Topswara.com -- Dunia boleh modern namun paradigma masyarakat terhadap peran ibu tak jauh berubah. Ibu masih dianggap sebagai sosok yang hanya bertugas mengelola urusan domestik : sumur, dapur, kasur.
Padahal, peran utama seorang ibu tidak hanya berhenti di sana. Allah sudah memberikan mandat besar kepada para wanita yang bergelar ibu untuk mengasuh dan mendidik generasi. Al umm madrasatul ula, ibu sebagai sekolah pertama yang mengajarkan keimanan, adab, akhlak hingga nilai-nilai penting kehidupan.
Tidak berlebihan jika ada yang menyebut ibu sebagai arsitektur peradaban. Karena anak-anak yang lahir dari rahim mereka adalah anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus bangsa. Akan jadi apa negeri ini, tergantung kepada generasi-generasi yang akan datang. Jika generasinya baik, baik pula peradabannya. Jika generasinya lemah, hancur sudah negaranya.
Namun sayangnya, peran strategis ibu kian bias. Tugas utama seorang ibu sebagai pendidik generasi tergilas oleh bisingnya validasi dan juga himpitan ekonomi.
Sistem kapitalis sekuler memperparah kondisi ini. Seorang ibu dianggap bukan siapa-siapa karena tidak produktif, tidak menghasilkan keuntungan. Mendidik anak dan mengurus rumah tangga dianggap tidak bernilai dalam kacamata kapitalis sekuler.
Sebagian ibu akhirnya keluar mencari pengakuan atas eksistensinya dengan berkarier. Mereka tak sadar mengabaikan tugas utama mereka, menjadi ibu pendidik generasi. Sebagian lagi keluar untuk bekerja bukan karena mencari validasi tapi karena himpitan ekonomi. Meninggalkan pengasuhan anak kepada orang lain demi bisa tetap bertahan.
Faktanya saat ini, ibu yang bekerja tidak sepenuhnya mendapatkan support system yang penuh, baik dari pasangan, masyarakat, maupun negara. Cuti yang terbatas, gaji yang pas, hingga beban ganda menjadi tulang punggung, mengasuh anak dan mengurus urusan domestik. Support system yang kurang inilah yang banyak membuat para ibu pekerja menjadi stress, kelelahan dan burn out.
Ibu yang burn out akan berdampak langsung kepada anak-anaknya. Anak tidak merasa aman di rumah, mereka merasa diabaikan dan tak diinginkan kehadirannya. Akibatnya mereka mencari keamanan dan kenyamanan di luar rumah.
Sayangnya, di luar rumah kondisinya tak selalu aman dan ramah. Narkoba, geng motor, tawuran, pergaulan bebas hingga tindak kriminalitas yang senantiasa mengintai.
Lalu, mau dibangun seperti apa suatu bangsa jika generasi penerusnya kehilangan rasa aman, perhatian, kasih sayang dan pendidikan?
Di sini perlu adanya sinergi nyata antara individu, masyarakat dan negara dalam membangun kembali paradigma peran ibu dengan benar, ibu sebagai peletak pondasi peradaban bangsa.
Jika negara memiliki paradigma ini dan serius terhadap masa depan bangsa, tentunya setiap kebijakan akan senantiasa menggandeng peran ibu.
Sebagai ibu, perlu kembali merefleksikan visi dan misi pendidikan anak. Anak bukan sebagai mesin uang, bukan pula sebagai aset di masa tua. Tetapi anak adalah sebagai hamba Allah.
Artinya ia dilahirkan punya tujuan untuk beribadah kepada Allah. Tujuan ini yang harus ditanamkan baik dalam diri ibu maupun anak. Sehingga dalam perjalanannya, ibu merasa mendidik anak bukan beban, tapi tugas mulia. Ibu sebagai pemegang kunci peradaban.
Selain itu, seorang ibu adalah guru pertama. Sudah semestinya ia memberikan teladan kepada anak-anak. Jika ia menginginkan anaknya bertakwa, tentu ia harus bertaqwa lebih dulu. Jika ia menghendaki anak-anak cerdas, ia harus mau belajar lebih dulu. Karena teladan bisa lebih melekat dibanding perkataan.
Paling penting adalah peran negara. Negara punya peran untuk memberikan dukungan penuh kepada ibu dalam mendidik generasi. Negara memastikan pemenuhan atas kebutuhan dasar mereka dengan mudah dan murah.
Negara pun akan memastikan para suami dan wali untuk memenuhi kewajiban nafkah kepada keluarga. Sehingga mereka tidak perlu menjadi tulang punggung keluarga.
Negara juga harus memastikan pendidikan berjalan selaras dengan visi besar membentuk generasi hebat. Pendidikan bukan sekedar transfer ilmu, tapi membina generasi untuk taat, cerdas dan bermanfaat bagi umat.
Oleh: Riska Kencana
Aktivis Muslimah

0 Komentar