Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Salatlah, Sebelum Engkau Disalatkan!




“Maka apabila kamu telah menyelesaikan.  salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, duduk dan berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS.An Nisa':103).

“Kring..kring..!” Nada dering telepon selulerku memecah keheningan malam itu. Kulihat nomor telepon kakakku memanggil berulang kali. Tak seperti biasanya, kakakku menelepon malam hari. Aku terkejut ketika teteh mengabarkan kondisi kaki bapak semakin parah, bahkan beliau tak bisa tidur pulas. 

Satu bulan sebelumnya, bapak terjatuh dan jempol kakinya bengkak. Namanya orang kampung, seperti biasa bapak menganggap itu hal lumrah. Berbagai ramuan dicoba, tetapi rasa sakit tak kunjung reda. Akhirnya, bapak berinisiatif pergi ke sebuah klinik. Namun luka tak kunjung membaik. 

Malam itu, lewat telepon kami sekeluarga berembuk. Bapak pun akhirnya berhasil dibujuk untuk menjalani perawatan intensif di Bogor agar bisa ditemani anak-anaknya yang sudah hijrah ke Jabodetabek. 

Kami terpaksa memboyong bapak untuk meninggalkan kampung halaman tercinta. Harapannya, kami bisa membawanya ke rumah sakit besar agar ditangani dengan cepat dan tepat oleh dokter berpengalaman.

Setelah melakukan pemeriksaan lengkap, aku mendapat kabar bahwa bapak harus segera dioperasi. Jika tidak, luka di kakinya semakin menyebar. 

Dokter menjelaskan, sebagian jaringan yang membusuk akan dipotong. Aku bergidik, membayangkan saja tak sanggup. Terbayang bapak yang merintih kesakitan. Pikiranku kian tak karuan.

***
Siang itu, aku bergegas berangkat dari Depok menuju Bogor dengan menaiki KRL. Panas terik cukup menyengat menyambut kedatanganku di Kota Hujan. Kali ini aku datang bukan untuk berwisata ke Kebun Raya. Namun, aku datang untuk menjenguk bapak, orang yang sangat berjasa dalam hidupku. 

Di sepanjang perjalanan, lamunanku tak berhenti memikirkan beliau. Bahkan hampir saja aku terlewat turun di rumah sakit PMI. Terpaksa, dengan bermandikan peluh aku berjalan menuju rumah sakit. 

Jujur, aku tak suka aroma karbol rumah sakit. Namun, aku coba alihkan pikiranku. Aku paksakan terus melangkah, menyusuri lorong Rumah Sakit PMI, semata karena rasa rindu bertemu bapak.

Lorong panjang rumah sakit yang aku lewati membuatku bungkam sejenak. Aku tak sadar, sudah berapa kali kursi roda yang lalu-lalang. Batinku berkecamuk, teringat dua orang paruh baya yang kini tak berdaya. Mamah yang sedang stroke dan bapak yang tengah merintih kesakitan, menunggu waktu operasi tiba. 

Aku membayangkan lampu menyala di ruang operasi, dengan gunting dan pisau bedah. Tampaknya lamunanku terlalu jauh. Tanpa sadar, aku sudah sampai di meja perawat.

“Sus, Bapak Achmad sudah bisa dikunjungi?” Dua orang suster yang berkerudung rapi tersenyum sambil mengangguk, lalu menunjukkan kamar tempat bapak dirawat. 
Alhamdulillah, satu hal yang aku syukuri adalah ketika dipertemukan dengan orang-orang baik bahkan di tempat yang tak terduga, yaitu rumah sakit. 

“Layaknya sebuah magnet. Saat kita berbuat baik, maka Allah bukakan pintu bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang yang baik juga.” Tiba-tiba aku teringat dengan ungkapan seorang ustaz beberapa tahun lalu.

***
Satu jam menuju operasi, aku lihat raut muka bapak yang sedikit tegang. Jangankan ruang operasi, melihat jarum suntik saja beliau ketakutan. Jika bukan sakit parah, mungkin bapak tak akan mau dirawat di rumah sakit. Mata kami saling beradu. Tanpa kata-kata. Kami diam sejenak. Seolah saling memberi semangat bahwa semua akan baik-baik saja.

“Suster, bolehkah saya salat dulu?” tanya bapak kepada dua orang suster yang sedang mengecek tekanan darah. “Iya Pak, silahkan. Nanti setelah salat kita langsung masuk ke ruang operasi ya.”

Tak lama, bapak pun menyempatkan berwudu. Lantas duduk di atas kasur menghadap kiblat. Kulihat bapak begitu khusyuk menyempurnakan setiap gerakan hingga salam. 

Tak terasa bulir-bulir air mata menetes di pipiku. Aku teringat, ada satu pelajaran hidup yang hingga kini membekas di benakku, yaitu bapak selalu berusaha melaksanakan salat fardlu berjamaah di masjid serta melaksanakan shalat sunnah lainnya, khususnya salat tahajud.

Bapak, sosok yang senantiasa menjaga salat di awal waktu. Sepanjang hidupnya, hingga kini berusia 78 tahun, beliau senantiasa menjaga salatnya. Bukan sekadar sebagai penggugur kewajiban. Namun beliau berkomitmen melaksanakan salat dalam kondisi apa pun, kapan pun dan di mana pun. 

Hari ini, aku melihat semua itu di depan mata. Pun bapak bercerita selama dirawat di rumah sakit, tak membuat beliau meninggalkan sh
alat malam, memanjatkan doa kehadirat-Nya sambil melantunkan ayat suci-Nya. 

***
Hatiku berkecamuk antara rasa takut dan khawatir, saat berjalan di belakang perawat yang mendorong kursi roda bapak menuju ruang operasi. Di depan kamar operasi, kulihat deretan orang duduk dengan wajah tertunduk penuh kecemasan. Ada yang  menunggu kelahiran anak pertama, ada perempuan paruh baya yang menangis tersedu-sedu, menanti suaminya di ruang operasi. 

Tak lama, ada inkubator bayi keluar dari ruang operasi. Kulihat muka seorang ayah begitu bergembira sambil menatap wajah anaknya menuju ke ruang perawatan. “Ternyata setelah ketegangan bisa muncul kegembiraan,” batinku. “Semoga setelah dioperasi, bapak akan segera sembuh dan baik-baik saja,” lirihku. Aku berusaha menguatkan diri yang saat itu mulai kalut.

Entah sudah berapa kali aku menatap jam di dinding rumah sakit. Tak terasa azan Magrib berkumandang. Bertepatan dengan suara pengumuman dari ruang operasi.

“Keluarga Bapak Achmad!” Ketika nama kami dipanggil aku pun terperanjat. “Sekarang Bapak Achmad sedang di ruang pemulihan, harap bersabar ya. Hari ini pasien operasi cukup banyak,” kata salah seorang perawat.

Setelah Bapak dibawa ke ruang perawatan, beliau bercerita bahwa di ruang pemulihan beliau meminta perawat untuk bisa segera menunaikan salat Magrib. Ya, setelah operasi pun yang beliau ingat adalah salat. 

***
Bapak, sosokmu begitu istimewa bagiku sebagai anaknya. Saat melihat cermin diri, di saat badan masih mampu berdiri tegak, di saat lisan masih bisa berucap dengan lantang, di saat pikiran masih bisa mengingat dengan cemerlang. Namun, seringkali karena alasan 'sepele', rasanya teramat berat jika harus salat di awal waktu. Rasanya teramat susah jika harus melaksanakan salat sunnah tengah malam. Rasanya teramat sulit bertilawah di tengah kesibukan, serta berjuta alasan lainnya.

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS.Al Baqarah:45).

Bapak, terima kasih telah menjadi sosok teladan sejak dulu hingga kini. Semoga setiap kebaikanmu dibalas Allah dengan pahala berlipat ganda. Semoga kesabaranmu melewati ujian sakitmu, menjadi penggugur dosa dan ladang pahala. 

Hari ini, telah lebih dari tiga tahun kejadian di ruang operasi itu berlalu. Namun, hatiku masih mengharu biru, saat aku mendengar pesan-pesanmu untuk senantiasa bersimpuh pada-Nya melalui salat yang kita tunaikan.

“Salatlah sebelum kau disalatkan!” Kata-kata itu kini menjadi muhasabah untuk diri yang sering kali lalai.[]


Oleh: Annisa Fauziah



Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar