Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Prostitusi Anak Kembali Marak, Siapa yang Bertanggung Jawab?


Topswara.com -- Beberapa hari lalu, sempat geger peristiwa penggerebekan di sebuah hotel milik seorang artis yang ternyata digunakan sebagai tempat prostitusi online anak di bawah umur. Saat penggerebekan hotel, polisi mengamankan 15 anak di bawah umur. Belasan anak di bawah umur ini diketahui direkrut oleh sang muncikari dengan berbagai modus. Dari diajak berpacaran hingga diiming-imingi pekerjaan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebut anak-anak di bawah umur terjerat kasus prostitusi karena terdorong motif ekonomi. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar mengatakan bahwa mayoritas terdorong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian orang tuanya ada yang tahu, sebagian lagi tidak karena dianggapnya itu pergaulan biasa (cnnindonesia.com, 20/03/21).

Ngeri! Mungkin itu kata pertama yang terucap ketika membaca berita yang viral beberapa hari terakhir. Terbongkarnya kasus prostitusi anak sebenarnya bukan kasus pertama kali terjadi. 

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI, Ai Maryati Solihah mengatakan, kasus prostitusi anak tengah marak di beberapa wilayah di Indonesia saat ini. Hasil pengawasan secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 tak menyurutkan maraknya kasus jual-beli dan eksploitasi anak. Hasil tabulasi data pengawasan KPAI mencatat terdapat 149 kasus sampai dengan 31 Desember 2020 (metro.tempo.co, 04/02/21)

Prostitusi Anak bukan Permasalahan Individual

Maraknya kasus prostitusi anak tentu bukan muncul secara tiba-tiba tanpa sebab. Namun, permasalahan ini menjadi fenomena “gunung es” dari berbagai permasalahan generasi yang terjadi di negeri ini. Siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah pengawasan orang tua atau kesalahan pola asuh menjadi faktor utama yang menyebabkan semua ini terjadi?

Jika kita menelisik lebih dalam, permasalahan pola asuh hanya menjadi salah satu pemicu dari sekian pemicu lain yang mayoritas didorong oleh motif ekonomi. Oleh karena itu, ketika melihat permalahan ini, kita tidak bisa sekadar melihat dari kasus per kasus untuk bisa menemukan akar permasalahannya. Justru kita harus mampu melihat bahwa permasalahan ini adalah problem sistemik yang hadir dari penerapan sistem kapitalisme sekuler di negeri ini.

Kerusakan generasi, masalah kesenjangan dan himpitan ekonomi adalah permasalahan hilir yang muncul dari penerapan asas sekularisme yang mencengkeram negeri ini. Gaya hidup mentropolitan, permisif, hedonis mendorong setiap orang untuk berlomba-lomba bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Standar kebahagiaan yang berlandaskan pada keuntungan materi telah mendorong pelaku prostitusi pun anak-anak di bawah umur yang terjerat pada bisnis haram ini seolah lupa diri bahkan kehilangan nurani. Tak ada lagi rasa malu atau takut ketika melakukan aktivitas “kotor” ini. Tuntutan gaya hidup liberal mendorong generasi muda untuk berkompetisi demi meraih popularitas. Demi memakai barang branded kehormatan pun digadaiankan. Miris! Tentu kita tak rela semua ini terus terjadi.

Kenapa anak-anak menjadi sasaran empuk bisnis prostitusi? Karena anak-anak adalah sosok yang dianggap lebih mudah untuk diberi pengaruh dan diarahkan. Dengan iming-iming bayaran kecil pun, tanpa berpikir panjang banyak anak yang terjerat dalam kasus prostitusi. Ditambah lagi generasi saat ini dihasilkan oleh sistem pendidikan sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Wajar jika akhirnya prostitusi pun marak terjadi di kalangan pelajar yang seharusnya adalah kaum terpelajar.

Oleh karena itu, kejadian seperti ini harusnya semakin membuka mata kita bahwa kasus pendidikan generasi bukan hanya ditentukan oleh level individu keluarga semata. Namun, ada tugas penting dari masyarakat untuk melakukan amar makruf nahi mungkar atau sebagai kontrol sosial untuk mencegah kemaksiatan yang terjadi di tengah masyarakat.

Mirisnya dalam sistem demokrasi saat ini, masyarakat pun dibentuk untuk menjadi apatis dan individualis. Masyarakat tak lagi peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Slogan “asal tidak mengganggu dan merugikan kebebasan orang lain” seolah menjadi justifikasi untuk melegalkan kemaksiatan. 

Hal ini menunjukkan bahwa negara memiliki peran penting untuk memutus mata rantai prostitusi anak ini. Negara memiliki wewenang untuk menetapkan berbagai aturan preventif maupun kuratif agar kasus prostitusi online ini bisa diselesaikan hingga ke akarnya. Tentu semua itu tidak bisa terjadi jika negara masih mengadopsi sistem demokrasi buatan manusia yang penuh dengan kecacatan. Namun, semua itu hanya bisa terwujud dalam bingkai sistem aturan yang lahir dari Sang Pencipta, yaitu Allah SWT, melalui penerapan syariah Islam secara kafah.

Sistem Islam Solusi Tuntas Atasi Prostitusi Anak

Permasalahan prostitusi anak seolah menjadi fenomena gunung es. Artinya, apa yang ramai diberitakan hanya menjadi sebagian kecil kasus yang terungkap, sedangkan kasus lainnya yang tidak terungkap, tidak dilaporkan, pun yang tidak diproses secara tuntas masih banyak lagi. Tentu kita semua tidak ingin menjadikan permasalahan ini menjadi lingkaran setan yang mengancam generasi penerus peradaban.

Oleh karena itu, kita harus mencari solusi tuntas yang tidak lain berasal dari ideologi Islam. Kekhilafahan Islam menjadi salah satu role model bagaimana penerapan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara telah menciptakan keamanan dan keadilan. Bukan hanya bagi warga muslim saja, tetapi juga bagi warganegara non-muslim, tanpa memandang suku, status, pun gender. Semuanya berhak mendapatkan perlindungan dari negara.

Pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan dengan pelayanan terbaik telah menciptakan atmosfer kehidupan masyarakat yang jauh dari kesenjangan dan ketidakadilan sehingga kehidupan masyarakat diliputi landasan ketakwaan kepada Allah SWT.

Kisah Khalifah Al-Mu’tashim Billah menjadi salah satu kisah heroik bagaimana sistem Islam melindungi seorang perempuan. Pada tahun 837, al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki).

Pengaturan Islam secara kafah menunjukkan bagaimana ideologi Islam yang bersumber dari akidah Islam akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) Islam. Islam sendiri memandang wanita sebagai sosok yang harus dilindungi dan dimuliakan. Tidak seperti sistem kapitalisme yang menjadikan perempuan layaknya komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Penerapan hukum syara dalam khilafah Islam memungkinkan diterapkannya sistem sanksi yang berfungsi sebagai jawazir (pencegah) dan juga jawabir (penebus) sehingga mata rantai tindakan kriminalitas, termasuk prostitusi bisa diselesaikan hingga ke akar-akarnya. Bahkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Kehidupan pria dan wanita yang terpisah, pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum dan kehidupan khusus. Adanya larangan untuk melakukan khalwat, ikhtilat hingga tabaruj menjadi salah satu penjaga agar masyarakat tidak melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan Islam secara kafah maka iffah (kesucian) dan izzah (kehormatan) muslimah bisa terjaga []

Oleh: Annisa Fauziah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar