Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

“Sengok Arep Negakagih Agemenah Allah,” Luqman El Hakim [1978-2012], Kurir percetakan


Topswara.com -- Meski ibunya mencoba menahan, Luqman El Hakim yang baru dua pekan kembali ke kampung tetap bersikukuh ingin kembali ke Jakarta. “Ella, jek abeli ka Jakarta pole Cong (Jangan ke Jakarta lagi Nak),” bujuk Maemonah (60 tahun), Kamis (30/5/2012) di rumahnya, Dusun Onjur RT 002 RW 17 Desa Sumber Lesung, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Bukan ingin membantah orang tua, namun dakwah di ibukota bahkan syahid dalam perjuangan menegakkan syariah dalam bingkai khilafah sangat dirindukannya maka ia pun menjelaskan maksud kepergiannya seraya meminta restu ibunda tercinta.

“Sengok arep negakagih agemenah Allah, Umi ridek mon sengkok mateh syahid? (Saya mau menegakkan agama Allah, Umi rela kalau saya mati syahid?)” tanya Luqman. “Iyyeh ikhlas (iya rela),” lirih ibunya.

Dengan menumpang kereta barang Luqman kembali ke Jakarta.

Sesampainya di kota metropolitan, lelaki tersebut kembali berdakwah. Seperti biasanya, hampir setiap malam ia kontak dengan imam masjid di Matraman untuk mengajak mereka turut berjuang menegakkan syariah Islam kaffah.

Siang hari di sela-sela kerjanya di usaha desain kreatif dan percetakan Senyum Advertising, ia tetap berdakwah. Bila barang cetakan yang diantarnya banyak, ia pun naik taksi. Di perjalanan kalimat-kalimat ajakan kepada supir taksi untuk bertakwa kepada Allah SWT mengalir dari lisannya.

Ketika makan malam, tukang pecel lele pun menjadi target berikutnya. Sampai-sampai pedagang makanan yang kerap disapa Pak Haji mengundangnya untuk ceramah di tengah keluarganya. Tidak hanya itu, Luqman juga mendakwahi preman yang sering nongkrong di Utan Kayu akan bahaya narkoba dan menyatakan bahwa pemerintah zalim karena memberi grasi kepada ratu narkoba Corby.

Setiap Jumat, Luqman mengantarkan buletin dakwah Al Islam ke salah satu masjid di Matraman. Namun pada Jumat (6/7/2012) ia tidak sedang mendapatkan tugas mengantarkan cetakan di tempatnya bekerja, maka waktu luang itu ia gunakan untuk full melakukan aktivitas dakwah di Matraman.
Menurut Yan Hadi Kalamullah, binaan Luqman, ia antarkan buletin Al-Islam ke sepuluh masjid. Shalat Jumat di Masjid Al Manar Utan Kayu, dan kontak dakwah dengan Imam Masjid KH Juhroni. Siang turut mendisribusikan
majalah politik dan dakwah al-wa’ie. Malam Sabtu, dengan berbekal tabloid Media Umat, Luqman mengontak Rofik, seorang pengusaha bangunan.

Sabtu (7/7) pagi, ia diamanahi untuk mengantarkan poster bedah Media Umat dengan menggunakan motor ke Pulogadung, Jakarta. Sekitar pukul 10 pagi Luqman pun terkena musibah tertabrak bus Malino Putra, di Jalan Utan Kayu ke arah Jalan Pemuda.

Ia pun pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tepat pukul 10.30 dokter menyatakan Luqman kembali ke Rahmatullah. Inna Lillahi wa Inna ilaihi rajiuun.

Tentu saja kabar meninggalnya Luqman menjadi kesedihan keluarga dan juga teman-temannya. Namun keseriusannya dalam berdakwah menjadi ungkapan pertama yang dicetuskan rekan-rekannya setelah mengucapkan kalimat istirja’. 

“Ustadz Luqman itu kalau bertemu dengan saya selalu bahas tentang dakwah dan respons orang-orang yang dikontaknya, tidak pernah ia mengeluh tidak punya uang atau kesulitan lainnya,” ungkap Ustaz Rokhmat S. Labib.

“Beliau orang yang ringan kakinya, amanah dan tidak pernah canggung ketika ngontak orang meskipun yang dikontak tokoh-tokoh pengusaha yang lumayan besar. Gayanya yang memakai jubah dan terkadang jas membuat beliau sosok yang unik karena penuh percaya diri,” ujar Haris Islam, rekannya.

“Setiap saya ketemu dengan beliau pasti berbicara tentang dakwah, dan beliau selalu bertanya ‘Siapa lagi yang akan kita kontak Ustaz?’” ujar Arif Dedy, rekannya.

Mengenal Dakwah Islam Kaffah

Luqman El Hakim lahir di Jember, 1 September 1978 dengan nama Kusnadi. Setamat sekolah dasar ia kemudian nyantri kepada KH Shihabuddin di Pondok Pesantren Al Wafa Tempurejo. Selama 14 tahun ia mondok, karena setamat nyantri ia langsung diamanahi menjadi ustaz untuk mengajar di sana. Oleh sang kiai, namanya diganti menjadi Luqman El Hakim.

Menurut Ahmad, teman sepondok di pesantren, Luqman mendapat informasi awal tentang ide-ide sebuah kelompok Islam kaffah darinya ketika mengabdi di Al Wafa. Namun mulai tertarik dengan ide-ide tersebut pada 2002-2003, setelah kembali ke kampung halaman dan dikontak lebih intensif oleh dua aktivis di Jember.

Sepekan sekali Luqman pun rela ngontel sejauh 6 Km menggunakan sepeda untuk ngaji secara intensif kepada Ahmad. Berangkat sebelum Maghrib dan sering pulang dini hari, jam 1 atau jam 2, melewati jalanan sepi dan gelap serta medan yang naik-turun dan berkelok-kelok.

Karena usai ngaji, Ahmad selalu membawanya kontak dakwah ke berbagai kiai dan ustadz di Jember. Sampai-sampai ayahnya, kala masih hidup, mengkhawatirkan keselamatan dirinya sekaligus citranya di mata para tetangga karena pulang dini hari.

Jika demikian ibunya senantiasa menenangkan Abah dan menjadi pihak yang mendukung keputusan yang diambil putranya. Sikap dukungan ibunya inilah yang membuat Luqman ringan langkah dalam dakwah. 

Hijrah ke Jakarta

Aktivitas dakwah yang seperti itu berlangsung hingga dirinya merantau ke Jakarta, tahun 2007 saat diadakan Konferensi Khilafah Internasional di stadion GBK. Mulai saat itu, interaksi dakwah di tanah kelahirannya hanya pada saat dirinya pulang kampung.

Setiap kali pulang dari Jakarta, ia pastilah keliling kampung untuk kontak dakwah sehingga dirinya difitnah oleh orang-orang yang dengki. Muncul omongan bahwa dia orang stres, atau pun dianggap penyebar aliran sesat, atau dilekatkan sama seperti orang syiah sehingga harus ditolak sebagaimana penolakan warga tetangga kampungnya yang menolak jamaah syiah.

“Namun beliau menyikapinya dengan sabar tetap istiqamah mengikuti manhaj dakwah Rasulullah ini, seraya memberikan penjelasan yang benar,” ujarnya.

Di samping itu, setiap kali pulang kampung, Luqman membawa media-media dakwah Islam kaffah yang diperoleh dari teman-teman Jakarta maupun beli sendiri, baik berupa tabloid, bendera, topi, kaos, stiker, gantungan kunci, dan lain-lain.

Ia pun menabung untuk membuat sumur dan kamar mandi di rumahnya, karena selama ini keluarganya dan juga warga sekitar Sumber Lesung melakukan aktivitas MCK di sungai.

“Namun, baru separuh pengerjaan uang tabungannya habis. Maka beliau tidak malu-malu untuk meminjam uang ke teman-teman, dan komitmen dalam pengembaliannya,” ungkap Aji, rekannya di Jember.

Pada kesempatan lain, ia memperhatikan tentang kewajiban wanita Muslimah mengenakan jilbab dan kerudung. Secara khusus ia sangat prihatin akan kondisi keluarga serta Muslimah sekitar yang terkendala secara ekonomi sehingga tidak bisa mengenakan jilbab dan kerudung tapi berkomitmen menjalankan kewajiban itu.

Luqman pun mengusahakan membantu kebutuhan itu dengan menggalang pengumpulan jilbab dan kerudung sumbangan teman-teman Jakarta. Setelah didakwahi Luqman, ibunya pun terbiasa mengenakan kerudung dan jilbab serta kerap kali mengikuti kajian keislaman Muslimah. “Termasuk masirah (unjuk rasa) padahal Umi sudah sepuh,” ujar Aji.

Ia selalu berusaha menjadikan dakwah sebagai poros kehidupannya. Tiada hari tanpa kontak dan terus kontak masyarakat. Kadang, ia kontak bersama temannya, meski tidak memiliki ongkos, ia akan pinjam.

“Bagi beliau, utang bukanlah aib selama digunakan untuk dakwah, yakni terlaksananya aktivitas yang dituntut oleh dakwah,” pungkas Aji.[]

Sumber: Taat Syariat Hingga Akhir Hayat (10 Kisah Menggugah Pejuang Khilafah yang Istiqamah Hingga Berkalang Tanah)

Oleh: Joko Prasetyo 
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar