Topswara.com -- Di tengah-tengah generasi saat ini berkembang opini bahwa mencapai kondisi ekonomi stabil serta mapan dianggap lebih mendesak daripada mengambil keputusannya menikah. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tren angka penurunan pernikahan di Indonesia, mencapai rekor terendah tahun 2024 (sekitar 1,48 juta pernikahan).
Berbanding terbalik dengan angka perceraian yang mengalami tren kenaikan, tahun 2024 tercatat lebih dari 400.000 kasus. 78 persen perceraian diajukan pihak istri dengan faktor ekonomi serta KDRT sebagai pemicunya.
Ditambah lagi dengan keadaan ekonomi yang tak tentu, kenaikan harga bahan pokok yang terus terjadi, biaya tempat tinggal yang makin mahal. Masalah itu makin menjadikan generasi muda merasa butuh memastikan stabilitas pendapatan sebelum memulai kehidupan rumah tangga serta menentukan prioritas dalam hidupnya.
Persaingannya dunia yang makin ketat juga menuntut mereka agar fokus memantapkan diri agar mengembangkan karir lebih dulu. Timbul narasi "marriage is scary" di tengah keadaan itu yang memperkuat keraguan untuk segera berkeluarga.
Istilah tersebut menganggap pernikahan merupakan institusi atau komitmen seumur hidup yang penuh tantangan, tekanan, serta ketidakpastian.
Ungkapan tersebut mencerminkan perasaan takut atau ragu terkait dengan berbagai aspek pernikahan. Seperti tanggung jawab yang besar, perubahan dalam kehidupan pribadi, sampai potensi masalah yang mungkin muncul dalam hubungan jangka panjang.
Kombinasi antara tekanan ekonomi serta lemahnya ketahuan keluarga membuat generasi muda memilih untuk menunda pernikahan demi merasa lebih aman secara finansial serta emosional. Sistem kapitalis memupuk ketakutan akan kemiskinan.
Sebab struktur ekonomi kapitalis mendorong biaya hidup melambung tinggi, akumulasi modal terpusat pada segelintir pemilik modal serta tekanan pasar yang menjadikan upah ditekan demi efisiensi.
Masalah tersebut diperparah oleh peluang kerja yang makin sempit sehingga banyak keluarga harus menanggung resiko ekonomi sendiri tanpa jaring keselamatan sosial yang memadai dari negara.
Ketidakmauan serta ketidakmampuan negara untuk mengatur serta mendistribusikan sumber daya secara adil bertentangan dengan prinsip tanggungjawab negara yang diemban dalam aturan syariah.
Islam menempatkan keadilan sebagai landasan interaksi ekonomi agar seluruh kebutuhan primer, sekunder maupun tersier dapat terpenuhi di semua lapisan masyarakat.
Pendidikan Islam menanamkan kesadaran bahwa hidup tak hanya berorientasi pada terpenuhinya keputusan materi tetapi misi sebagai khalifah di bumi. Generasi muda akan tumbuh sebagai manusia yang mampu mengambil keputusan berdasarkan keimanan, bukan berlandaskan ketakutan akan tuntutan hidup.
Pemahaman tersebut akan menghantarkan mereka pada visi serta misi pernikahan yang mulia. Yaitu membangun keluarga yang kuat, menjaga keberlangsungan keturunan serta menyiapkan generasi penerus yang menjadi penjaga Islam sepanjang hayat.
Dalam kerangka ini, institusi keluarga tak lagi dipandang sebagai beban emosional atau beban finansial. Tetapi institusi keluarga akan menjadi pilar peradaban yang melekat pada identitas seorang Muslim. []
Oleh: Dwi Ariyani
(Aktivis Muslimah di Sedayu, Bantul)

0 Komentar