Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menjadi Ibu Ideologis


Topswara.com -- Ibu bukan sekadar sosok yang melahirkan dan merawat anak. Dalam pandangan yang lebih dalam, ibu adalah madrasah pertama, tempat nilai, arah hidup, dan cara pandang seorang manusia dibentuk. 

Dari rahim pemikiran seorang ibu, lahir generasi yang akan menentukan masa depan umat. Karena itu, menjadi ibu sejatinya adalah amanah ideologis yang besar, bukan peran kecil yang berhenti di urusan domestik semata.

Peran ideal seorang ibu adalah mencetak generasi pemimpin dan penakluk peradaban. Generasi yang tidak takut kepada apa pun dan siapa pun kecuali kepada Allah Swt. Anak-anak yang dibesarkan dengan akidah yang lurus akan memiliki keberanian, keteguhan prinsip, dan mental visioner. 

Visi mereka tidak berhenti pada pencapaian dunia, tetapi menembus ke langit, menuju ridha dan surga Allah. Inilah generasi yang hidup dengan tujuan, bergerak dengan kesadaran, dan berjuang dengan keyakinan.

Di sinilah konsep menjadi ibu generasi ideologis menemukan maknanya. Seorang ibu tidak hanya menjalankan peran biologis dan emosional, tetapi juga memadukannya dengan kewajiban berdakwah. 

Dakwah dalam konteks ini bukan semata ceramah lisan, melainkan penanaman nilai Islam secara konsisten dalam kehidupan anak. Kesadaran politik yang tinggi menjadi fondasi penting agar ibu memahami realitas umat, arah zaman, serta sistem yang memengaruhi kehidupan keluarganya. Dengan kesadaran ini, ibu menyiapkan generasi yang berpikir ideologis, bukan generasi yang hanyut oleh arus.

Kesadaran politik yang tinggi memberi “nyawa” pada peran keibuan. Seorang ibu tidak lagi mendidik anak hanya agar sukses secara individu, tetapi agar memiliki cita-cita besar memimpin umat. Ia menyadari bahwa anaknya adalah bagian dari umat Islam yang memiliki tanggung jawab kolektif. 

Maka, pendidikan di rumah tidak netral nilai, melainkan sarat visi peradaban. Ibu menjadi pengarah, penguat, sekaligus penjaga agar anak tidak kehilangan identitas Islamnya di tengah dunia yang bising oleh ideologi lain.

Sejarah Islam mencatat banyak contoh keberhasilan ibu dalam mendidik generasi luar biasa. Ibu Imam Syafi’i, misalnya, dengan keterbatasan ekonomi mampu menanamkan kecintaan pada ilmu dan keteguhan iman, hingga melahirkan seorang ulama besar. 

Ibu Shalahuddin Al-Ayyubi dikenal mendidik anaknya dengan kisah jihad dan pembebasan, hingga ia tumbuh menjadi pemimpin yang membebaskan Al-Quds. Mereka bukan perempuan biasa, tetapi ibu dengan visi besar dan kesadaran ideologis yang kuat.

Namun, peran mulia ini menghadapi tantangan besar dalam sistem sekuler saat ini. Serangan pemikiran dan budaya datang silih berganti. Konsep kesetaraan gender yang disalahpahami, HAM versi Barat, serta moderasi beragama yang mengebiri ajaran Islam, menciptakan lingkungan yang rusak secara nilai. 

Perempuan didorong menjauh dari fitrahnya, sementara peran keibuan direduksi atau bahkan dianggap penghalang kemajuan.

Belum lagi serangan dunia digital yang masif. Gawai dan media sosial menjadi “guru” baru yang sering kali lebih didengar anak dibanding orang tuanya. 

Konten instan, gaya hidup hedonis, dan pemikiran liberal masuk tanpa filter, menggerus akidah dan adab. Ibu dituntut ekstra waspada dan cerdas agar rumah tetap menjadi benteng utama pendidikan, bukan sekadar tempat singgah.

Tantangan lain datang dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Tekanan ekonomi memaksa banyak perempuan memikul beban ganda. 

Di satu sisi dituntut berperan di ranah publik demi kebutuhan materi, di sisi lain tetap dituntut sempurna di rumah. Sistem ini tidak ramah terhadap peran ibu, bahkan sering kali mengeksploitasi perempuan atas nama produktivitas dan kebebasan.

Di tengah realitas ini, peran riil ibu saat ini menjadi sangat krusial. Pertama, ibu harus menetapkan visi pendidikan yang jelas bagi anak-anaknya: sebagai abdullah yang taat beribadah, khalifah fil ardh yang bertanggung jawab mengelola bumi dengan syariat Allah, dan khairu ummah yang menyeru pada kebaikan serta mencegah kemungkaran. Visi ini menjadi kompas dalam setiap keputusan pendidikan di rumah.

Kedua, ibu harus menjadi teladan. Anak belajar lebih banyak dari apa yang ia lihat dibanding apa yang ia dengar. Keteguhan iman, akhlak mulia, semangat menuntut ilmu, dan kepedulian pada umat harus nyata dalam keseharian ibu. Keteladanan inilah dakwah paling efektif dan membekas.

Akhirnya, peran ibu generasi ideologis harus dibarengi dengan upaya mengubah sistem yang rusak. Kapitalisme sekuler terbukti menyulitkan dan merusak tatanan keluarga. 

Maka, perjuangan ibu tidak berhenti di ranah domestik, tetapi juga mendukung terwujudnya sistem Islam yang benar dan menyejahterakan. Dengan demikian, ibu bukan hanya membesarkan anak, tetapi turut membesarkan peradaban. 

Wallahua’lam bishawwab.


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar