambil handphone yang dari tadi berbunyi, bergegas ia menjawab panggilan tapi terputus karena sudah kelamaan berdering. Dilihatnya siapa yang menelepon, ternyata teman SMA nya. Segera Amel menekan nama Febri, dan tak begitu lama temannya menjawab panggilan telepon Amel. 

“Ya Feb, kamu mau ngajak aku kajian ya, kayaknya belum bisa lagi deh Feb. Ini aja baru selesai mencuci piring dan belum masak juga. Maaf ya, pengen sih, mungkin lain kali ya,” jawab Amel seperti sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan teman akrabnya di masa SMA itu. 

Yo wess, nggak apa-apa Mel. Barakallah ya,”  Febri mengakhiri panggilan sembari mendoakan.

Sebenarnya Amel tak enak juga beberapa kali Febri mengajaknya mengaji tapi sekalipun belum sempat ia hadiri. Bukan dia tidak mau, tapi terkadang memang kesibukan menjadi ibu rumah tangga sungguh menguras waktu dan tenaga.

Azan zuhur sebentar lagi berbunyi, tapi pekerjaannya juga belum usai. Lagi-lagi wajan, panci tampak nongkrong di wastafel cuci piring. “Baru saja selesai mencuci piring, eh ini sudah banyak lagi,” gumamnya. 

Ya, wajar saja ia baru selesai masak. Azan zuhur berkumandang saat ia selesai mencuci semua piring. Aroma tubuhnya yang tak sedap karena bau dari bawang membuat ia gerah, dan ingin kembali mandi, karena sebentar lagi juga ia akan menjemput anak sulungnya. 

Selesai shalat zuhur, Amel baru bisa duduk sebentar memegang handphone melihat pesan-pesan whatsaap yang masuk ke handphonenya. Sesekali terdengar Amel tertawa lirih. Asik sekali kalau sudah memegang handphone, tak terasa waktu berjalan cepat. 

“Astaghfirullah! ” jeritnya lirih. Ia lupa akan menjemput anaknya sekolah, tapi anak bungsunya belum diberi makan. Di liriknya si bungsu, ternyata Rizi sudah tertidur pulas sambil memegang remote televisi di tangannya. Bergegas ia mengambil kunci motor dan membuka pintu, di lihatnya ada mobil di depan rumah. Tak lama kemudian sosok mungil turun dari mobil, dan melambaikan tangan kearah mobil. Ternyata Aminah sudah pulang di antar ibu temennya sekolah. Amel berjalan ke arah mobil tatkala pemilik mobil membuka kacanya. “Terima kasih ya mbak sudah repot mengantar Aminah pulang .” ujar Amel. 

“Iya afwan,“ jawab ibunya Tasya. Masya Allah, begitu elegannya wanita dalam mobil itu, pikir Amel. Bahasanya santun dan kelihatan dia adalah orang yang sangat paham agama, pikirnya. Kulambaikan tangan ke arah mobil, sampai mobil itu melaju menjauhi kami. Kugandeng tangan Aminah masuk ke rumah.

“Bun, mulai besok kakak libur karena adanya guru yang terjangkit Covid-19 di sekolah. Nggak tahu kata kepala sekolahnya sampai kapan. Nanti dihubungi lagi via pesan .” Amel mengangguk.

Dalam hatinya mengucap syukur, artinya kegiatan antar jemput sekolah untuk sementara diistirahatkan dulu. 

Malamnya sehabis shalat isya kupanggil Aminah, “kak, sini dulu dong, ada yang ingin bunda tanyakan!“ panggilku. Aminah mendekati Amel yang masih memakai mukena. ”Iya bun ,” jawab Aminah. “Kak, bunda kepo dong. Tadi itu temen kamu Tasya yang dulu sering main kesini kan, masalahnya bunda baru lihat mamanya tadi. Bukannya mamanya pengacara ya kak?" Tanya Amel kepada Aminah.

“Iya Bun, “ jawab Aminah singkat sambil matanya fokus pada benda persegi panjang di tangannya, kemudian berlalu meninggalkan bundanya kembali ke sofa depan dan kembali asyik dengan smartphonenya.

Amel berfikir, baginya memang kesusksesan wanita di lihat apabila seorang wanita bisa mengerjakan apa yang dikerjakan kaum laki-laki, termasuk menyetir mobil sendiri.

“Hebat, mandiri dan seorang pengacara pula,” gumamnya membayangkan mama Tasya  berada di ruang sidang membela terdakwa yang tidak bersalah. Itu sebenarnya yang menjadi cita-citanya, menjadi wanita karier tapi tidak lepas dari takwanya kepada Allah.

Sudah hampir seminggu, kegiatan daring sekolah anak-anak berlangsung. “Aduh, sama repotnya kak, kalau dulu cukup mengantar adek ke sekolah, kini peran guru digantikan oleh bunda, bayaran sekolah masih full, “ ujar Amel mengeluh kepada Aminah. 

Maklum saja Aminah bagi Amel seperti teman saja, karena anaknya satu itu memang terkadang kelihatan lebih dewasa di banding anak-anak seusianya. Apa karena anaknya sering mengikuti organisasi di sekolah sehingga membentuk karakter mandiri dan dewasa.  "Ah, entahlah," pikir Amel. 

Tapi, memang dia merasa nyaman untuk berkeluh kesah kepada anak sulungnya itu. 

“Alhamdulillah bunda, katanya kita nggak boleh mengeluh, dulu bunda bilang kegiatan yang paling sibuk adalah mengantar jemput anak-anak sekolah, nah sekarang sudah di rumah saja, bunda bilang sama repotnya, gimana tuh bun,” kata Aminah sambil ketawa menggoda bundanya. 

“Hehehe, bener juga ya nak. Ya sudah kalau gitu bunda ke dapur nanti kamu bantu adek mengerjakan tugasnya ya,” kata Aminah sambil berlalu. 

“Bundaaaaaa,...” teriak Aminah seakan mau protes.

Ternyata mengajari anak-anak itu melelahkan. Kadang mereka tidak segera mengerti setelah dijelaskan beberapa kali. Hal ini tentu saja membuat rasa emosi sesekali juga timbul. Bagaimana guru-guru di sekolah yang mengurus puluhan anak setiap harinya?" Pikir Amel. 

"Alhamdulillah selesai kan dek, paham kan dek, ayo foto tugasnya lalu kirim ke wali kelasnya, " kata Amel sambil merangkul adek Rizi yang kelihatan sangat lelah sehabis belajar. 

Handphone Amel tiba-tiba berdering di saat Amel hendak mengirrimkan tugas Rizi ke gurunya. Di gesernya tanda telefon ke arah kanan, “Assalamu’alaikum Feb,” kata Amel mengawali pembicaraan. 

Ternyata Febri teman sekolahnya kembali menelpon Amel. “ Wa'alaikum salam, apa kabar Mel? “ jawab Febri.

 “Alhamdulillah baik, ada apa Feb ?” Tanya Amel. 

“Mel, yuk ikutan kajian, karena pandemi maka kajian kami diadakan secara online. Gimana mau ikutan kah? Ayolah Mel, kapan lagi ada kesempatan dapet ilmu yang banyak di saat sekarang, hehehe” bujuk Febri sambil ketawa ringan.

“Okelah, kapan? ” tanya Amel. Sebenarnya dia mau menolak, tapi tidak enak karena sudah beberapa kali Amel menolak Febri untuk mengikuti kajian, alasannya sibuk mengurus antar jemput anak sekolah dan les. Sehingga sekarang tidak ada alasan baginya untuk menolak ajakan Febri, padahal kesibukannya pun saat ini masih sama bahkan lebih melelahkan, tidak hanya fisik namun juga pikirannya.

"Alhamdulillah, hari ahad pagi ya jam 09.00 pagi," kata Febri dengan nada yang senang. “ nanti aku kasih link zoomnya ya, ada kan aplikasi zoomnya? “ Tanya Febri kembali. 

“Ada dong Feb, kan si adek sesekali pake zoom sama guru wali kelasnya.“ jawab Amel. “Ok, kalau begitu, sampai jumpa di ruang zoom ya Mel, hehehe, Assalamualaikum,” kata Febri mengakhiri pembicaraannya. 

“Iya, wa’alaikum salam,” jawab Amel.

“Bunda telepon!” teriak Aminah. Bergegas Amel ke kamar mengambil handphonenya. “Assalamu’alaikum, iya Feb, “ kata Aminah mengangkat teleponnya. “Mel, kok belum masuk zoom?” Tanya Febri. 

Ya Allah dirinnya lupa bahwa hari ahad ini jam 09.00 mau menghadiri kajian yang di tawarkan Amel beberapa hari yang lalu. “Oh, iya ya bentar lagi ya Feb, tadinya mau masuk tapi, si adek rewel minta makan,” jawabnya berbohong. 

