Topswara.com -- Menikah adalah bagian dari skema perjalanan hidup untuk meneruskan keberlangsungan generasi, seperti taraf level dalam kehidupan didunia yang harus dilakukan dan dilalui.
Bagi sebagian manusia menikah merupakan tujuan hidup yang dinamis dan juga meningkatkan identitas status sosial yg mumpuni, acap kali pernikahan dijadikan sebagai tonggak acuan hidup sebelum memasuki usia 30-an.
Bahkan ilmu pernikahan dan platform biro jodoh pun dibuat ruang secara terpisah untuk meningkatkan mutu dan kualitas dalam mencari pasangan dan juga tips-trik sehat menjalani rumah tangga, banyak kita lihat kelas-kelas relasi romansa seperti ini tak pernah sepi dari para pengikutnya.
Namun di era digital yang makin transparansi mengelola informasi ternyata nilai-nilai pernikahan kini mulai ada pergeseran substansinya, banyak para kawula muda-mudi yang lebih takut miskin daripada takut menikah.
Fenomena ini ditenggarai oleh faktor finansial yang belum mencapai kemapanan, menjadikan menikah harus menunggu mapan dalam segi perekonomian, terlebih mereka merasakan ketidak pastian dalam ranah pekerjaan pasca terjadinya covid-19 kemarin.
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa16,8 persen masih banyak para pemuda dikisaran usia 15-25 tahun menganggur, disisi lain mereka yang bekerja, tingkat upah yang mereka terima tergolong rendah 2,6 juta.
Sedangkan untuk tinggal di daerah perkotaan membutuhkan setidak nya 4,5 juta rupiah untuk akomodasi hidup sudah termasuk biaya sewa, utilitas dan transportasi, belum lagi dijumpai masyarakat yang harus menjadi sandwich generation.
Faktor-faktor tersebut membuat banyak para muda-mudi lebih memilih untuk menunda pernikahan, opini tersebut berhasil membuat penambahan persentase menunda pernikahan menjadi 10%, dimana kuartal di 2020 sebesar 59,82%. Pemerintah sebagai regulator cenderung abai dan lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat, masyarakat dibuat bingung dan pusing dalam mencari kerja dan nafkah.
Narasi marige is scarry menambah ketakutan semakin nyata, perceraian yang disuguhkan secara masif dari kalangan selebriti dan para konten kreator di dunia hiburan, menebar aib rumah tangga mereka sendiri, dari mulai didominasi oleh perselingkuhan hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sistem kapitalisme memandang bahwa kecukupan materi yang banyak adalah sebuah tujuan untuk mencapai kebahagiaan hakiki padahal dalam Islam kebahagian hakiki dicerminkan oleh dasar ketakwaan kepada Allah agar senantiasa mendapat pahala.
Kapitalisme juga memandang bahwa pernikahan adalah tujuan untuk mencapai pengumpulan aset secara kolektif agar semakin banyak dan meringankan beban bersama yang kemudian dapat menimbun harta sebanyak-banyaknya untuk tabungan dimasa tua, tak peduli itu didapatkan dari sumber pendapatan yang baik atau buruk.
Sedangkan sistem Islam memandang bahwa pernikahan murni atas ibadah kepada Alloh dan dalam melaksanakan ibadah tersebut ada peran manajemen domestik dari masing-masing pihak. Suami sebagai pelindung keluarga dan pencari nafkah sedangkan istri mengurus keperluan rumah dan anak atas nafkah yang diberikan suami, besar dan kecilpun nafkah yang ada dilandasi rasa kesepakatan tunduk kepada Allah untuk senantiasa bersyukur pada hal-hal halal.
Kapitalisme selalu mendorong siapapun agar hidup dalam konsumtif dan hedonis atas dasar self reeward. Akibatnya masyarakat memandang bahwa menikah bila tidak mencapai kebahagiaan materi maka pernikahan dinilai menjadi sebuah beban dan bukan menjadi ladang pahala.
Negara di dalam sistem Islam memandang bahwa ketakwaan adalah pendidikan utama yang diemban oleh masyarakatnya, agar terhindar dari sifat mubadzir (konsumstif) dan hedonis.
Pemerintah dalam sistem Islam wajib menjamin hajat hidup manusia dari mulai sandang, pangan dan papan secara mudah didapatkan dengan mengelola sumber daya alam tanpa diserahkan oleh swasta, pihak asing maupun dikuasi oleh oligarki.
Pemerintah membuka lapangan kerja seluas-luasnya, hasil dari pengelolaan hasil bumi tersebut akan dikembalikan oleh rakyat, untuk kemakmuran bersama.
Khalifah juga menjamin peran pendidikan keluarga sebagai penguatan nilai ruhiyah bahwa pernikahan adalah sebagai bentuk gharizah yang tak boleh dilumpuhkan, didalam nya ada banyak kebaikan satu sama lain.
Firman Allah
"Dan diantara kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir" (QS. Ar-Rum : 21)
Menikah merupakan bentuk ibadah yang panjang mendapat pahala yang terus mengalir bila dilandasi akidah dan ketakwaan yang tak pernah padam. Mempunyai keluarga adalah sebuah tujuan penyempurna separuh agama bukan lagi sebagai ketakutan dalam mengarungi kehidupan.
Wallahua'lam bishawab.
Oleh: Siti Nur Hasanah
Aktivis Muslimah

0 Komentar