Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kutemukan Jawabannya Setelah 15 Tahun Kucari (KH Ali Bayanullah, Al-Hafidz, Pimpinan Majelis Taklim wal Tahfidzil Quran Darul Bayan, Sumedang, Jawa Barat)


Topswara.com -- "Khilafah itu pernah ada, tapi kapan runtuhnya?” “Semua imam mahzab menyatakan mendirikan khilafah itu fardhu kifayah, tapi mengapa Arab kerajaan, Indonesia republik, dan negeri Muslim lainnya pun tidak ada yang menerapkan khilafah?” 

Dua pertanyaan itu muncul di benak, tatkala membaca bab imamah atau bab khilafah ketika aku diamanahi memegang kunci perpustakaan Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, saat nyantri di ponpes pimpinan KH Maimun Zubair itu.

Saat itu, aku benar-benar haus ilmu. Maka kulahap kitab-kitab yang ada, bahkan kitab-kitab yang besar pun kubaca. Kemudian aku berpikir, mengapa bab khilafah adanya di kitab-kitab besar, kalau di kitab-kitab kecil jarang sekali? Adanya di kitab Fathul Wahab karya Syeikh Zakaria Al-Anshori. Dan itu memang dijelaskan ada.

Di kitab Bisarwani juga ada. Begitu juga dalam kitab Hayatul Hayawan tapi di situ tidak sampai Bani Utsmaniyah, ke Bani Fatimiyah juga tidak 
sampai, cuma sampai Bani Abasiyah. Dalam 
kitab bisyarahnya Fathul Wahab seperti Fujairrumi Wahab juga dijelaskan masalah imamah, tetapi sayangnya tidak dijelaskan 
secara rinci bagaimana cara pengangkatan seorang khalifah dan lain sebagainya. 

Itu yang membuatku penasaran, ingin mengetahui. Dari buka-buka kitab itu ditambah pengetahuanku ketika di sekolah belajar sejarah Islam itu. Di situ khilafah dibahas mulai dari Khulafaur Rasyidin. Kemudian Bani Umayah dan  Bani Abasiyah. 

Aku ingin mengetahui sejarahnya khilafah dan bagaimana hancurnya. Dan bagaimana hubungannya ketika dulu, pada masa Nabi Muhammad SAW, kemudian diganti masa 
Khulafaurrasyidin, Kemudian bani Umayah dan Bani Abasiyah. 

Lantas ke mana ini khalifah? Sekarang kok tidak ada di dunia Islam? Itulah yang menjadikan aku terus penasaran. Karena apa? Karena khilafah itu yang aku baca di kitab-kitab ketika di pesantren itu, ternyata wajib. Fardhu kifayah ini, semua imam mazhab menyatakan wajib tetapi mengapa sekarang tidak ada? Itulah yang membuatku penasaran.

Namun sayang, tidak ada satu pun kiai dan ustadz yang kutemui dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasaranku. 

Menemukan Jawaban

Tahun 1993, aku kembali ke kampung halaman, menikah dan mengamalkan ilmu yang kudapat saat nyantri. Rasa penasaranku tidak hilang, namun aku pun bingung harus bertanya pada siapa? Terpaksa kupendam sendiri. 

Suatu hari pada tahun 2002, ketika melintas Jalan Pamager Sari, Sumedang aku benar-benar dikagetkan dengan adanya spanduk yang bertuliskan “syariah” dan “khilafah” membentang di atas jalan. 

Nah, penasaranku membuncah kembali. Tapi aku bingung, siapa yang memasang spanduk ini? Satu-satunya indikasi, adalah nama sebuah kelompok Islam di spanduk tersebut. Kelompok apa ini? Aku pun penasaran. Namun sayang, setiap orang yang kutemui dan kutanya, tidak ada yang mengenalnya.

Aneh, ada spanduk tetapi tidak ada orangnya. Padahal aku sangat berharap dari kelompok Islam itulah pertanyaanku dapat terjawab. Sejak saat itu, pertanyaan yang menghantui benakku bertambah satu lagi, apa itu kelompok Islam yang namanya ada di spanduk tadi? Tapi  lagi-lagi harus kupendam sendiri karena orang-orang di sekelilingku tidak ada yang dapat memberikan petunjuk.

Sampailah pada suatu saat di tahun 2005, seorang pemuda bernama Acep Muhyiddin bertandang ke rumahku. Ia menyatakan ingin bersilaturahmi. Namun betapa kagetnya aku ketika dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah aktivis dari kelompok Islam kafah yang namanya tertera di spanduk beberapa waktu lalu.  Alhamdulillah, betapa senangnya aku. 

Aku pun bertanya tentang kelompok tersebut dan khilafah. Subhanallah, meski lelaki itu berperawakan kecil tetapi ilmunya sangat besar. Aku pun langsung kagum dengan jawabannya yang begitu gamblang terkait dua pertanyaan besarku itu.

Begitu rinci ia menjelaskan bahwa khilafah itu berdiri selama 13 abad, terhitung sejak Daulah Islam berdiri di Madinah ketika Rasulullah SAW hijrah, kemudian diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, Bani Umawiyah, Bani Abbasiyah, dan berakhir pada 1924 saat ibu kotanya berada di Turki pada masa Bani Utsmaniyah. 

Keruntuhan itu terjadi bukan saja lantaran kemunduran kaum Muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang mulia tetapi juga lantaran adanya konspirasi keji bangsa kafir penjajah Inggris dan para pengkhianat termasuk Mustafa Kamal Attaturk laknatullah. Sedangkan, kelompok Islam kafah yang ia ikuti adalah kelompok di antara kaum Muslim yang berjuang untuk mengembalikan tegaknya khilafah itu. 

Di kesempatan berikutnya, ia datang kembali membawa kitab yang menjelaskan konspirasi meruntuhkan khilafah yakni kitab Kayfa Khudimatul Khilafah karya Syeikh Abdul Qadim Zallum.

Subhanallah, dari penjelasan sang aktivis dan kitab itu terjawab sudah teka-teki yang ada di dalam benakku selama 15 tahun ini. Kemudian aku pun mendapatkan berbagai kitab lainnya yang diterbitkan kelompok Islam kafah itu. Dari situ, aku yakin tidak ada alasan untuk menolak ajakan berjuang menegakkan syariah dan khilafah. 

Berdakwah

Sejak itu, kusampaikan kepada yang lain yang datang ke Darul Bayan (majlis taklim dan tahfidz Alquran asuhannya—red) bahwa aku punya kitab-kitab dari kelompok  Islam kafah, bila isinya bertentangan dengan kitab-kitab pesantren maka aku orang pertama yang akan menentangnya. Tapi kalau memang cocok dengan kitab yang aku jadikan patokan, ayo sama-sama kita dukung perjuangan mereka. 

Tapi sayang, tidak semua kiai, ustadz dan ajengan yang kuajak menyambut ajakanku. Hanya sebagian saja di antara mereka yang mendukung. Kujelaskan pada mereka, bukankah kitab-kitab tersebut cocok dengan kitab-kitab yang selama ini kita pelajari di pesantren seperti Fathul Wahab, Fujurrami, Fujurrami Itsna, Sarwani, Muradhatut Thalibin? 

Itukan kitab-kitab yang tidak asing karena dikaji di pesantren. Itu yang kuambil sebagai patokan. Ternyata semuanya malah sama. “Jadi mengapa kita harus menolak ajakan menegakkan khilafah?” ujarku pada mereka. 

Yang menolakku itu setidaknya ada tiga tipe. Pertama, yang tidak percaya diri. Sebenarnya mereka senang dengan ajakanku. “Sebenarnya memang harusnya begitu. Ini memang harusnya dirubah, hukum di kita ini harus dirubah dengan Islam, ya tapi mangga wae (silakan saja), saya belum mampu,” ujar mereka. 

Kedua, mereka itu menjalankan agama bukan mengikuti manhaj agama, tapi yang diikuti itu adalah figur. Padahal aku sudah banyak memberikan dalil tentang bagaimana wajibnya 
khilafah kepada ustadz-ustadz, ajengan-ajengan itu. Mereka jawab, “ya ini dalil tidak salah, cuma pemahaman Anda yang salah”. Tapi ketika kutanya pemahaman yang benar terhadap dalil tersebut itu seperti apa mereka tidak bisa jawab. 

Bahkan ada yang berkata, “Ya pokoknya kita sudah punya gurulah.” Tetapi ketika ditanya penjelasan gurunya seperti apa? dia diam saja. Mungkin mereka anggap perjuangan khilafah ini perjuangan yang nyeleneh yang tidak pernah diperjuangkan oleh guru-guru mereka. Ini yang 
kutangkap dari pemahaman mereka.

Yang ketiga, kuatir kehilangan jamaah. 
Kukatakan kembali kepada mereka jadi salah besar kalau sistem khilafah itu ide sebuah kelompok Islam. Ini bukan ide kelompok, tapi itu syariah Islam yang telah hilang kemudian dimunculkan kembali oleh kelompok tadi Jadi mestinya perjuangan khilafah itu, harus diawali dari pesantren. Karena kitab-kitabnya itu banyak di pesantren itu. Nah itu yang menjadi keheranku, kenapa tidak muncul dari pesantren? 

Mereka yang menolak ajakanku itu malah tidak datang lagi, aku pun tidak diundang lagi untuk acara-acara di pesantren mereka. Namun, aku tidak berputus asa. Aku tetap mengajak mereka dan umat untuk turut berjuang bersama kelompok Islam kafah yang konsisten dalam perjuangan menegakkan khilafah. Allahu Akbar![]

Oleh: Joko Prasetyo
(Jurnalis)


Biodata Singkat Al-Hafidz Pejuang Khilafah

Nama          : KH Ali Bayanullah, Al Hafidz

Lahir            : Sumedang, (tanggal dan bulan berapa?) 1967

Pendidikan : 
•1975-1978 Madrasah Ibtidaiyyah, Sumedang, Jawa Barat 

•1978-1981 Madrasah Tsanawiyah, Sumedang, Jawa Barat 

•1981-1987 Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, 
Cirebon, Jawa Barat
 
•1987-1991 Pondok Pesantren Al Anwar (KH Maimun 
Zubair), Sarang, Rembang, Jawa Tengah

•1991-1993 Ponpes Tahfidz Alquran Darul Furqan (KH Abdul Qadir Umar Basyir), Janggalan, Kudus, Jawa Tengah 

Jabatan : 
1993-sekarang Pimpinan Majelis Taklim wal Tahfidzil Quran Darul Bayan, Citeureup, Sumedang, Jawa Barat.


Sumber: Penebar Hidayah di Lereng Semeru (10 Kisah Menggugah Para Pejuang Khilafah), Joko Prasetyo, Tim Follback Dakwah, 2019
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar