Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Defisit Ekologi: Efek Kapitalisasi SDA oleh Makelar Berdasi


Topswara.com -- Zamrud khatulistiwa yang sangat kaya sumber daya alam (SDA). Itulah gelar yang disematkan pada Indonesia. Potensi SDA yang terkandung dalam hutan, laut dan tambang merupakan aset yang tak ternilai. Indonesia bahkan termasuk dalam 10 negara dengan area hutan terluas. Negara kepulauan ini mempunyai 92 hektare area hutan atau 2% dari total area hutan global. 

Namun sungguh ironis. Meski hutannya masuk sebagai hutan terluas di dunia, bencana banjir bertubi-tubi menerjang kehidupan masyarakat di beberapa wilayah Nusantara. Mengawali tahun 2031 banjir terjadi di Kalsel, Semarang, Jember dan banjir yang sudah langganan di ibukota.

Banjir besar yang menerjang wilayah Kalimantan Selatan pada 12-13 Januari 2021 terus memantik perdebatan panjang. Para pemangku kebijakan mengklaim curah hujan yang ekstrem sebagai penyebab banjir. Namun, tak sedikit pihak menuding penyebab banjir karena masifnya pembukaan lahan. Faktor inilah yang kemudian dianggap turut andil terciptanya banjir besar di Kalimantan.

Manajer Kampanye Walhi Kalimantan Selatan Jefri Raharja menyebutkan, banjir di Kalimantan Selatan sebagai bencana ekologi. Sebab terlepas dari curah hujan tinggi, banjir juga terjadi karena adanya kontribusi dari dampak pembukaan lahan. Tak ayal, banjir kali ini pun lebih parah dibandingkan periode-periode sebelumnya.

Berdasarkan data yang dimiliknya, salah satu peruntukan pembukaan lahan di Kalimantan adalah terciptanya perkebunan sawit. Namun, pembukaan perkebunan sawit ini berlangsung secara terus-menerus (kompas.com, 21/01/2021)

Pernyataan tokoh Walhi ini sesungguhnya tidaklah berlebihan. Hal ini ditunjang oleh data Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. 

"Ini artinya konsumsi sumber daya alam lebih tinggi dibandingkan yang tersedia saat ini. Akibatnya daya dukung alam menjadi berkurang,” demikian dinyatakan Guru Besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof. Dr. Akhmad Fauzi.

Dia menambahkan, kerusakan ekologis ini terjadi akibat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia belum memperhatikan modal alam secara serius. Bentuk kerusakannya seperti alih fungsi lahan, tingginya laju pencemaran lingkungan terutama air, dan menurunnya keanekaragaman hayati (mediaindonesia.com, 11/02/2021).

Defisit Ekologi Cermin Kebijakan Kapitalis Liberalis

Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang begitu melimpah selayaknya menjadi aset besar yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. Tak kalah dengan potensi hutan, laut Indonesia dengan sumber daya perikanan serta eksotisme yang ditawarkannya menjadi primadona tersendiri bagi negara maritim ini. Selain itu, Indonesia juga kaya akan sumber daya alam non hayati berupa tambang emas, gas alam, minyak bumi dan tembaga.

Namun bagai tikus mati di lumbung padi. Kenyataannya belum semua rakyat Indonesia bisa menikmati kekayaan sumber daya alam yang terkandung di Bumi Pertiwi. Indonesia secara teritorial mungkin telah merdeka lepas dari penjajahan bangsa asing, namun tidak merdeka dalam pemenuhan hak dasar warga negara.

Selain itu, tidak sedikit para pejabat yang menyelewengkan SDA untuk kepentingan pribadi, merekalah para pejabat yang berprofesi sebagai makelar penjualan aset milik umat.

Akibatnya wajar, ketika eksploitasi SDA dilakukan yang selalu menjadi mindset hanya "profit orientid", sedangkan pelestarian lingkungan belum menjadi prioritas utama.

Bagi para punggawa negeri saat membangun berbagai infrastruktur, peduli terhadap kelestarian lingkungan hanyalah sekedar pepesan kosong untuk menutupi kerakusan dalam mengeksploitasi SDA. "Visi ekologi"  hanyalah isapan jempol dalam visi politiknya. Yang selalu muncul hanya visi "investasi dan infrastruktur" serta ‘pengembangan kapasitas sumber daya manusia’. Jadi sejak awal tidak ada agenda politik ekologi yang  dicanangkan oleh penguasa.

Maka wajar jika Indonesia mengalami defisit ekologis sebagai konsekuensi logis 
menerapkan sistem kapitalisme-liberalisme. Dalam sistem kapitalisme prinsip ekonominya adalah mendapat keuntungan sebesar-besarnya dan memakai modal sekecil-kecilnya. Dengan paradigma ini, sistem kapitalisme menghalalkan segala cara, tidak memperhatikan halal-haram, kelestarian alam, hingga kepentingan rakyat. Ini juga bermakna kepentingan produksi di atas segala-galanya.

Kepemimpinan miskin visi ekologi ini, didukung oleh sistem politik yang didesain penguasa untuk memuluskan  kepentingan para pemodal, baik dalam bentuk UU dan berbagai bentuk produk hukum lainnya.

Pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja merupakan jalan untuk memudahkan eksploitasi sumberdaya alam. UU ini hadir bukan dilandasi oleh niat untuk melestarikan alam. 

Pasal-pasal krusial UU Cipta Kerja jelas berimbas pada lingkungan. Analisis Forest Digest,  ada tujuh sektor yang akan terimbas langsung UU ini. Yaitu: sektor kehutanan, lingkungan hidup, perhutanan sosial, pertanian dan perkebunan, agraria dan tata ruang, masyarakat adat, dan energi.

Salah satu pasal yang direvisi di UU Ciptaker adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.

Pasal 88 UU PPLH berbunyi: "Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan."

Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi: "Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan atau kegiatannya."

Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar atau perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.

Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa penghapusan pasal ini berdampak pada hilangnya tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan (www.forestdigest, 15/02/2021)

Dari sini jelas, berharap kelestarian alam dan lingkungan di tengah pembangunan untuk kepentingan rakyat yang terus digadang-gadang oleh sistem kapitalisme ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Yang bercokol dalam visi politik penguasa hanyalah memuluskan kepentingan para kapitalis, sebagai kompensasi atas keberhasilan mereka menjadi sponsor dalam menaikkan derajat "negarawan" kandidat penguasa dari seorang politisi parpol menjadi penentu kebijakan publik.

Fenomena ini lumrah dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Dengan standar liberalisme atau kebebasan, para pelaku hanya memikirkan masalah kemanfaatan bagi individu dan kelompoknya saja tanpa memikirkan lingkungan di sekitar yang masih jauh dari sejahtera. Mereka bebas menguasai SDA karena mampu membelinya. Bagi masyarakat yang butuh, harus membayar dengan harga tidak sedikit. Inilah yang menjadi akar permasalahan kemiskinan, kerusakan lingkungan dan tidak terwujudnya kesejahteraan di tengah masyarakat.

Jaminan Kelestarian Lingkungan dalam Islam

Berbeda dengan Islam. Islam memandang masalah  kepemimpinan akan memiliki tanggungjawab perlindungan terhadap kehormatan jiwa, darah, harta, maupun lingkungan. Syariat Islam bahkan melarang keras perusakan lingkungan yang dilakukan demi membangun berbagai infrastruktur bagi kehidupan manusia.

Islam memiliki aturan sempurna dalam mengatur kepemilikan, baik umum maupun individu. Sumber daya alam seperti hutan, laut, pertambangan emas, tembaga, batu bara, minyak dan sebagainya, ditetapkan sebagai milik umat atau merupakan kepemilikan umum. Seperti yang disampaikan dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air, dan api.” Jadi, haram bagi individu atau swasta menguasainya. Negara dalam hal ini berkewajiban mengelola semata untuk kepentingan dan kesejahteraan umat.

Rasulullah Saw telah menjelaskan dalam beberapa haditsnya mengenai cara-cara untuk melestarikan lingkungan hidup, yaitu dengan cara menjaga kebersihan lingkungan, memanfaatkan tanah tandus, penetapan daerah konservasi, penanaman pohon dan melakukan penghijauan, menjaga keseimbangan alam, perlindungan terhadap satwa, dan lain sebagainya 

Rasulullah sangat peduli terhadap kelestarian satwa, sebagaimana diceritakan dalam hadits riwayat Abu Daud. Rasulullah menegur seorang sahabat yang pada saat perjalanan mengambil anak burung dari sarangnya. Karena anaknya diambil, maka sang induk burung mengikuti terus kemana rombongan itu berjalan. Melihat yang demikian, Rasulullah mengatakan “Siapakah yang telah menyusahkan induk burung ini dan mengambil anaknya? Kembalikanlah anak-anak burung tersebut kepada induknya!”

Rasulullah menganjurkan umat manusia untuk menghidupkan lahan mati dan menanaminya dengan pepohonan. "Tidaklah seorang Muslim menanam pohon kecuali buah yang dimakannya menjadi sedekah, yang dicuri sedekah, yang dimakan binatang buas adalah sedekah, yang dimakan burung adalah sedekah, dan tidak diambil seseorang kecuali menjadi sedekah." (HR. Muslim dan Ahmad).

Dalam konteks ekonomi kemasyarakatan, negara akan memberikan kepemilikan lahan bagi siapa saja yang mampu memakmurkannya.

"Sebelumnya tanah itu milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian setelah itu milik kalian. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka ia menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi yang memagari setelah (menelantarkan tanahnya) selama tiga tahun." (HR. Baihaqi)

Rasulullah sebagai kepala negara juga memerintahkan untuk tidak merusak tanaman atau pohon-pohon saat berperang. Pesan ini Rasulullah saw. sampaikan dalam konteks peperangan. Sekali pun sedang perang melawan musuh, Rasulullah saw. tetap memperhatikan lingkungan sekitar.

Diriwayatkan dari Tsauban, khadim Rasulullah saw. yang mendengar Rasulullah saw. berpesan, “Orang yang membunuh anak kecil, orang tua renta, membakar perkebunan kurma, menebang pohon berbuah, memburu kambing untuk diambil kulitnya itu akan merugikan generasi berikutnya.” (HR. Ahmad). Demikianlah Rasulullah sangat memperhatikan kelestarian lingkungan baik dalam konteks kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bahkan bernegara.

Seyogyanya menjadi bahan evaluasi bersama tata kelola negara hari ini. Ketika defisit ekologi menimpa negeri, di saat yang sama ekonomi terjerembab karena eksploitasi SDA tak terkendali, tentu ini adalah kerugian yang tidak boleh dibiarkan terus melanda negeri. Kekayaan SDA yang dianugerahkan Allah kepada bangsa ini harus dikelola dengan baik agar berkah dan mampu mewujudkan kesejahteraan di tengah-tengah umat, tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan. Karena lingkungan lestari harus dipersiapkan untuk generasi anak cucu kita yang akan datang. 

Maka selayaknya masyarakat menyadari, kapitalisme bukanlah sistem yang mampu membawa kebaikan bagi umat manusia. Hanya dengan kesempurnaan sistem Islam, semua makhluk di muka bumi dapat menikmati kekayaan alam yang telah disediakan oleh Al-Khaliq Al-Mudabbir. Saatnya bersegera kembali menerapkan Islam secara komprehensif, berjuang bersama mewujudkannya dengan dakwah yang mengikuti manhaj Rasulullah Saw. []

Oleh: Zahida Arrosyida, S.Hut.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar