Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kontroversi Kebijakan Limbah Batubara



Topswara.com -- Ingat  “Sexy Killers” sebuah film dokumenter tentang penambangan batubara? Meski sebagian pihak mengatakan film ini adalah kampanye hitam, tetapi fakta menunjukkan pencemaran, kerusakan lingkungan serta kesehatan terjadi pada masyarakat sekitar tambang batubara di wilayah Bengkulu, pegunungan Meratus Kalimantan Selatan dan beberapa tempat lainnya.

Pemanfaatannya sebagai bahan bakar industri pun menghasilkan limbah abu (FABA) yang membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat di sekitarnya. Padahal saat itu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 masih menggolongkan FABA sebagai limbah B3. 

Oleh karena itu, banyak pihak melontarkan kritik atas kebijakan Presiden Joko Widodo ketika mengeluarkan limbah abu terbang dan abu dasar hasil pembakaran batu bara, yang disebut FABA (fly ash and bottom ash) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).  Kebijakan ini, terlampir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan awal Februari 2021 dalam Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. 

Penolakan di antaranya oleh Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah. Ia menyatakan, FABA berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal dan logam berat lainnya (BBCnews, 11/3/2021). Johansyah pun menyebutkan bahwa partikel FABA mudah terbang mencemari udara, sehingga mudah masuk ke pemukiman warga di dekat PLTU.  Kasus di Desa Santan Ilir, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, jika musim panas, warga keluhkan berbagai penyakit, batuk, sesak nafas, sakit kepala (Tirto.id, 15/3/2021).

Penolakan ini dikuatkan pendapat guru besar pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi dari Universitas Indonesia, Faisal Yunus. Ia menjelaskan abu batu bara dapat menciptakan penyakit pernafasan yang disebut pneumokoniosis pekerja tambang (coal worker pneumoconiosis).  Sebab, terjadi endapan elemen dari abu batu bara yang bersifat anorganik (tidak hidup) dalam paru-paru (BBCIndonesia, 11/3/2021).

Namun, mengapa terjadi perubahan kebijakan? Padahal limbah FABA ini disebut berbahaya?

Kebijakan Beraroma Kapitalisme

Konsekuensi penerapan sistem demokrasi adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini bersandar pada asas manfaat. Jika ada satu orang saja yang membutuhkan sebuah barang, maka barang tersebut dianggap bernilai ekonomi. Sehingga penguasa akan melegalkannya untuk diproduksi.  

Begitu pula dalam pemanfaatan FABA.  Ada 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan penghapusannya dari limbah B3.  Alasan yang disampaikan melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan adalah agar lebih murah dan mudah memanfaatkannya.  Bahkan pemerintah sudah memprediksi produksi besar yang akan didapat pada tahun 2021, yakni terdapat 17 juta ton FABA yang dihasilkan dan pada 2050 diperkirakan mencapai 49 juta ton.

Hal tersebut disanggah oleh peneliti dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung. Ia mengatakan, sebenarnya sudah ada aturan pengelolaan hingga pemanfaatan limbah B3. Menurutnya, FABA mempunyai kandungan unsur yang berbeda jenis dan tingkatannya. Oleh karena itu, sebelum dimanfaatkan, FABA membutuhkan serangkaian tes, sehingga bisa dimanfaatkan tanpa perlu mengeluarkannya dari limbah B3.  Johansyah pun menyampaikan pendapat senada bahwa jika FABA memiliki nilai ekonomis, regulasi pemanfaatannya yang seharusnya diperkuat oleh pemerintah. Bukan mengeluarkannya dari kategori limbah B3 (BBCIndonesia, 11/3/2021).

Dari sini tampak jelas, kebijakan dalam sistem kapitalisme disetir oleh pihak pengusaha atau pemilik modal. Penguasa mempunyai kepentingan bersama pengusaha. Sementara keberatan masyarakat sebagai pihak terdampak langsung limbah FABA, tidak digubris.  

Dugaan ini pun disampaikan periset Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemerhati Lingkungan Trend Asia, Andri Prasetyo bahwa FABA dikeluarkan dari B3 hanya menguntungkan elite dan oligarki batu bara. Ia menambahkan patut dicurigai ada keterkaitan antara elite kaya dan oligarki batu bara yang bermain dari hulu penambangan sampai sampai ke hilir (CNN Indonesia, 12/3/2021).

Sesungguhnya inilah wajah asli sistem ekonomi kapitalisme. Kebebasan kepemilikan individu sangat diagung-agungkan, tanpa memperhatikan  kemudharatan yang timbul bagi pihak lain. UU yang dibuat penguasa justru untuk melindungi kepemilikan individu, selama menghasilkan keuntungan atau manfaat yang bersifat materi. Sementara kerugian non materi pihak lain seringkali kalah dan diabaikan. Akibatnya, jika ada UU yang tidak menguntungkan bagi pelaku ekonomi, maka mereka akan  menggantinya dengan UU baru yang berpihak pada mereka.

Terbukti ketika UU sebelumnya sangat ketat mengatur FABA sebagai B3, para pengusaha merasa terbebani karena harus mengeluarkan biaya besar untuk pengelolaan serta kesehatan dan lingkungan masyarakat.  Hal-hal yang nirlaba, tidak bernilai ekonomi. 

Menurut inisiator Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) Ali Akbar, selama ini pengelolaan yang dilakukan pengusaha terhadap  limbah FABA tidak serius. Ia mencontohkan pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Limbah debu yang terbang tanpa filter, sementara yang padat hanya dimasukkan karung dan diletakkan di pinggir jalan. Kondisi carut-marut seperti ini terjadi juga pada pengelolaan FABA mulai Aceh sampai Lampung, tambahnya. Di sisi lain, buruknya ketaatan pengusaha pada aturan pengelolaan limbah FABA serta mahalnya perizinan terdahulu, justru diperparah dengan munculnya praktik mafia birokrasi (Kontan.co.id, 17/3/2021).

Sedangkan Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindita mengkhawatirkan kendornya penegakan hukum jika terjadi pencemaran, disebabkan status limbah FABA non B3. Sehingga pengusaha yang bandel bebas dari hukum perdata.  

Hal senada juga disampaikan Koordinator Bidang Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Khalisah Khalid, ia mengkhawatirkan ketiadaan payung 
hukum bagi masyarakat terdampak (tirto.id, 15/3/2021).  

Demikianlah, perubahan undang-undang tentang FABA sesungguhnya sangat kental bau kapitalisme. Selama sistem ekonomi kapitalis diterapkan, persoalan limbah tambang maupun industri berbahan bakar batubara akan terus muncul. Terbukti bukan saja FABA, namun kenyataannya pemerintah juga mengeluarkan limbah nikel maupun limbah cair sawit dari B3. Padahal sangat jelas dampak buruknya terhadap lingkungan dan Kesehatan. 

Pemanfaatan Tambang menurut Islam  

Jika ada persoalan yang bersifat sistemik, maka solusi tuntasnya dengan mencari sistem alternatif yang lebih baik. Tidak ada sistem terbaik di dunia selain sistem dari pencipta alam semesta.  Begitu pula sistem ekonomi terbaik bagi seluruh persoalan ekonomi termasuk limbah tambang dan industri yakni sistem Islam. Telah terbukti selama kurang lebih 1300 tahun, sistem Islam mampu menyelesaikan persoalan perekonomian di hampir dua pertiga belahan dunia.

Allah SWT berfirman,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah 
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash: 77)

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia boleh memanfaatkan kekayaan alam di dunia sebagai anugerah, diantaranya bahan tambang.
Bahan tambang dalam Islam termasuk ke dalam kepemilikan umum yakni api. 

Rasulullah SAW bersabda, 

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

”Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)

Oleh karenanya, penambangan batubara tidak boleh dimiliki oleh individu melainkan berada dalam pengelolaan negara. Selain itu, industri tambang tidak berorientasi bisnis, murni dikelola negara dan dikembalikan seluruh hasilnya untuk keperluan rakyat.
 
Di antara bahan tambang, batubara merupakan bahan bakar tambang termurah untuk industri.  Allah pun tidak menetapkannya sebagai bahan tambang yang haram untuk dimanfaatkan.    

Namun dalam syariat Islam, pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh berakibat kerusakan. Padahal selama ini, pengelolaan bahan bakar batubara ternyata menyebabkan berbagai pencemaran.  

Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda,

عَنْ  أَبِـيْ  سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ 

“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (H.R. Mâlik, Ad-Dâraquthni , Al-Baihaqi dan Al-Hâkim) 

Hal ini menunjukkan jika bahan bakar batubara tetap dipilih dalam industri, maka penguasa wajib mendorong penelitian mulai penambangan sampai penggunaan batubara dalam proses industri.  Sehingga diharapkan seluruh proses tidak membahayakan bagi semua pihak.  

Disamping itu, sistem Islam mewajibkan penguasa membuat kebijakan yang efisien baik biaya maupun pelaksanaannya di lapang. Serta perlu ketegasan penguasa dalam penegakan sanksi terhadap pelaku pelanggaran.

Begitu juga, sistem Islam mewajibkan penguasa senantiasa mendidik dan menumbuhkan kesadaran seluruh rakyatnya, baik individu maupun penguasa tentang tanggungjawab semua aktivitas ekonomi terhadap Allah SWT pemilik seluruh kekayaan di bumi. Sebab, sistem ekonomi Islam diterapkan bukan bertujuan meraih manfaat materi yang banyak semata. Namun, aktivitas ekonomi Islam dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam rangka beribadah kepada Allah dan mencapai keridhoan-Nya. Sehingga tidak boleh melakukan proses produksi hanya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tetapi mengorbankan lingkungan dan kesehatan rakyat.

Dari sini jelaslah, bahwa penguasalah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap seluruh penerapan sistem Islam dalam kehidupan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (H.R. al-Bukhari)

Hadist ini menjelaskan bahwa penguasa dalam sistem Islam yakni khalifah bertanggung jawab mengurusi rakyatnya dan akan bertanggung jawab terhadap rakyat dan Allah atas pengurusannya tersebut.   

Khatimah

Sudah saatnya membuang sistem ekonomi kapitalis dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam. Sebab, hanya dengan sistem Islamlah persoalan tambang dan limbah batubara akan berakhir. Insyaa Allah jika sistem Islam ditetapkan, maka keberkahan akan dilimpahkan dari langit dan bumi. Sebab, seluruh kebijakan yang diterapkan dalam sistem Islam hanya untuk mentaati perintah Allah SWT, pencipta alam semesta, bukan keuntungan materi semata []

Oleh: Sitha Soehaimi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar