Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, Indonesia dikejutkan dengan adanya Tambang Ilegal yang merenggut banyaknya enam perusahaan yang terlibat, tepatnya dikawasan PT Timah, Kepulauan Bangka Belitung, yang kerugiannya mencapai sekitar Rp. 300 Triliun.
Pada Senin, 6 oktober 2025 Presiden Prabowo menyaksikan penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN), berupa 6 smelter ilegal serta data jumlah tambang bermasalah/ilegal mencapai ribuan.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mengesahkan pengelolaan tambang pada Koperasi dan UMKM dengan tujuan penciptaan lapangan kerja dan perputaran ekonomi daerah. (tempo.co, 07/10/25)
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah yang potensial di bidang pertambangan, karena terdapat banyak tanah yang mengandung mineral bijih timah dan bahan galian. Kesalahan mendasar tata kelola tambang di Indonesia bukan sekadar teknis atau administratif, tetapi ideologis.
Tambang ilegal ini berarti aktivitas yang tidak memiliki perizinan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selain merusak lingkungan, penambangan ilegal ini tentunya tidak berkontribusi pada penerimaan negara.
Di sisi lain, kebijakan yang seolah memberi ruang pada rakyat untuk berperan langsung mengelola tambang, bukanlah solusi pemerataan ekonomi. Berdasarkan pernyataan juru kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Al Farhat Kasman, bahwa industri pertambangan merupakan industri yang padat modal dan teknologi, sedangkan koperasi dan UMKM tidak memiliki kapasitas.
Akibatnya, dapat berpotensi besar mengandalkan pihak korporasi untuk mengeksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan. (Tirto.id, 10/10/25)
Hal ini menggambarkan betapa bobroknya sistem pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Indonesia adalah sebuah negara yang dijuluki sebagai negara yang “kaya sumber daya alam”, namun mirisnya rakyat tetap berada dalam garis kemiskinan.
Ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi maupun tata kelola tambang di Indonesia masih dikuasai oleh kapitalisme dimana kepemilikan umum dapat dikuasai oleh individu ataupun korporasi dengan menggunakan dalih investasi.
Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari persoalan ini bukan semata karena lemahnya pengawasan pemerintah, namun karena sistem yang digunakan, yakni sistem kapitalisme.
Dalam sistem ini, sumber daya alam dipandang sebagai komoditas ekonomi yang bisa dimiliki dan dieksploitasi oleh individu atau swasta, bahkan asing.
Negara hanya berperan sebagai regulator dan pemungut pajak yang menyengsarakan rakyat, bukan pengelola langsung atas kekayaan publik tersebut. Padahal jelas dampaknya akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan.
Allah telah memperingatkan dalam firman-Nya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”(TQS. Al-A"raf: 56)
Berbeda dalam pandangan Islam, tambang besar termasuk kategori kepemilikan umum. Artinya, negara yang akan mengelolanya, seperti eksploitasi, eksplorasi, pengelolaan hingga distribusi. Semuanya tanpa mengambil keuntungan, bahkan tidak memberi peluang bagi individu, swasta maupun asing dalam pengelolaan SDA.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dengan begitu, khilafah akan membiayai semua kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan pun terjaga. Begitu juga fasilitas publik seperti infrastrukturnya menggunakan dana hasil pengelolaan SDA yang masuk dalam pos pemilikan umum baitul mal.
Sungguh pengelolaan tambang di bawah mekanisme syariat Islam akan menjaga kelestarian lingkungan dan membawa kemaslahatan bagi rakyat.
Demikianlah, melalui penerapan sistem Islam secara kaffah, negeri-negeri yang kaya SDA akan dikelola dengan baik, karena berpengaruh sangat penting demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Islam lah agama yang sempurna dengan aturannya yang juga sempurna. Keadilan pun akan mudah terwujud jika sistem Islam diterapkan di bawah naungan khilafah.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Kamelia Agustina
Muslimah Peduli Generasi

0 Komentar