Topswara.com -- Derasnya arus informasi digital menjadi tantangan besar bagi generasi muda hari ini. Setiap hari mereka terpapar beragam konten yang secara perlahan membentuk cara berpikir, bersikap, dan memandang kehidupan.
Tanpa pendampingan yang kuat dan berkesinambungan, banjir informasi ini berpotensi menjauhkan mereka dari nilai-nilai keimanan serta peran hakiki sebagai insan yang bertanggung jawab di hadapan Allah.
Tingginya screen time turut memperlemah keterikatan generasi muda dengan kehidupan nyata. Interaksi sosial, tanggung jawab dalam keluarga, serta kontribusi di tengah masyarakat kian tergeser oleh aktivitas di dunia maya.
Kondisi ini diperparah oleh jebakan algoritma yang menyajikan konten secara berulang, membentuk ruang berpikir yang sempit, memicu emosi tanpa arah, dan melemahkan kemampuan berpikir mendalam.
Akibatnya, generasi muda mudah reaktif, cepat tersulut, tetapi miskin kedalaman analisis dan arah perjuangan.
Di sisi lain, tumbuhnya sikap kritis generasi muda terhadap berbagai bentuk kezaliman penguasa merupakan tanda positif. Hal ini menunjukkan kepekaan nurani dan kesadaran sosial yang patut diapresiasi.
Namun, tanpa arahan yang benar, sikap kritis tersebut dapat berubah menjadi luapan kemarahan yang kehilangan adab, bahkan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu. Kritik yang seharusnya mendorong perubahan hakiki justru berakhir pada kegaduhan tanpa solusi.
Karena itulah, sinergi peran umat sebagai fondasi pembentukan generasi bertakwa dan tangguh menjadi sangat penting. Keterpaduan peran keluarga, pendidik, ulama, dan masyarakat diperlukan untuk membimbing generasi muda agar tetap kritis namun berakhlak, berani namun bertakwa, serta kokoh menghadapi tantangan zaman.
Generasi muda hari ini bukan sekadar pengguna teknologi digital, melainkan telah ditempatkan sebagai pasar utama dalam ekosistem kapitalisme digital global. Perhatian, emosi, dan opini mereka diperlakukan sebagai komoditas bernilai tinggi.
Produk-produk digital tidak pernah netral; ia dirancang agar menempel lama di pikiran, membentuk kebiasaan, dan secara perlahan mengarahkan cara berpikir. Pada titik ini, generasi muda tidak sepenuhnya “bebas memilih”, melainkan sedang diperebutkan kesadarannya oleh berbagai kepentingan.
Seluruh konten digital yang dikonsumsi sejatinya merupakan deposit ideologis. Setiap video, narasi, dan opini yang terus diulang akan membangun kerangka berpikir tertentu.
Algoritma tidak hanya membaca selera, tetapi juga menggiring perspektif: menentukan apa yang dianggap penting, siapa yang layak dipercaya, dan perubahan seperti apa yang dipandang realistis. Dalam jangka panjang, mekanisme ini mengendalikan cara generasi muda memandang hidup, perjuangan, dan masa depan.
Masalahnya, ruang digital hari ini didominasi oleh ide-ide sekuler dan liberal. Ide-ide tersebut hadir secara halus, dibungkus dengan narasi empati, kebebasan, dan kemanusiaan.
Agama diposisikan cukup di ruang privat, sementara urusan publik diserahkan sepenuhnya pada logika manusia dan pasar. Inilah bentuk kolonisasi pemikiran modern. Ketika terus dikonsumsi tanpa filter, generasi muda tampak kritis secara emosional, namun tumpul secara ideologis.
Karena itu, benteng utama yang mendesak dibangun bukan sekadar literasi digital, melainkan cara pandang yang benar yang bersumber dari Sang Pencipta. Cara pandang inilah yang menetapkan tujuan hidup, standar keadilan, dan arah perubahan. Tanpa fondasi ini, kritik terhadap kezaliman hanya berhenti pada kemarahan, bukan perombakan sistem.
Generasi muda diciptakan Allah dengan potensi hidup yang utuh: naluri (gharizah), kebutuhan jasmani (hajatul ‘udhawiyah), dan akal sebagai penentu arah hidup. Seluruh potensi ini dapat mengantarkan pada ketakwaan dan kepemimpinan peradaban, namun juga dapat berubah menjadi alat perusakan jika tumbuh tanpa arah ideologis yang benar.
Karena itu, generasi muda tidak cukup sekadar “dibiarkan berkembang”, melainkan harus dibina secara sadar, terencana, dan berkesinambungan.
Sinergi seluruh elemen umat menjadi keniscayaan: keluarga sebagai fondasi nilai, masyarakat sebagai ruang penguatan sosial, dan negara sebagai penentu arah kebijakan.
Namun sinergi ini memerlukan pengikat ideologis yang menyatukan seluruh peran dalam satu arah perjuangan. Di sinilah peran strategis partai politik Islam ideologis, yang tidak berhenti pada kekuasaan, tetapi membina kesadaran politik umat berbasis akidah.
Dengan sinergi inilah generasi muda disiapkan menjadi subjek perubahan yang beriman kokoh, berpikir tajam, dan sadar tujuan peradaban.
Oleh: Jesi Nadhilah
Pengajar dan Aktivis Muslimah

0 Komentar