“Ok, bentar lagi aku masuk, linknya yang semalam dikirim ya,” kata Amel. 

“Iya, ditunggu ya Mel. Assalamua'laikum,” kata Febri kemudian. “Wa’alaikumussalam,” jawab Amel. 

Buru-buru ia melihat chat Febri ke dirinya semalam, kemudian mengklik link yang sudah diberikan Febri. Hanya beberapa detik saja dirinya sudah bergabung di ruang zoom. Amel membawa handphonenya ke dapur, kameranya sengaja dimatikan, karena dirinya sambil membereskan dapur yang masih berantakan. Terdengar host membuka kajian online. ”Tema kita pada pagi hari ini adalah keimanan yang kokoh, bersama Ustazah Rahma,….” Terdengar suara di ruang zoom melalui telepon. 

Lantunan tilawah terdengar sayup di telinga Amel, karena memang dirinya sambil mendengarkan zoom sambil mencuci piring, jadi suara tilawah berlomba dengan piring-piring dan cangkir yang sedang ia cuci. Selesai membereskan piring, Amel mengambil handphone lalu menaruhnya di atas meja, ia ingin duduk sebentar sekedar mendengarkan materi yang baru saja disampaikan Ustazah Rahma. Dirinya tersentak tatkala Ustazah mengatakan bahwa keimanan itu harus full dan benar-benar terbentuk dari proses berpikir karena manusia diciptakan pada hakikatnya memiliki akal yang senantiasa dipakai untuk selalu berpikir akan ciptaan Allah. Allah bukan hanya Sang Pencipta tapi juga Sang Pengatur, yang membuat aturan sehingga manusia tidak salah arah dan tujuan.

“Asyik kajian ini,” gumam Amel seakan tidak mau beranjak dari duduknya, padahal pekerjaan lain menunggu untuk dikerjakan.

“Allah itu begitu sayang kepada hambanya, karenanya Allah turunkan Rasul untuk mengontrol aturan-aturan yang telah diturunkannya melalui Al-Qur’an dan hadis sehingga kita hambanya mau Kembali kepada Allah.  Di situlah konsekuensi keimanan, percaya bahwa kita akan kembali kepada Allah dengan membawa pertanggung jawaban amal perbuatan selama di dunia. Apa yang kita kerjakan, apa yang kita lakukan semuanya tak luput dari pengawasan Allah. Bagaimana prioritas hidup kita selama selama di dunia juga akan ada konsekuensinya di akhirat berupa tempat Kembali yang kekal, apakah surga atau neraka.” Suara Ustazah Rahma di ruang zoom sangat terdengar jelas di telinga Amel.

Tak terasa mata Amel memerah, air matanya hampir jatuh saat itu. Terbayang apa yang sudah dikerjakannya selama ini, sibuk dengan urusan dunia yang tak berkesudahan, bahkan beberapa kali diajak Febri ke kajian selalu tidak bisa. Karena baginya memilih beristirahat lebih penting dengan segala aktivitas yang melelahkan daripada harus mengikuti lagi kajian.

Kembali Amel kaget pada saat sesi tanya jawab berlangsung, dilihatnya peserta zoom yang bertanya adalah orang yang tidak asing lagi bagi dirinya. Ya, Mama Tasya, di sela kesibukannya menjadi pengacara masih menyempatkan diri untuk ikut kajian, sedangkan dirinya yang baru memiliki dua anak yang bisa dikatakan mandiri pun seolah tak punya banyak waktu, seolah rasa malu memainkan perasaannya saat itu. 

“Ustazah, izin bertanya. Mengapa orang yang bisa dikatakan ibadahnya baik, shalat, puasanya ok, tapi di dalam kehidupannya masih korupsi atau memakai riba dalam aktivitas muamalahnya. Apakah keimanan orang tersebut bisa dikatakan belum full. Mohon penjelasananya," tanya Mama Tasya yang kemudian diketahui Amel bernama Mia. 

Terus terang Amel belum pernah mengikuti kajian seperti ini. Biasanya materi yang dihadirkan sebatas shalat, thaharah ataupun akhlak. Tidak pernah membahas masalah fakta-fakta kerusakan umat saat ini, seperti yang materi yang disampaikan ustazah Rahma pagi ini, yang dikatakan bahwa karena pandemi yang tidak selesai-selesai karena tidak memakai aturan Allah Sang Pembuat Aturan.

Belum lagi ekonomi yang  terpuruk karena utang luar negeri yang memakai riba, atau problem-problem lainnya. Keren, pikir Amel kajian kali ini. Membuka wawasan berpikir secara cemerlang.

“Betul Bunda Mia, keyakinan orang tersebut tidak full, karena dia masih belum yakin karena Allah itu Maha Mengatur. Tidak yakin dengan rezeki dan tidak yakin dengan adanya kehidupan setelah kematian. Itulah yang dinamakan memisahkan agama dari kehidupan, yang sering kita sebut dengan istilah sekularisme. Baginya agama hanya dalam ranah pribadi saja, ibadah hanya urusan di masjid saja, urusan diri masing-masing tapi di dalam kehidupan aturan-aturan Allah tidak pernah dipakai. Inilah nantinya yang akan melemahkan iman kita bahkan bisa meruntuhkan keimanan kita, naudzubillah. “ jawab Ustazah Rahma .

”Yang harus kita lakukan adalah, terus membentengi diri kita dengan ilmu dan amal, teruslah hadir dalam majelis ilmu dan seringlah berkumpul dengan orang-orang shaleh yang saling mengingatkan apabila kita tergelincir. “


“Subhanallah, ”jerit Amel. Ternyata lampu mati, sehingga wifinya juga terputus. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.45, lama juga Amel menghadiri kajian online pagi ini. Pertama kali dirinya mengikuti kajian online di saat pandemi ini.

“Alhamdulillah,” gumamnya. Amel berpikir akan menelepon temannya setelah lampu hidup nanti. Dirinya merasa senang dan nyaman dengan kajian kali ini, dan berpikir akan mengikuti rutin bila ada kajian seperti ini lagi. Amel buru-buru beranjak dari tempat duduknya, mulai mengambil sayuran yang sudah disiapkannya untuk dimasak.

Tidak memakan waktu berapa lama, masakan sudah selesai Amel sajikan. Lantaipun sudah bersih disapunya, dan panci bekas masak sudah selesai dicuci. Kini Amel tinggal memanggil pasukan yang ada di rumah untuk bersegera makan siang.

Lampu baru hidup pukul tiga sore, Amel tinggal menunggu shalat ashar setelah habis mengajarkan Rizi mengaji Iqro’. Tiba-tiba ia ingat untuk menelepon Febri terkait niatnya siang tadi. Diraihnya handphone yang tergeletak di meja, Amel lupa kalau handphonenya kehabisan baterai, karena memang pada saat mengikuti zoom tadi baterainya tinggal sedikit, mau di chargernya tapi lampu keburu mati. Terpaksalah niat untuk menelepon Febri diurungkannya, kemudian beranjak untuk mencharge handphonenya.

Amel meraih dan menghidupkan handphone yang sudah selesai discharge. Ternyata Febri meneleponnya dua kali di jam 12.30. Langsung saja ia menelepon balik sahabatnya itu. “Assalamualaikum Feb,” sapa Amel.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Febri.
”Mel, gimana kesannya dengan kajian tadi, aku lihat kamu sudah tidak ada pada saat closing statement dari Ustazah Rahma. 

“Ia afwan Feb, tadi itu mati lampu, jadi wifi terputus. Kajiannya bagus sekali, aku suka sekali. Apakah konsep kajiannya memang seperti ini ya Feb. Maksudnya, selalu mengaitkan dengan fakta-fakta yang ada ?” cecar Amel kepada Febri. 

“Alhamdulillah kalau memang suka Mel, Kajiannya memang selalu mengajak kita untuk selalu memikirkan persoalan umat, tidak hanya masalah kita sendiri. Karena kalau dipikir Mel, masalah kita dibandingkan dengan masalah umat saat ini hanya 1:10, he..he..he..,” jawab Febri sedikit tertawa kecil. 

Kemudaian obrolan kami berlanjut sampai 30 menit. “Ok, Mel nanti kalau ada kajian lagi ikut ya, Aku siap untuk mengirimkan link ke kamu, salam untuk keluarga ya, Assalam’ualaykum” ujar Febri. “Siap Feb, wa'alaikumussalam” ujar Amel menutup pembicaraan.

Siang ini Aminah meminta diantar bundanya ke rumah Tasya. Katanya dia mau mengerjakan prakarya membuat rumah adat memakai stik es yang diberikan gurunya sebelum pandemi kemarin dan harus segera dikumpulkan. Aminah berniat mengerjakannya Bersama-sama Tasya. Amel mengiyakan permintaan anak sulungnya itu. Dia mengeluarkan motornya, dan mengajak Rizi bersamanya. Mereka bertiga melaju kerumah Tasya yang tak begitu jauh dari rumahnya.

Sesampainya di rumah Tasya, tak payah lagi Amel memanggil Tasya, karena Tasya sedang duduk di depan Bersama mamanya sambil mengorol santai dan menyiapkan bahan-bahan prakarya yang akan dipakai untuk Aminah dan Tasya. Melihat kedatangan kami, Tasya bersegera membuka pagar supaya motor bunda Amel bisa masuk. Aminah dan Rizi turun dari motor, mama Amel serta merta menyambut kami berdua dengan gembira.

“Hai, Aminah apa kabar, sudah lama  nggak main kesini ya?" sapa mama Amel.

"Alhamdulillah sehat ma,” jawab Aminah sambil menyatukan kedua tangannya, maklum saja pandemi ini agak berhati-hati untuk bersalaman dengan orang luar. Amel menyandarkan standar motornya, dan menuju kearah mereka

 “Assalamu’alaikum ma,” sapa Amel kepada mama Tasya.

”Wa’alaikumussalam,” jawab mama Amel dengan hangat.” Yuk, bund kita masuk saja, ngobrol di dalam, biar anak-anak mengerjakan prakaryanya,” lanjut mama Tasya. 

Amel masih agak segan kepada mama Tasya, karena memang tidak akrab. Dia merasa risih bicara dengan wanita karir seperti mama Tasya mengingat dirinya hanya ibu rumah tangga biasa. 

Tapi keramahan  mama Tasya membuat Amel merasa sedikit nyaman. “Nggak usah di dalam ma, di sini saja sambil melihat anak-anak membuat prakaryanya.” Tolak Amel halus. 

“Baiklah, sambil menikmati angin ya bund,” ujar mama Tasya bercanda.

“Saya ambil minum dulu ya, afwan ditinggal ke belakang dulu ya bund,” pamit mama Tasya. Amel pun tersenyum dan mengangguk.

Tak berapa lama, mama Tasya kembali berada di teras rumah dengan membawa nampan berisi minuman dan kue srikaya. “Wah ma repot-repot nih,” ujar Amel berusaha untuk tidak canggung lagi. 

“He..he..he...kebetulan hari libur, jadi buat kesukaan anak-anak. Kebetulan katanya mau membuat prakarya bersama Aminah,” kembali Mama Tasya dengan ramahnya menjawab obrolan Amel, hal ini membuat Amel semakin merasa nyaman. 

Karena suasananya kelihatan sudah mencair, mama Amel memberanikan diri untuk bertanya, “Oh ya ma, Ahad kemarin saya lihat mama juga hadir ya dalam kajian kaffah?” tanya Amel.

“Wah, Bunda Aminah juga hadir ya, Alhamdulillah,” suara mama Tasya kelihatan senang sekalian. “Sudah lama ya bunda ikutan kajian kaffah?” balik bertanya mama Tasya.

“Baru pertama kali itu ma, saya suka sekali. Mama Tasya sering ya ikutan kajian Kaffah?” Amel balik bertanya. 

“Sudah hampir setahun bund, dan dari situlah saya banyak tahu yang saya tidak peduli selama ini,” ujar mama Tasya. 

Kening Amel sedikit mengerenyit, agak bingung mencerna kalimat yang digunakan mama Tasya. “Selama ini saya menyibukkan diri dengan bekerja, mencari uang dengan menyelesaikan banyak perkara. Saya merasa puas kalau kliennya menang dalam suatu perkara. Kadang saya lalai dalam ibadah, karena terlaku fokus dengan urusan duniawi. Lupa menuntut ilmu agama, lupa untuk dakwah, lupa untuk peduli urusan umat yang seabrek banyaknya.” Mama Tasya melanjutkan obrolannya.

Amel baru paham kalimat mama Tasya yang tidak peduli tadi. Hatinya merasa kagum dengan pemikiran mama Tasya, bukan hanya wanita karir, tapi pemikirannya tentang agama juga sangat baik sekali. 

“Saya pikir, kesuksesan seorang wanita itu dinilai dari  kemandiriannya secara ekonomi. Bisa sama dihadapan laki-laki. Tapi makin kita sukses, makin kita lebih hebat dari laki-laki. Di situlah masalah itu timbul. Wanita menjadi dominan pada akhirnya, padahal kesuksesan seorang wanita itu tidak dinilai dari pandangan manusia terhadap dirinya. Tapi, justru dilihat dari ketaatan Wanita itu kepada Allah dan tunduk sama nafsunya hanya mengharap ridha Allah semata,” lanjut mama Tasya. 

“Masya Allah,” gumam Amel. Tiba-tiba saja Amel meringis seolah-olah mama Tasya bisa membaca pikiran dirinya terhadap mama Tasya. Campur aduk rasa yang ada di dalam hatinya saat itu. Ternyata pemikirannya terhadap Wanita karir yang memiliki kemandiran ekonomi dan  keren bisa bekerja sama dengan laki-laki itu seakan runtuh dengan perkataan dari mama Tasya tadi. 

“Oh ya, siapa yang mengajak bunda dalam kajian Kaffah?” tanya mama Tasya kepada Amel. 

“Febri Astuti, dia kebetulan teman saya SMP sampai kuliah selalu bersama ma.” Jawab Amel. 

“Wah bund, Ustazah Febri itu guru saya,” ujar mama Tasya. 

Sontak saja Amel kaget, dia tidak menyangka temannya semasa SMP sekarang menjadi guru seorang pengacara. Padahal yang Amel tahu, Febri juga seorang ibu rumah tangga sama seperti dirinya. Kekagumannya seolah berpindah dari mama Tasya kepada Febri teman kecilnya. 

Memang Amel tahu bahwa Febri sudah sejak kuliah mengikuti kajian tapi yang Amel tahu tidak begitu rutin. Sampai Amel melahirkan Aminah, Febri yang sudah lebih dulu dua tahun menikah selalu rutin mengajaknya kajian. Tapi selalu dijawab belum bisa oleh Amel. Sampai akhirnya Febri tidak pernah lagi mengajaknya kajian, karena yang dia tahu Febri pindah ke Bangka. Sampai akhirnya Febri Kembali menelepon Amel, karena suaminya sudah pindah lagi ke Palembang.

“Syukron ya ma sajiannya, ilmunya banyak banget saya dapat dari mama hari ini. Sampai ketemu lagi nanti di kajian ya ma,” ujar Amel dengan percaya dirinya. 

Prakarya yang dikerjakan Aminah dan Tasya sudah hampir rampung, saatnya mereka pamitan. Rizi juga masih senang main di halaman rumah Tasya karena ada kelinci yang bisa diajaknya bermain. 

“Alhamdulillah, saya juga senang ngobrol sama bunda Aminah, iya saya tunggu di kajian kaffah bulan depan ya bund,” kata mama Tasya tersenyum.

Amel pun memanggil Rizi untuk diajak pulang, untungnya Rizi tidak protes dan mau diajak pulang. Aminah membereskan perlengkapan prakaryanya dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.

"Assalamu’alaikum,” ujar Amel pamitan.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Tasya dan mamanya serentak. Motor mereka pun melaju meninggalkan rumah Tasya

Malam harinya, sehabis shalat isya. Amel merenungi obrolan dirinya dengan mama Tasya siang tadi. Banyak sekali kewajiban-kewajiban yang masih belum tertunaikan, salah satunya adalah kewajiban menuntut ilmu agama. Kewajiban dakwah, amar makruf nahi mungkar yang masih belum bisa dilakukannya dan banyak lagi kewajiban lainnya. Terkadang dirinya merasa sudah puas dengan ibadah-ibadah yang dilakukannya selama ini. Shalat lima waktu, terkadang puasa sunah, mengurusi keluarga, bagi dirinya itulah bekal yang akan dibawanya ke akhirat nanti.

Ternyata masih banyak sekali kelalaian yang dilakukannya sampai hari ini. Begitu sayangnya Allah kepada hamba-Nya, sehingga menghadirkan pandemi ini, supaya hamba-hambanya yang masih lalai dalam menuntut ilmu, dan menganggap menuntut ilmu untuk hadir dalam majelis itu jauh. Sekarang dengan adanya pandemi ini mengharuskan kita untuk tetap di rumah dan dimudahkan untuk hadir dalam majelis dengan hanya memakai handphone yang biasa kita pakai untuk berselancar di media sosial. 

Apakah masih ada lagi yang kita jadikan alasan untuk terus tidak hadir menuntut ilmu karena letaknya jauh. Jangan sampai Allah menarik nikmat menuntut ilmu dalam diri ini, pikir Amel. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya. Ternyata Allah hadirkan pandemi ini buatku sadar.


Oleh: Hexa Hidayat
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar