Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penegak Hukum Pilih kasih, Kasus Narkoba Kalangan Atas vs Bawah


Topswara.com -- Lagi - lagi artis tersandung kasus narkoba. Sepekan ini jagad media sosial digemparkan dengan berita pasangan suami istri, yakni artis papan atas serta anak seorang penguasa sekaligus politikus yang positif memakai narkoba. Mereka menjadi sorotan publik karena proses hukuman terhadap mereka berdua di istimewakan.

Kapolres Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi menegaskan, penyidik tetap akan memproses hukum terhadap Nia Ramadhani atas kasus penyalahgunaan narkotika. Meskipun, dalam undang-undang pengguna narkotika diwajibkan menjalani rehabilitasi. (Merdeka.com,  10/7/2021)

Nia Ramadhani dan suaminya Ardi Bakrie serta sopirnya, ZN, direkomendasikan untuk direhabilitasi terkait narkotika. Polisi memastikan kasusnya tetap bergulir hingga persidangan. Mulanya, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi menyebut penyidikan terhadap Nia dan suaminya sudah dianggap cukup. Kemudian, ia berbicara mengenai rehabilitasi. "Bahwa tersangka tidak diproses sebagaimana mestinya. Bahwa pasal 127 (UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) sebagaimana yang hasil penyelidikan kami tentang pengguna narkoba ini diwajibkan dilaksanakan rehabilitasi, itu adalah kewajiban UU," ujar Hengky kepada wartawan, Sabtu (detik.com, 10/7/2021).

Dari fakta diatas jika kita cermati bersama penegak hukum sangat gampangnya memberikan tindakan rehabilitasi kepada yang sudah jelas-jelas  tersangka kasus peyalagunaan narkoba. Semua ini disinyalir lantaran mereka ialah publik figur serta pengusaha kelas elite. Sehingga hukum pun dapat ditaklukan dengan jabatan serta materi yang mereka punya.

Alih-alih ditindak tegas sesuai hukum pasal yang berlaku yang jelas tertuang dalam pasal 114 yang berbunyi : "Para tersangka dijerat dengan Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman pidana mati, pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar ditambah sepertiga. Di sini jelas ditegaskan hukuman bagi pelaku penyalahgunaan barang haram tersebut. 

Akan tetapi di sisi lain mereka dijerat  dengan pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai dengan keinginan para kalangan atas dan aparat negara. Pasal itu ialah pasal 127 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang penyalah guna narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Kemudian, pengguna narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Terakhir, pengguna narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.

Kemudian, Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan jika penyalahguna narkoba terbukti hanya menjadi korban, maka individu terkait wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sesuai isi dari undang-undang tersebut.

Pasal tersebut sangat ambigu serta tidak jelas arahnya kemana. Sebab tidak membedakan antara penyalahguna dengan pengedar atau bandar narkotika. Selain itu, penegak hukum  lebih mengedepankan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika ketimbang penjatuhan pidana.

Dari sini terlihat gamblang ketidakadilan ada di mata publik. Dimana jika yang menjadi tersangka kalangan bawah atau kelas teri maka langsung akan ditindak pidana masuk buih sesuai pasal  127 (UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Namun jika tersangka kalangan artis, pejabat serta aparat negara menggunakan pasal  127 ayat (3) UU Narkotika. Sungguh ironis bukan hukum yang diterapkan negeri ini? Seperti kehilangan ketegasan serta ketidakadilan bagi rakyatnya. Padahal seharusnya semua manusia memiliki hak untuk mendapatkan keadilan.

Dengan berlakunya pasal 127 ayat (3) UU Narkotika membuat jaringan atau siklus penyebaran narkoba bak jamur di musim penghujan. Subur serta di lindungi oleh penegak hukum karena proses hukumanya tidak jelas,  serta hanya direhabilitasi tanpa di jatuhui hukuman yang setimpal atau berat agar pelaku tak mengulangi perbuatan haram tersebut. 

Ditambah lagi pasal yang mejerat mereka tebang pilih, dan dikuasai politik. Wajar bila telah tertancap kuat  dalam benak masyarakat bahwa mencari keadilan di negeri ini bagai mencari jarum di tumpukan jerami.

Inilah hukum buatan manusia dimana selalu akan ada kelemahan dan kecacatan. Sebab manusia memiliki keterbatasan serta kelemahan dalam segala aspek, jika yang membuat hukum adalah manusia jelas hawa nafsu menjadi acuan utama. Untung rugi, baik buruknya menurut kacamata manusia akan dinilai berdasarkan keinginan serta perasaanya.

Beginilah jika paham kapitalis mengakar ke dalam jasad manusia. Keuntungan, kesenangan materi menjadi standar kehidupannya. Bagaimana tidak menarik, hasil yang diperoleh dari jual beli barang haram tersebut sangat menggiurkan, bagi para pembisnis kelas keri hingga kelas kakap.

Bahkan  Menurut Ketua MPR Bambang Soesatyo, Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN dan peringkat ke-3 di dunia setelah Meksiko dan Kolombia dalam hal peredaran narkoba.

Sangat miris bukan negara mayoritas muslim ini menjadi peringkat ke-3 dalam peredaran serta penyalagunaan barang haram tersebut. Tidak sungkan-sungkan sering ditemukan WNA menyelundupkan berton-ton ektasi, sabu-sabu, ganja serta bahan-bahan narkotika lainya. Dengan beragam cara serta intrik untuk mengelabui petugas, dan meskipun tertangkap mereka sudah siap sebab di tempeli amplop para penegak hukum pun akan lebih luwes memperkarakan kasusnya.

Hukum Islam Tegas dan Adil

Dalam kacamata Islam  istilah para ulama, narkoba ini masuk dalam pembahasan mufattirat (pembuat lemah) atau mukhaddirat (pembuat mati rasa).

Pengaruh narkoba secara umum ada tiga, yaitu : pertama, depresan menekan atau memperlambat fungsi sistem saraf pusat sehingga dapat mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Dapat menyebabkan pemakai merasa tenang, memberikan rasa melambung tinggi, memberi rasa bahagia dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan diri

Kedua, stimulan merangsang sistem saraf pusat dan meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan kesadaran.
Obat ini dapat bekerja mengurangi rasa kantuk karena lelah, mengurangi nafsu makan, mempercepat detak jantung, tekanan darah dan pernafasan.

Ketiga, halusinogen dapat mengubah rangsangan indera yang jelas serta merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi.

Para ulama sepakat haramnya mengkonsumsi narkoba ketika bukan dalam keadaan darurat. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 204).

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ في نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهَا خَالِدًا مُخَلَّدًا فيهَا اَبَدًا, وَ مَنْ تَحَسَّى سُمَّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمَّهُ في يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فيهَا أَبَدًا, و مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيْدَةٍ فَحَدِيْدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ في بَطْنِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا

“Barangsiapa yang sengaja menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati, maka dia di neraka Jahannam dalam keadaan menjatuhkan diri di (gunung dalam) neraka itu, kekal selama lamanya. Barangsiapa yang sengaja menenggak racun hingga mati maka racun itu tetap ditangannya dan dia menenggaknya di dalam neraka Jahanam dalam keadaan kekal selama lamanya. Dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu akan ada ditangannya dan dia tusukkan ke perutnya di neraka Jahanam dalam keadaan kekal selama lamanya” (HR Bukhari no. 5778 dan Muslim no. 109).

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasul SAW bersabda:

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

“Tidak boleh memberikan dampak bahaya, tidak boleh memberikan dampak bahaya” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih). 

Dalam hadis ini dengan jelas dilarang memberi mudharat pada orang lain dan narkoba termasuk dalam larangan ini.

Narkoba menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih tentang dharar: “Hukum asal benda yang berbahaya (mudarat) adalah haram.” Oleh karenanya, Islam akan memberantas narkoba karena barang tersebut haram.

Pakar hukum Islam, Yan S. Prasetiadi menyebutkan, setidaknya terdapat empat solusi yang dihadirkan Islam untuk memberantas narkoba hingga tuntas.

Pertama, ketakwaan individu dan masyarakat. Seseorang yang bertakwa akan senantiasa memelihara dirinya dari perbuatan yang haram. 

Kedua, negara dalam Islam akan menjamin pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder per individu.

Ketiga, menghadirkan langkah kuratif. Sistem sanksi (uqubat) Islam akan menjadi pintu terakhir yang efektif untuk menjerakan pelaku.

Kasus kejahatan narkoba termasuk dalam sanksi ta’zir, yakni hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiat yang tidak ada hudud dan kafaratnya. Penentuan ta’zir diserahkan pada khalifah dan qadi yang akan menetapkan ketentuannya berdasarkan ijtihad.

Seperti halnya pengguna narkoba dapat dipenjara 15 tahun atau dikenakan denda. Jika pengguna saja dihukum berat, apalagi pengedar dan produsennya, mereka bisa dihukum mati sesuai keputusan hakim. Hukum sanksi dalam Islam tidaklah pilih kasih dan membedakan status sosialnya.

Keempat, merekrut aparat penegak hukum yang bertakwa. Aparat yang bertakwa ditambah dengan sistem hukum yang sesuai dengan syariat Islam inilah yang menjadikan keadilan bukan lagi barang langka. Keadilan adalah sesuatu yang memang akan selalu didapatkan masyarakat.

Jika empat langkah ini berjalan bersama maka akan mudah memberantas peredaran serta penyalagunaan narkoba jika negara mau menerapkan hukum Islam secara kaffah. 

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Tyas Ummu Rufaidah
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar