Topswara.com -- Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga luka mendalam bagi masa depan generasi.
Data yang disampaikan Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’ti dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI menunjukkan betapa serius dampaknya terhadap sektor pendidikan: 2.798 satuan pendidikan terdampak, 5.421 ruang kelas rusak, dan lebih dari 600 ribu siswa mengalami gangguan layanan pendidikan.
Banyak sekolah rusak berat, akses menuju sekolah terputus, bahkan sebagian bangunan sekolah digunakan sebagai posko pengungsian. (dpr.go.id 8 Desember 2025)
Ironisnya, di tengah fakta tersebut, Presiden menyatakan bahwa kondisi Sumatra pascabencana berada dalam kondisi baik. Pernyataan ini menimbulkan jarak antara realitas di lapangan dan narasi di tingkat pusat.
Bagi para siswa yang kehilangan ruang belajar, guru yang kesulitan mengajar, dan orang tua yang cemas akan masa depan anak-anaknya, “kondisi baik” terasa jauh dari kenyataan.
Penanganan pascabencana, khususnya pemulihan sarana dan prasarana pendidikan, terkesan lamban. Hingga kini belum terlihat langkah cepat dan sistematis dari pemerintah pusat untuk memastikan keberlangsungan pendidikan generasi pascabencana.
Justru lembaga kemanusiaan, NGO, hingga individu dan influencer yang lebih dahulu bergerak menyediakan bantuan pendidikan darurat. Situasi ini menimbulkan kesan minimnya empati dan lemahnya tanggung jawab negara dalam menjamin hak dasar rakyat atas pendidikan yang layak.
Dalam perspektif Islam, kepemimpinan bukan sekadar jabatan, melainkan amanah. Pemimpin diposisikan sebagai ra’in (pengurus) dan khadim (pelayan) rakyat. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.
Karena itu, kesiapsiagaan menghadapi risiko bencana seharusnya menjadi bagian integral dari tata kelola negara, termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan asasi rakyat seperti pendidikan dan kesehatan.
Sejarah peradaban Islam mencatat bagaimana negara hadir secara sigap dalam penanganan bencana dan krisis. Pada masa kekhilafahan, negara memobilisasi sumber daya secara terpusat, mempercepat pemulihan infrastruktur, serta menjamin keberlanjutan layanan publik.
Pendidikan tidak dibiarkan terhenti; guru dimobilisasi, sarana darurat disediakan, dan kebutuhan generasi tetap dipenuhi.
Perbandingan ini sekaligus menyingkap persoalan postur anggaran negara saat ini. Dalam sistem kapitalisme, APBN sering terjebak pada logika proyek dan penghabisan anggaran di akhir tahun, bukan pada pemenuhan kebutuhan riil rakyat secara cepat dan tepat.
Padahal, dalam paradigma Islam, anggaran negara disusun untuk menjamin kemaslahatan rakyat, terutama pada situasi darurat.
Pemulihan pendidikan korban bencana di Sumatra seharusnya menjadi prioritas nasional, bukan sekadar wacana. Negara perlu hadir secara nyata: berkoordinasi erat dengan pemerintah daerah, mempercepat rehabilitasi sekolah, menyediakan fasilitas pendidikan darurat, serta menjamin tidak ada satu pun anak yang kehilangan hak belajarnya akibat bencana.
Di sinilah kualitas kepemimpinan diuji apakah benar berpihak pada rakyat, atau justru abai di saat mereka paling membutuhkan.
Oleh: Iin Haeriyah
Muslimah Bogor

0 Komentar