Topswara.com -- “Eh kamu, nulis gituan dibayar berapa sih? Kapan viralnya? Kapan masuk podcast?”
Lah, netizen zaman sekarang tuh kayak penjaga gerbang kapitalisme. Semua ukuran hidup itu cuan oriented. Kalau nulis enggak dapat endorse, enggak naik followers, enggak masuk FYP, ya katanya enggak keren.
Tetapi hei hei hei, jangan sedih wahai penulis dakwah ideologis. Kita bukan dikejar iklan body lotion atau disawer sultan TikTok. Kita sedang dikejar pahala yang ditagih oleh malaikat pencatat amal. Kita bukan nunggu diundang podcast selebritis, tetapi daftar jadi tamu VIP-nya surga. Kita bukan trending topik duniawi, tetapi trending di langit.
Bayangkan, tulisanmu dibaca ribuan orang. Kalimatmu menohok jantung liberalisme. Caption pendekmu bisa menyelamatkan seseorang dari jebakan gaya hidup bebas. Ada loh pembaca yang bilang,
“Mbak Nabila, tulisan tentang khilafah bikin saya sadar bahwa kita butuh pemimpin Islam, bukan seleb lipsync.”
MasyaAllah, saham jariyah jalan terus. Sambil ngopi, pahala ngalir. Sambil rebahan, kebaikan ngalir. Hanya penulis dakwah yang bisa kayak gini.
Menulis Dakwah di Zaman Zalim Itu Jihad
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah mengatakan, menulis demi menyadarkan umat dari sistem kufur itu bagian dari dakwah fardiyah. Kita ini bukan penulis galau cinta-cintaan kayak novel pinjol wattpad. Bukan juga buzzer nasi bungkus. Kita ini pejuang pena. Nulisnya bukan demi trending, tetapi demi ridha Allah.
Jadi wajar kalau tulisanmu enggak selalu disukai manusia, karena yang kita kejar bukan likes, tetapi lights of Jannah. Sudah biasa diledek, dighibahin, bahkan diancam via DM,
“Sok suci ya?”
“Ustazah Instagram?”
“Awas lo kena UU karena bahas khilafah”
Tenang. Mereka nyinyir karena takut kamu bikin orang lain mikir. Dunia yang nyaman dalam kebodohan memang alergi sama pemikiran cerdas. Dan Rasulullah SAW bersabda, "sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zalim" (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).
Sekarang kamu nulis menolak kapitalisme? Bongkar liberalisme? Itu jihad, bukan sekadar ngetik.
Hidup Penulis Dakwah Itu Gak Pernah Kosong
Pagi setelah nyapu dan nyuci? Nulis. Nunggu anak sekolah? Nulis. Lagi masak? Nulis. Lihat baliho “bebas pilih agama”? Langsung muncul ide, kritik multikulturalisme.
Karena kita bukan sekadar penulis, tetapi pengamat zaman. Hobi kita bukan cuma baca buku, tapi juga menguliti berita, membongkar propaganda, nyium aroma busuk tipu daya media. Kita punya radar ideologis 24 jam.
Gaya Boleh Kocak tetapi Tetap Ideologis
Meski kita nulis dengan gaya santai, sarkas, atau nyeleneh, isinya tetap berbobot. Dalil kuat, kutipan ulama jelas, analisa presisi. Humor hanya bungkusnya, ideologi tetap isinya.
Karena pembaca zaman now butuh tulisan yang menyadarkan tanpa menggurui. Yang nyentil tetapi bikin mikir. Yang lucu tetapi menghujam. Itulah seni menulis ala penulis dakwah ideologis.
Menulis dakwah bukan ikut-ikutan tren, tetapi soal istiqamah. Kadang sepi komentar. Kadang followers turun. Kadang kena banned. Tetapi tetap nulis. Karena ini bukan sekadar kerja, ini ibadah.
Jangan Pernah Lupa Jati Diri
Kita bukan orang sembarangan. Kita ini orang pilihan yang memilih untuk bersuara saat orang lain diam. Menjual tulisan untuk perlawanan, bukan popularitas. Takut kehilangan berkah, bukan audiens.
Biarlah dunia mengejek, asal langit menyapa. Biarlah tak banyak yang tahu nama kita, asal amal kita dikenal penghuni langit. Biarlah tulisan kita pelan, asal mengalirkan pahala tanpa henti.
Dan kelak, saat jasad kita terkubur dalam sepi, tulisan-tulisan kita akan tetap bertasbih.
Katakan dengan lantang, "akulah penulis ideologis!"
Yang menulis bukan demi viral, tetapi demi dakwah. Bukan demi disukai manusia, tetapi demi mencintai Allah. Bukan karena tak punya pilihan lain, tetapi karena inilah jalan yang kupilih, yaitu menjadi penjaga akidah lewat pena, pembela umat lewat kata.
Aku tahu ini tak mudah. Tetapi aku juga tahu, surga tak dijual di diskon Shopee. Maka biarlah letih ini jadi saksi, bahwa aku tak pernah berhenti sampai Islam berjaya, atau aku dijemput mati. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar