Topswara.com -- Pemerintah berencana membatasi penggunaan media sosial (medsos) bagi anak usia 13 hingga 16 tahun, dengan mempertimbangkan tingkat risiko dari masing-masing platform.
Aturan ini dijadwalkan mulai berlaku pada Maret 2026 dan diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Kebijakan ini diklaim sebagai upaya negara melindungi anak dari dampak negatif ruang digital, mengikuti langkah serupa yang telah diterapkan di beberapa negara lain, seperti Australia.
Namun, rencana pembatasan tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Salah satu sorotan utama adalah pengecualian game online dari regulasi pembatasan, padahal game juga terbukti memicu kecanduan serius.
Selain itu, aturan ini dinilai mudah ditembus karena anak tetap bisa mengakses medsos tanpa akun pribadi, misalnya dengan menggunakan akun palsu, akun orang tua, atau akun milik orang lain.
Jika ditelaah lebih dalam, pembatasan medsos ini sejatinya hanya bersifat administratif dan teknis. Ia tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Anak tetap dapat mengakses konten berbahaya meskipun tanpa akun resmi.
Sementara game online yang oleh WHO telah diakui dapat menimbulkan gaming disorder justru tidak dibatasi secara tegas. Kondisi ini menunjukkan bahwa regulasi tersebut lebih bersifat tambal sulam, bukan solusi menyeluruh.
Lebih jauh, persoalan utama bukan semata pada usia pengguna, melainkan pada ekosistem digital global yang sarat kepentingan ekonomi. Platform medsos dan game online berada di bawah kendali korporasi besar negara-negara adidaya kapitalis.
Algoritma, konten, hingga pola interaksi pengguna dikendalikan demi keuntungan, bukan demi kesehatan mental dan moral generasi. Anak-anak akhirnya menjadi objek eksploitasi digital: dipancing adiksi, dijejali konten instan, dan diarahkan pada gaya hidup konsumtif serta liberal.
Dalam Islam, perlindungan terhadap akal dan jiwa manusia merupakan bagian dari maqashid syariah yang wajib dijaga oleh negara. Segala hal yang berpotensi merusak akal, menjerumuskan pada kecanduan, atau merusak moral generasi harus dicegah secara sistemik, bukan sekadar dibatasi secara administratif.
Untuk menghadapi hegemoni digital global, Islam menuntut adanya kedaulatan digital. Dalam konsep khilafah, negara tidak tunduk pada kepentingan korporasi asing, tetapi berdaulat penuh dalam mengatur teknologi, informasi, dan platform digital agar selaras dengan syariat dan kemaslahatan umat.
Negara berperan aktif menyaring konten, mengatur industri digital, serta memastikan teknologi menjadi sarana kebaikan, bukan alat perusakan generasi.
Lebih dari itu, perlindungan generasi tidak bisa dibebankan pada negara semata. Penerapan syariat Islam secara kafah oleh orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, dan negara akan membentuk benteng kokoh bagi anak-anak.
Dengan akidah yang kuat, lingkungan yang sehat, dan sistem yang benar, generasi akan tumbuh menjadi khairu ummah serta calon pemimpin peradaban Islam di masa depan.
Pembatasan medsos ala PP Tunas menunjukkan adanya kesadaran negara atas bahaya ruang digital, namun belum menyentuh akar persoalan. Selama hegemoni digital kapitalis masih menguasai arah teknologi, regulasi parsial hanya akan menjadi ilusi perlindungan.
Islam menawarkan solusi mendasar: kedaulatan digital, perlindungan akal dan jiwa, serta penerapan syariat secara menyeluruh demi menyelamatkan generasi.
Wallahu 'alam.
Oleh: Lia Julianti
Aktivis Dakwah Tamansari Bogor

0 Komentar