Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dalil-dalil Wajibnya Khilafah dalam Ijmak Sahabat


Topswara.com -- Pertama, Ijmak Sahabat: Dalil Paling Jelas

Khilafah wajib, dalil terjelasnya adalah ijmak sahabat

Al-Imam Abu Sulaiman Hamd Bin Muhammad Al-Khaththabi Asy-Syafi'i (W. 388 H)

Dalam kitab syarah beliau atas Sunan Abi Dawud, Ma'âlim al-Sunan, beliau menjelaskan:

ولذلك روءيت الصحابة ﻳﻮﻡ ﻣﺎﺕ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻘﻀﻮا ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺃﻣﺮ ﺩﻓﻨﻪ ﻭﺗﺠﻬﻴﺰﻩ ﺣﺘﻰ ﺃﺣﻜﻤﻮا ﺃﻣﺮ اﻟﺒﻴﻌﺔ ﻭﻧﺼﺒﻮا ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻭﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﻛﺎﻧﻮا ﻳﺴﻤﻮﻧﻪ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻃﻮﻝ ﻋﻤﺮﻩ ﺇﺫ ﻛﺎﻥ اﻟﺬﻱ ﻓﻌﻠﻮﻩ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺻﺎﺩﺭا ﻋﻦ ﺭﺃﻳﻪ ﻭﻣﻀﺎﻓﺎ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺃﺩﻝ اﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ اﻟﺨﻼﻓﺔ ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﻡ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﺄﻣﺮ اﻟﻨﺎﺱ ﻭﻳﻤﻀﻲ ﻓﻴﻬﻢ ﺃﺣﻜﺎﻡ اﻟﻠﻪ ﻭﻳﺮﺩﻋﻬﻢ ﻋﻦ اﻟﺸﺮ ﻭﻳﻤﻨﻌﻬﻢ ﻣﻦ اﻟﺘﻈﺎﻟﻢ ﻭاﻟﺘﻔﺎﺳﺪ.

"... Oleh karenanya tampak para sahabat saat Rasulullah -shallallaahu 'alayhi wa sallam- wafat mereka tidak melakukan apapun terkait pemakaman beliau dan persiapannya, hingga mereka menuntaskan urusan bai'at dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah. Mereka menjuluki beliau 'Khalifatu Rasulillah' (pengganti Rasulullah) sampai beliau wafat. Karena apa yang mereka lakukan itu adalah berasal dari beliau dan dinisbatkan kepada beliau. (ijmak sahabat) Ini adalah dalil yang paling jelas menunjukkan wajibnya khilafah. Bahwasanya umat ini harus memiliki seorang khalifah yang memelihara urusan mereka, menerapkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka, melindungi mereka dari segala bentuk keburukan, dan mencegah mereka dari perilaku saling menganiaya dan saling bermusuhan."

Al-Khaththabi, Abu Sulaiman 'Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Khaththab al-Busti. 1932. Ma'âlim al-Sunan (Syarh Sunan Abi Dawud). (Aleppo: al-Mathba'ah al-'Ilmiyyah). vol. 3 hlm. 5-6

Fawaid:
Pertama, ijmak sahabat merupakan dalil paling jelas menunjukkan wajibnya khilafah.

Kedua, kewajiban mengangkat khalifah tergolong sangat penting dan mendesak hingga para sahabat memprioritaskannya daripada kewajiban mempersiapkan pemakaman jenazah makhluk Allah termulia, Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-

Kedua, Ijmak Sahabat: Dalil Qath'i (Mencapai Derajat Mutawatir) #1

Ahlussunnah: khilafah wajib dalilnya qath'i

Al-Imam Asy-Syahrastani Al-Asy'ari Asy-Syafi'i (w. 548 H) dalam kitabnya ( Nihâyah al-Iqdâm fî 'Ilm al-Kalâm ) menuturkan:

القول في الإمامة اعلم أن الإمامة ليست من أصول الاعتقاد بحيث يفضي النظر فيها إلى قطع ويقين بالتعين ولكن الخطر على من يخطي فيها يزيد على الخطر على من يجهل أصلها والتعسف الصادر عن الأهواء المضلة مانع من الإنصاف فيها.

"Diskursus tentang imamah/khilafah. Ketahuilah bahwa imamah/khilafah bukan merupakan bagian dari pokok akidah (rukun iman) yang mengharuskan setiap individu untuk mengkajinya hingga mencapai keyakinan pasti. Akan tetapi bahaya bagi orang yang keliru tentangnya itu bisa lebih besar daripada bahaya orang yang tidak mengerti dasarnya, dan sikap ngawur memperturutkan hawa nafsu yang menyesatkan itu akan menghalangi sikap adil tentangnya.

وقد قال جمهور أصحاب الحديث من الأشعرية والفقهاء وجماعة الشيعة والمعتزلة وأكثر الخوارج بوجوبها فرضا من الله تعالى ثم جماعة أهل السنة قالوا هو فرض واجب على المسلمين إقامته واتباع المنصور فرض واجب عليهم إذ لا بد لكافتهم من إمام ينفذ أحكامهم ويقيم حدودهم ويحفظ بيضتهم ويحرس حوزتهم ويعبي جيوشهم ويقسم غنائمهم وصدقاتهم ويتحاكموا إليه في خصوماتهم ومناكحاتهم ويراعي فيه أمور الجمع والأعياد وينصف المظلوم وينتصف من الظالم وينصب القضاة والولاة في كل ناحية ويبعث القراءة والدعاة إلى كل طرف.

Mayoritas ulama hadits dari kalangan asy'ariyah, para ahli fikih, kelompok syiah dan muktazilah, serta mayoritas khawarij berpendapat akan keharusan adanya imamah/khilafah sebagai kewajiban dari Allah -ta'ala-. Kemudian kelompok Ahlussunnah berpendapat: dia adalah kewajiban atas umat Islam yang harus ditegakkan. Demikian pula wajib atas umat Islam untuk menaati Al Manshur (imam/khalifah terpilih). Karena menjadi suatu keharusan bagi mereka semua untuk merealisasikan seorang imam/khalifah yang menerapkan hukum-hukum mereka (syariat Islam), menegakkan hudud mereka (sistem sanksi Islam), menjaga keutuhan wilayah mereka, menjaga harta benda mereka, menyiapkan pasukan mereka, membagikan harta ranpasan perang serta harta zakat mereka, memutuskan perkara mereka dalam persengketaan dan pernikahan, memperhatikan urusan ibadah jum'at dan hari raya, memberikan keadilan kepada pihak tertindas dan memberi sanksi atas pihak penindas, mengangkat para kadi (hakim syar'i) dan para wali (semacam gubernur) di setiap distrik, serta mengirimkan para ulama dan da'i ke setiap pelosok."¹

Berikutnya juga menyebutkan:

فذلك الإجماع على هذا الوجه دليل قاطع على وجوب الإمامة العالم كلامنا في وجوب الإمامة على الإطلاق.

"Dan ijmak sahabat tersebut berdasarkan alasan ini merupakan dalil yang bersifat pasti (qath'i) atas kewajiban imamah/khilafah dunia. Demikianlah pendapat kami tentang wajibnya imamah/khilafah secara mutlak."²

Juga mengatakan:

أجاب أهل السنة عن مقالة النجدات في نفي وجوب الإمامة أصلا عقلا وشرعا أن الواجبات عندنا بالشرع ومدرك هذا الواجب إجماع الأمة والاختلاف الذي ذكرتموه في تعيين الإمام من أذل الدليل على أن أصل الإمامة واجب إذ لو لم يكن واجبا لما شرعوا في التعيين ولما اشتغلوا به كل الاشتغال.

"Tanggapan ahlus sunnah wal jama'ah terhadap pendapat an-Najdat yang menafikan sama sekali kewajiban imamah/khilafah baik secara syar'i maupun akal, bahwa seluruh kewajiban itu menurut kami (ahlus sunnah wal jama'ah) adalah berdasarkan syara' (bukan akal, -penj.), dan diketahuinya itu wajib adalah dari ijmak (konsensus) umat. Sedangkan perbedaan para sahabat dalam menentukan pilihan (siapa khalifahnya, -penj.) yang kalian sebutkan itu, justru termasuk dalil terkuat bahwa pada dasarnya khilafah itu wajib. Karena jika tidak, niscaya mereka tidak perlu melangsungkan pemilihan, dan tidak pula menyibukkan diri sedemikian rupa untuk itu."³

_______

¹Asy-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim. 1425H. _Nihâyah al-Iqdâm fî 'Ilm al-Kalâm._ (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah) hlm. 474-475

²Ibid. hlm 477

³Ibid. hlm 484
_______

Fawaid:
Pertama, khilafah bukan permasalahan akidah, namun penting untuk diketahui demi terhindar dari sikap berlebihan menjadikannya sebagai rukun iman sebagaimana kaum Syi'ah dan dari sikap menyepelekan dengan menganggapnya tidak wajib atau bahkan tidak disyariatkan.

Kedua, menurut ahlussunnah khilafah hukumnya wajib, dan merupakan kewajiban atas umat Islam bukan kewajiban atas Allah sebagaimana klaim kelompk Syi'ah.

Ketiga, tugas khilafah adalah terselenggaranya tatanan pemerintahan berdasarkan akidah dan syariat Islam.

Keempat, kewajiban khilafah bersifat syar'i karena berdasarkan dalil syar'i, yaitu ijmak sahabat. Bukan berdasarkan akal semata.

Kelima, perbedaan sahabat dalam menentukan siapa sosok khalifahnya justru memperkuat dalil wajibnya khilafah, sebab mereka lebih memprioritaskannya daripada kewajiban memakamkan jenazah Nabi, dan kewajiban itulah yang mengharuskan mereka untuk melakukan suksesi pemilihan imam/khalifah.

Ketiga, Ijmak Sahabat: Dalil Qath'i (Mencapai Derajat Mutawatir) #2

Ahlussunnah: khilafah wajib dan dalilnya qath'i. Mengingkarinya berdosa serius apalagi menghalang-halangi

Al-Imam Abu Al-Hasan Saifuddin Al-Amidi Asy-Syafi'i (w. 631 H)

Dalam kitabnya Ghâyah al-Marâm fî 'Ilm al-Kalâm, menjelaskan:

اﻟﻄﺮﻑ اﻷﻭﻝ: ﻓﻰ ﻭﺟﻮﺏ اﻹﻣﺎمة ﻭﻣﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻬﺎ.
ﻣﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ ﻣﻦ اﻹﺳﻼﻣﻴﻴﻦ ﺃﻥ ﺇﻗﺎﻣﺔ اﻹﻣﺎﻡ ﻭاﺗﺒﺎﻋﻪ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺷﺮﻋﺎ ﻻ ﻋﻘﻼ ، ﻭﺫﻫﺐ ﺃﻛﺜﺮ ﻃﻮاﺋﻒ اﻟﺸﻴﻌﺔ ﺇﻟﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺫﻟﻚ ﻋﻘﻼ ﻻ ﺷﺮﻋﺎ ، ﻭﺫﻫﺐ ﺑﻌﺾ اﻟﻘﺪﺭﻳﺔ ﻭاﻟﺨﻮاﺭﺝ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻟﻴﺲ ﻭاﺟﺒﺎ ﻻ ﻋﻘﻼ ﻭﻻ ﺷﺮﻋﺎ.

"Bagian pertama: tentang kewajiban imamah/khilafah dan hal-hal terkait. Pendapat ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama'ah) dari kalangan umat Islam adalah bahwa mewujudkan seorang imam/khalifah dan menaatinya bagi kaum Muslim merupakan kewajiban syar'i, bukan kewajiban 'aqli. Sedangkan sebagian besar sekte syi'ah berpendapat bahwa ia wajib 'aqli, bukan wajib syar'i. Dan sedangkan sebagian qadariyah dan khawarij berpendapat bahwa ia tidak wajib sama sekali, baik secara 'aqli maupun syar'i."¹

Masih di kitab yang sama, beliau menegaskan:

ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ اﻟﺪﻟﻴﻞ الحق اﻟﻘﺎﻃﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻗﻴﺎﻡ اﻹﻣﺎﻡ واتباعه ﺷﺮﻋﺎ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺗﺮ ﻣﻦ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻰ اﻟﺼﺪﺭ اﻷﻭﻝ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻣﺘﻨﺎﻉ ﺧﻠﻮ اﻟﻮﻗﺖ ﻋﻦ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﺇﻣﺎﻡ ، ﺣﺘﻰ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﻰ ﺧﻄﺒﺘﻪ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭﺓ ﺑﻌﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﺃﻻ ﺇﻥ ﻣﺤﻤﺪا ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻭﻻ ﺑﺪ ﻟﻬﺬا اﻟﺪﻳﻦ ﻣﻤﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ . ﻓﺒﺎﺩﺭ اﻟﻜﻞ ﺇﻟﻰ ﺗﺼﺪﻳﻘﻪ ﻭاﻹﺫﻏﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﻗﺒﻮﻝ ﻗﻮﻟﻪ ، ﻭﻟﻢ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻓﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ، ﻭﻻ ﺗﻘﺎﺻﺮ ﻋﻨﻪ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﺎﺏ اﻟﺪﻳﻦ ، ﺑﻞ ﻛﺎﻧﻮا ﻣﻄﺒﻘﻴﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﻓﺎﻕ ، ﻭﻣﺼﺮﻳﻦ ﻋﻠﻰ ﻗﺘﺎﻝ اﻟﺨﻮاﺭﺝ ﻭﺃﻫﻞ اﻟﺰﻳﻊ ﻭاﻟﺸﻘﺎﻕ ، ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻘﻞ ﻋﻦ ﺃﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﺫﻟﻚ ﻭﺇﻥ اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻓﻰ اﻟﺘﻌﻴﻴﻦ.

"Ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama'ah) berpendapat: dalil yang haq serta kebenarannya pasti (qath'i) tentang wajib syar'i nya mewujudkan serta menaati seorang imam/khalifah adalah riwayat mutawatir tentang terjadinya ijmak (konsensus) kaum muslim di periode awal pasca wafatnya Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- untuk tidak membiarkan terjadi masa kekosongan dari seorang imam/khalifah. Sampai-sampai Abu Bakar dalam khutbahnya yang terkenal sepeninggal Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- berkata: 'Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad telah wafat, maka harus ada seseorang yang menggantikan posisi beliau'. Seluruh sahabatpun serentak membenarkan serta patuh menerima perkataan beliau. Tidak ada seorang pun di antara kaum Muslim yang menyelisihi hal itu. Juga tidak ada seorang pun dari kalangan ulama yang melalaikannya. Bahkan mereka sepakat membenarkannya. Terus dalam memerangi kaum khawarij, kalangan menyimpang dan pemecah belah (persatuan umat Islam). Tidak ada seorang pun dari mereka yang diriwayatkan mengingkari hal itu. Sekalipun mereka berbeda dalam menentukan (siapa sosok imam/khalifahnya)."²

________

¹Al-Amidi, Abu al-Hasan Saifuddin Ali bin Abu Ali ats-Tsa'labi. 2004. Ghâyah al-Marâm fî 'Ilm al-Kalâm. (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah) hlm. 309, 311

²Ibid. hlm 311

________

Fawaid:
Pertama, khilafah hukumnya wajib syar'i bukan wajib 'aqli. Artinya wajib berdasarkan dalil syara' bukan wajib/harus berdasarkan akal yang biasanya merujuk pada kebiasaan dan tradisi semata.

Kedua, tidak ada di antara ahlus sunnah wal jama'ah yang menolak kewajiban imamah/khilafah, bahkan walaupun sekedar menganggapnya sebagai wajib 'aqli.

Ketiga, menurut Ahlus sunnah wal jama'ah kewajiban khilafah dalilnya bersifat qath'i (pasti benarnya), secara tsubut maupun dilalah. Yakni ijmak sahabat yang diriwayatkan secara mutawatir atas wajibnya mengangkat seorang khalifah pasca wafatnya Rasulullahshallallahualaihiwasallam.

Keempat, menyalahi perkara wajib syar'i akan mengakibatkan dosa. Terlebih jika dalilnya qath'i, maka konsekuensi sangat serius. 

Kelima, perbedaan dalam menentukan siapa sosok khalifah tidak otomatis menegasikan syariat keharusan adanya seorang khalifah.

Keempat, Menyelisihi Ijmak yang Bersifat Qath'i akan Menyebabkan Kekafiran

Mati tanpa khilafah = mati jahiliyyah, yaitu mati dengan membawa dosa besar bahkan dikhawatirkan mati dalam keadaan tidak ber-Islam -wal 'iyâdzu billâh-

Al Imam Al Faqih Al Muhaddits Abu Al 'Abbas Dhiya`uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al Qurthubi Al Maliki (w. 656 H), dalam kitabnya Al-Mufhim li-Mâ Asykala min Talkhîsh Kitâb Muslim (syarah Shahih Muslim), persisnya saat mensyarah hadis terkait sikap Khalifah Umar melihat tindakan Nabi dan Abu Bakar dalam perkara istikhlaf, beliau mengatakan:

وقد حصل من هذا الحديث أن نصب الإمام لابد منه

"Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa mengangkat seorang imam/khalifah adalah sebuah keharusan."¹ 

Dan di bagian lain, beliau menjelaskan:

قوله (من خرج عن الطاعة ، وفارق الجماعة فميتته جاهلية) يعني بالطاعة : طاعة ولاة الأمر وبالجماعة : جماعة المسلمين على إمام او أمر مجتمع عليه . وفيه دليل على وجوب نصب الإمام وتحريم مخالفة إجماع المسلمين وأنه واجب الإتباع )

"Sabda Nabi { Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama'ah, maka matinya mati jahiliyyah } yang beliau maksud dengan ketaatan di situ adalah ketaatan terhadap para penguasa (wulâtul amri), dan yang dimaksud jama'ah adalah masyarakat kaum muslim yang berada di bawah kepemimpinan seorang imam/khalifah, atau bisa juga perkara yang disepakati bersama. Hadis tersebut merupakan dalil akan wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah, dan haramnya menyelisihi kesepakatan (ijmak) umat Islam, bahwa ijmak itu wajib untuk diikuti."

ويستدل بظاهره من كَفَّر بخرق الإجماع مطلقا. والحق التفصيل، فإن كان الإجماع مقطوعًا به فمخالفته وإنكاره كفر، وإن كان مظنونًا فإنكاره ومخالفته معصية وفسوق

"zhahir hadis tersebut juga dijadikan dalil oleh mereka yang menghukumi kafir siapa saja yang menyelisihi ijmak secara mutlak. Yang benar adalah dengan merincinya, yaitu jika ijmaknya bersifat qath'i (kebenarannya pasti) maka menyelisihi dan mengingkarinya menyebabkan kekufuran, sedangkan jika ijmaknya bersifat zhanni (asumtif) maka mengingkari dan menyelisihinya terhitung maksiat dan kefasikan."

ويعني بميتة الجاهلية انهم كانوا فيها لا يبايعون إماماً ولا يدخلون تحت طاعته , فمن كان من المسلمين لم يدخل تحت طاعة إمام فقد شابههم في ذلك , فإن مات على تلك الحالة مات على مثل حالهم مرتكباً كبيرة من الكبائر , ويخاف عليه بسببها الا يموت على الإسلام.

"Kemudian maksud dari kematian jahiliyyah adalah bahwa masyarakat di masa jahiliyyah tidak membai'at seorang imam/khalifah dan tidak pula masuk dalam ketaatan padanya, maka barangsiapa di antara kaum Muslim tidak berada di bawah ketaatan terhadap seorang imam/khalifah maka sungguh dia telah menyerupai mereka, jika dia mati dalam keadaan tersebut maka dia mati sebagaimana keadaan mereka dengan memikul sebuah dosa besar. Bahkan dikhawatirkan karena hal itu dia mati dalam keadaan tidak ber-Islam."²

_________

¹Abu Al 'Abbas Dhiya`uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al Qurthubi. Al-Mufhim li-Mâ Asykala min Talkhîsh Kitâb Muslim. (Damaskus: Dar Ibn Katsir) juz 4 hlm 15

²Ibid. juz 4 hlm 59

÷÷÷÷÷÷÷

Faidah:
Pertama, selain berdasarkan Al-Qur'an dan Ijmak Sahabat kewajiban khilafah menurut penjelasan ulama juga berdasarkan hadits. Jadi salah besar jika menganggap khilafah tidak ada dalilnya.

Kedua, menyelisihi ijmak yang bersifat qath'i dapat menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Dalam hal ini ijmak sahabat akan wajibnya khilafah adalah ijmak yang qath'i, maka menyelisihi dan mengingkarinya berkonsekuensi sangat serius.

Ketiga, mati dalam kondisi di luar daripada ketaatan terhadap seorang khalifah terbilang mati jahiliyyah, yang itu artinya mati dengan membawa dosa besar atau bahkan dikhawatirkan mati dalam keadaan tidak ber-Islam menurut zhahir haditsnya. -WAL 'IYÂDZU BILLÂH-

Ditulis kembali oleh: Achmad Mu’it 

Disadur dari: Postingan grup FB JEJAK KHILAFAH DI KITAB ULAMA oleh Azizi Fathoni 12 Maret 2021
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar